1

Lawan Perubahan Iklim, NASA Berencana Suntik Jutaan Ton Es ke Atmosfer Bumi

Kabar6-NASA berencana menyuntikkan jutaan ton es ke atmosfer Bumi untuk melawan perubahan iklim. Proyek ini adalah untuk memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa, sehingga mengurangi jumlah panas yang terperangkap di atmosfer dan memperlambat pemanasan global.

Namun proyek kontroversial tersebut masih dalam tahap awal pengembangan dan belum disetujui untuk pendanaan. Namun tak sedikit ilmuwan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan metode tersebut.

Misi ini, melansir Unilad, akan menggunakan pesawat khusus yang juga masih dalam tahap awal pengembangan, dan NASA bakal menggunakan salah satu instrumen mereka, EMIT untuk melawan perubahan iklim. EMIT (Earth Surface Mineral Dust Source Investigation) berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Mendatang, EMIT bersama beberapa instrumen lainnya akan melacak gas metana dalam Bumi. Menurut NASA, gas tersebut ikut menyumbang 1/4 hingga 1/3 pemanasan global karena ulah manusia.

“Saat ini, ada informasi terbatas yang bisa dimanfaatkan soal emisi gas metana dari sektor pembuangan global,” kata Riley Duren, CEO Carbon Mapper.

Sebagai perbandingan dengan karbon dioksida, metana lebih berpotensi mengikat panas di atmosfer. Namun tidak seperti karbon dioksida, metana tidak berumur panjang di atmosfer Bumi dan punya jangka waktu sekira satu dekade ketimbang berabad-abad.

Itu berarti, mengurangi metana secara signifikan bisa berdampak dengan cepat untuk memperlambat pemanasan atmosfer. Dengan membangun pemeriksaan dasar dan menentukan wilayah mana yang menyumbang gas metana terbanyak, NASA berharap bisa membantu para pengambil keputusan untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer yang akhirnya membatasi perubahan iklim.(ilj/bbs)




Bahaya Perubahan Iklim, Peneliti Minta Negara Maju Hanya Makan Dua Burger Seminggu

Kabar6-Berdasarkan laporan penelitian berjudul The State of Climate Action 2022, Bumi akan terancam bahaya perubahan iklim apabila konsumsi daging tidak dikurangi secara drastis.

Penelitian ini bahkan meminta agar penduduk negara maju hanya memakan dua burger daging dalam satu pekan. Bukan hanya konsumsi daging, melansir theguardian, pengurangan penebangan hutan dan penghapusan batu bara juga harus dilakukan secepat mungkin agar dapat menyelamatkan Bumi dari ancaman perubahan iklim.

Dalam penelitian disebutkan, sejumlah pengurangan harus dilakukan enam kali lebih cepat dibanding yang dilakukan sekarang. Meski demikian, masih banyak industri lain yang tetap menyumbang kerusakan lingkungan, seperti industri semen dan baja.

Laporan penelitian juga mengungkap, apabila sejumlah pengurangan itu tidak cepat dilakukan, maka pada 2030 level gas rumah kaca dan temperatur di Bumi akan meningkat hingga 1,5 derajat Celsius. ** Baca juga: Misterius, Penemuan Bola Batu Raksasa Purba di Bosnia

Kurangnya penggunaan energi terbarukan, penggunaan gas yang makin meningkat, industri pembuatan baja, asap pembakaran kendaraan bermotor, emisi gas agrikultur, dan penebangan hutan turut menjadi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan.

Laporan yang disusun oleh Systems Change Lab menunjukkan peningkatan jumlah pembangkit listrik tenaga surya dari 2019-2021. Begitu juga dengan penjualan mobil listrik yang meningkat dua kali lipat pada 2021. Laporan itu menyatakan, investasi sebesar sekira Rp7.166 triliun yang mendukung penyelamatan lingkungan harus diberikan setiap tahunnya.

Negara-negara dan perusahaan-perusahaan di dunia pun harus ikut mendukung, seperti menyesuaikan penggunaan bahan bakar fosil.(ilj/bbs)




Situasi Atlantik Utara Genting Bikin Ratusan Paus Kanan Bermigrasi?

Kabar6-Perubahan iklim berupa melelehnya beberapa gletser berukuran besar di Antartika, benar-benar mengancam semua makhluk hidup. Dan apabila hal ini terus berlanjut, akan menimbulkan kepunahan bagi beberapa spesies hewan pada 10 tahun mendatang.

