1

Pembagian Uang Kompensasi Tambang Pasir Laut di Pulau Tunda Ricuh, Ini Penyebabnya

Kabar6-Pembagian uang kompensasi tambang pasir laut untuk warga di Pulau Tunda, Desa Wargasana, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang dikabarkan ricuh, Rabu (24/1/2024).

Hal itu terlihat dari video yang beredar di pesan singkat WhatsApp yang diperoleh kabar6.com. Video berdurasi 3 menit 33 detik, memperlihatkan keributan berlangsung.

Sejumlah orang berkumpul di sebuah aula terbuka, terlihat beberapa orang yang diduga emosi dilerai warga lainnya. Tak diketahui secara jelas awal mula pertemuan tersebut bisa ricuh.

Namun berdasarkan keterangan warga setempat kericuhan itu terjadi karena warga menolak uang kompensasi tambang pasir laut harus dibagi dengan lembaga lain.

**Baca Juga:Beredar Foto Spanduk Kemenag Dukung Caleg, Kemenag Lebak: Sedang Diselidiki

Salah satu warga Pulau Tunda Haerudin menuturkan, kericuhan itu terjadi karena warga menolak uang kompensasi tambang pasir laut di bagi dengan beberapa pihak.

Menurut Haerudin, 20 persen uang kompensasi yang keluarkan perusahaan rencana akan dibagi ke lembaga di tingkat desa termasuk kepada warga. Namun ketentuan tersebut tidak disepakati oleh warga, selain itu pembayaran uang kompensasi dari perusahaan kerap dimolor membuat masyarakat emosi.

“Itu masalah pembagian uang kompensasi uang pasir dari perusahaan. Jadi duit itu di undur-undur sampai masyarakat ngamuk, terus (pembagian uang kompensasi) banyak pos-posnya. Jadi masyarakat gak setuju,” kata Haerudin saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu (24/1/2024).

Menurutnya, pertemuan tersebut dilakukan tim sembilan yang dipimpin oleh Kepala Desa setempat dan warga. Haerudin mengungkapkan, baru dua kali warga mendapatkan uang kompensasi, namun besarnya dianggap tidak sesuai.

“Baru dua kali pembagian, karena kapalnya belum lama beroperasi. Cuman duitnya lambat dan uangnya tidak di bayar full hak masyarakatnya,” tuturnya.

Intinya kata dia, warga meminta uang kompensasi seratus persen untuk warga dan tidak dibagi dengan lembaga lain. Pasalnya berkaca pada tahun 2016, penggunaan uang kompensasi warga tidak jelas juntrungannya, membuat warga tidak percaya lagi.

“Karena pernah kejadian tahun 2016, uang kompensasi itu banyak potongan ini lah itu lah dan ujungnya gak ada yang bisa bertanggung jawab. Sehingga masyarakat gak percaya,”tandasnya.

Kabar6.com masih berupaya mengkonfirmasi beberapa pihak terkait peristiwa tersebut.(Aep)




Terancam Digusur BBWSC3, Warga Kota Serang Pasrah dan Keluhkan Uang Kompensasi

Kabar6- Sebanyak 60 rumah di bantaran Sungai Cibanten terancam direlokasi karena dianggap menghambat proyek normalisasi dan pelebaran sungai oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau, Ciujung, Cidurian (BBWSC3).

Salah satunya rumah Sutinah (42) yang tinggal di Kampung Karang Serang, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Sutiah mengaku mendengar soal rencana normalisasi sungai Cibanten, meskipun belum ada sosialisasi dari pemerintah.

Diakuinya sudah puluhan tahun tinggal di kampung tersebut, bahkan dirinya hanya bisa pasrah jika BBWSC3 menggusur rumahnya.

“Sudah dengar, cuma belum ada sosialisasi dari pemerintah. Mau melawan enggak bisa karena kita mah numpang di tanah pengairan (BBWSC3). Saya tinggal di sini udah 23 tahun,” katanya, Jumat (29/9/2023).

Kendati pasrah rumahnya digusur, ia berharap pemerintah memberikan kompensasi yang layak agar bisa mencari tempat tinggal baru untuk keluarganya.

Sebab dia tak terima jika rumah yang ia bangun dengan menghabiskan ratusan juta cuma diganti dengan nominal Rp2,5 juta disamakan dengan rumah tetangga kampungnya yang telah diratakan dengan tanah.

**Baca Juga: 7 Perampok Minimarket di Panongan Tertangkap, Empat Pelaku Ditembak

“Kalau dapat (kompensasi) Rp2,5 juta saya bakal kembalikan atau saya sedekahkan ke yatim, anggap aja kita kalah judi,” ungkapnya.

Sementara Ketua RT setempat Jaenal Abidin menyampaikan ada sekitar 35 rumah warganya yang terancam digusur, termasuk rumahnya karena berada di bantaran sungai.

Disampaikan Jaenal, rumah-rumah yang berdiri di atas lahan milik negara itu sudah ada sejak tahun 2000-an. Warga yang tak punya cukup uang untuk membeli lahan sendiri.

Kendati demikian, hingga saat ini ia belum mendapatkan informasi dari pihak Pemkot Serang atau pun BBWSC3 terkait kompensasi dan waktu penggusuran di kampungnya.

“Rumah saya juga kena gusuran. Belum ada solusinya (relokasi warga),” kata Jaenal.(Aep)