Salah satunya adalah Paus Kanan Atlantik Utara, yang kini terancam punah akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Melansir worldtodaynews, Paus Kanan Atlantik Utara yang tersisa saat ini hanya sekira 360 ekor, dan sebulan belakangan ini terlihat bermigrasi. Hal itu disebabkan oleh perairan pada Arus Teluk yang menghangat, hingga merusak rantai makanan dan memaksa paus Atlantik Utara untuk bermigrasi ke wilayah yang lebih berbahaya.

Erin Meyer-Gutbrod, asisten profesor di University of South Carolina, mengatakan bahwa perubahan iklim bisa menyebabkan pergeseran distribusi spesies di seluruh dunia. “Perubahan iklim antropogenik menyebabkan pergeseran distribusi spesies di seluruh dunia,” terang Meyer-Gutbrod.

Kisah terancamnya spesies paus ini diharapkan dapat menjadi pelajaran untuk menerapkan skema manajemen yang lebih fleksibel. “Kisah paus yang tepat dapat menjadi pelajaran untuk mulai mengharapkan yang tak terduga dan menerapkan skema manajemen yang lebih fleksibel,” tambah Meyer-Gutbrod.

Bersama timnya, Meyer-Gutbrod menemukan bahwa perubahan temperatur di Arus Teluk akibat pemanasan global mendorong perairan yang lebih hangat di wilayah utara, barat ke Teluk Maine dan lepas pantai selatan ke Nova Scotia, yang menjadi tempat atau sumber makan paus Atlantik utara.

Paus Kanan memakan spesies copepoda Calanus finmarchicus pada tahap perkembangannya. Sedangkan jumlah copepoda di perairan lepas Maine dan Nova Scotia mulai berkurang sejak tahun 2010 lalu, yang bertepatan dengan pergeseran jalur Arus Teluk.

Hal ini membuat paus mulai berpindah tempat dan mulai mencari makan di Teluk St. Lawrence di sebelah utara Nova Scotia, yang tidak memiliki rencana pengelolaan untuk spesies ini pada saat itu. Di samping itu, jumlah anak paus yang baru lahir juga menurun drastis.

Berkurangnya spesies ini menjadi kerugian besar dan menghadirkan ancaman besar bagi paus Atlantik Utara sejak perburuan paus yang tidak terkendali membawa mereka ke ambang kepunahan sebelum mereka dilindungi pada 1935. ** Baca juga: Kesal Karena Dipaksa Bangun Tidur, Seorang Anak Habisi Nyawa Kedua Orangtuanya

Untuk mencegah kepunahan Paus Kanan yang sebagian besar disebabkan oleh manusia, ada hal yang bisa diterapkan mulai saat ini, yaitu mengubah jalur pelayaran ke area di mana paus jarang terlihat, melakukan perjalanan dengan kecepatan lebih lambat untuk mengurangi risiko tabrakan dengan paus hingga 90 persen, dan menggunakan tali yang lebih lemah atau alat tanpa tali untuk mencegah paus terjerat.(ilj/bbs)




Para Ilmuwan Peringatkan Jam Kiamat Tak Bergerak, Bumi di Titik Terdekat Akhir Zaman

Kabar6-Para ilmuwan memperingatkan, di balik Doomsday Clock (Jam Kiamat), Bumi masih berada di ambang kiamat pada 2021 akibat pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, potensi perang nuklir, perubahan iklim, dan hoax yang merajalela.

Jam Kiamat adalah jam simbolis yang mewakili kemungkinan risiko bencana global buatan manusia. Simbol ini dikelola sejak 1947 oleh anggota Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) di University of Chicago, Amerika Serikat.

BAS adalah sebuah organisasi yang menilai kemajuan ilmu pengetahuan dan risikonya pada manusia. Melansir Detik, BAS membuat Jam Kiamat sebagai pengingat kepada umat manusia agar tidak melakukan kerusakan yang menghancurkan Bumi. Para peneliti yang tergabung dalam BAS menetapkan jarum Jam Kiamat tahun ini masih sama dengan 2020 lalu, yaitu berjarak 100 detik menuju tengah malam.

Artinya, jam simbolis tersebut menunjukkan titik terdekat manusia dengan kiamat. Pada 2019, posisi jam kiamat adalah dua menit menuju tengah malam atau pukul 00.00 adalah perlambang akhir zaman. ** Baca juga: Usia Delapan Tahun, Nicolinha Asal Brasil Jadi Astronom Termuda di Dunia

“Jarum Jam Kiamat masih di posisi 100 detik menuju tengah malam, titik terdekat dengan tengah malam,” kata Rachel Bronson, President of BAS. “Pandemi COVID-19 yang mematikan dan menakutkan menjadi peringatan bersejarah, ilustrasi nyata bagaimana negara-negara dan organisasi internasional kewalahan mengelola ancaman nyata yang bisa mengakhiri peradaban seperti senjata nuklir dan perubahan iklim.”

Terakhir kali Jam Kiamat begitu dekat dengan tengah malam adalah saat terjadi percobaan bom hidrogen oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada 1953, yang memulai era perlombaan senjata nuklir. Sedangkan titik terjauh dengan kiamat terjadi pada 1991, ketika Perang Dingin berakhir.

Jarum Jam Kiamat diatur ulang setiap tahun dan keputusan ini dilakukan oleh anggota dewan BAS, yang di dalamnya termasuk 13 orang ahli penerima Nobel.(ilj/bbs)




Pelajar di Filipina Wajib Tanam 10 Pohon Sebagai Syarat Lulus Sekolah

Kabar6-Ada cara unik yang dilakukan pemerintah Filipina untuk menggiatkan program penghijauan lingkungan. Mereka mewajibkan mahasiswa menanam 10 pohon per orang sebagai syarat lulus kuliah.

Peraturan ini berlaku untuk semua pelajar, mulai dari mahasiswa tingkat perguruan tinggi, SMA, SMP, dan SD. Melansir Indiatimes, pohon-pohon ini akan ditanam di hutan, kawasan konservasi alam, zona militer, bekas area pertambangan, dan sejumlah kawasan urban. Karena itulah, pohon yang ditanam harus disesuaikan dengan lokasi, iklim, dan topografi area penanamannya.

Jika sudah disahkan oleh presiden, peraturan ini diharap mampu membentuk tradisi baru yang baik bagi lingkungan, sekaligus melawan efek negatif perubahan iklim. Diperkirakan, sebanyak 525 juta pohon akan tumbuh dalam satu generasi.

“Dengan lebih dari 12 juta murid SD yang lulus, nyaris 5 juta pelajar lulus SMA, serta hampir 500 ribu mahasiswa lulus kuliah, peraturan ini akan membuahkan setidaknya 175 juta pohon baru setiap tahunnya,” jelas Gary Alejano, perwakilan partai Magdalo. “Sepanjang satu generasi, tidak kurang dari 525 juta pohon akan ditanam berkat program ini.”

Diketahui, Filipina merupakan salah satu negara dengan tingkat penggundulan hutan terparah di dunia. Selama periode abad 20, persentase kawasan hutan turun drastis dari 70 persen menjadi 20 persen. ** Baca juga: Mendatang, Berbagai Produk Berbahan Plastik Sekali Pakai Dilarang Beredar di Seluruh Kanada

Penebangan hutan ilegal masih menjadi persoalan hingga saat ini, yang berdampak bagi lingkungan, mulai dari banjir hingga tanah longsor.(ilj/bbs)




Jamur Bisa Digunakan untuk Pantau Perubahan Iklim?

Kabar6-Para peneliti dari NASA Jet Propulsion Laboratory (JPL) membuat sebuah terobosan baru dengan menggunakan jamur untuk memantau terjadinya perubahan iklim di masa depan.

Jamur tersebut merupakan jenis mikoriza yang biasa menempel pada akar pohon. Dilansir Engadget, dengan mengamati mikoriza yang menempel pada akar pohon di hutan seluruh dunia, diharapkan pada masa mendatang proses pemantauan perubahan iklim dalam kaitannya dengan kelangsungan hidup pepohonan atau lingkungan hidup dapat teramati dengan baik.

Kabarnya, para peneliti NASA JPL akan menggunakan metode pengamatan via satelit dari Observatory Global Forest Earth Smithsoian Institution, dan berencana akan memetakan ‘hubungan’ yang terjadi antara jamur dengan pohon sebagai iduknya.

Penemuan sementara dari para peneliti menyebutkan jika proses simbiosis yang terjadi antara mikoriza dan akar pohon dapat menunjukkan perubahan iklim yang terjadi. Tandanya adalah berupa bergugurannya beberapa pohon di waktu tertentu dan kembali menghijaunya dedaunan pohon saat kurun proses hubungan dalam beberapa waktu tertentu. ** Baca juga: Praktis! Crystal Wash 2.0, Bola yang Dapat Bersihkan Pakaian Tanpa Detergen

Dengan ditemukannya metode ini, para peneliti berharap masalah pencemaran lingkungan dan juga pengrusakan lingkungan karena tingkat polusi yang meningkat dapat diatasi di masa depan.(ilj/bbs)