1

Kongkalikong Pengadaan Naskah Akademik di Setda Pandeglang, PPTK 90 Persen dan Pengusaha 10 Persen

Kabar6.com

Kabar6- Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada pekerjaan pembuatan naskah kajian akademis tahun 2020 di Sekretariat Daerah Kabupaten Pandeglang kongkalikong dengan pengusaha.

Pasalnya PPTK hanya meminjam perusahaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut dengan cara direkayasa, sementara imbalan yang diterima setelah benderanya di pinjam si pengusaha mendapat jatah 10 persen dari nilai pekerjaan sementara sisanya 90 persen diterima oleh PPTK.

Ketua Forum Komunikasi Peduli Rakyat (FKPR) Yogi Iskandar menilai kasus rekayasa pengadaan naskah akademik tahun 2021 yang dilakukan Setda Pandeglang tidak cukup diselesaikan dengan cara pengembalian uang ke kas daerah.

Menurutnya, aparat penegak hukum harus melihat prosesnya. Dimana pada waktu itu ada kongkalingkong antara pejabat daerah dalam hal itu PPTK dengan pengusaha

“Jika moral pejabat seperti pada kasus tersebut dibiarkan saja, maka akan menjadi model terhadap proses pengadaan lainnya,”ungkap Yogi, Sabtu (16/10/2021).

Menurutnya, perspektif BPK RI mungkin terkait penyelamatan uang negara dengan cara pengembalian uang negara.

“Namun persoalan hukum tidak seperti itu. Hukum harus melihat secara menyeluruh yang meliputi modus dan kongkalingkong yang terjadi pada kasus tersebut,”tutupnya.

Terungkap kasus tersebut bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Banten atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2020 di Pemkab Pandeglang.

Awalnya, Pemkab Pandeglang merealisasi belanja jasa konsultansi senilai Rp2.676.698.500 yang tersebar pada 14 kegiatan. Kemudian BPK melakukan uji petik atas belanja jasa konsultansi pada pekerjaan pembuatan naskah kajian akademis.

Pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh LK2P melalui Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor 027/2/SPK/PPK- Orgsi/Setda-Pdg/2020 tanggal 24 Juni 2020 dengan nilai Rp47.325.000.

Terungkap terdapat rekayasa pelaksanaan pekerjaan tersebut, hal itu berdasarkan hasil wawancara BPK, bahwa pihak LK2P mengaku tidak melaksanakan pekerjaan tersebut.

LK2P menyatakan bahwa perusahaannya hanya dipinjam namanya, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dilaksanakan oleh LK2P.

Sebab PPTK meminta LK2P untuk mengikuti pengadaan tersebut secara formalitas dengan diberikan fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak pekerjaan.

Pembayaran SP2D memang benar seluruhnya masuk ke rekening LK2P sebesar Rp42.976.228 (nilai kontrak Rp47.325.000 setelah dikurangi pajak).

**Baca juga: Subhanallah, Usai Salat Jumat Warga Pandeglang Meninggal.

Setelah pembayaran diterima, sesuai kesepakatan LK2P mendapatkan 10 persen yang merupakan fee atas pekerjaan tersebut, kemudian 90 persen dari nilai kontrak secara tunai untuk disampaikan kepada PPTK.

Kemudian PPTK menerima dana tunai sebesar 90 persen tersebut dari penyedia berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Dana tersebut digunakan untuk operasional Sub Bagian Kelembagaan dan Analisa Jabatan.

Belum ada keterangan resmi dari Pemkab Pandeglang terkait rekayasa pengadaan naskah akademik tersebut.(Aep)




Konflik Agraria di Tangerang, Pengamat : Diduga ada Kongkalikong BPN & Mafia Tanah

Kabar6.com

Kabar6 – Konflik agraria di Pesisir Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, Banten makin meluas. Dimana ratusan hektare lahan telah terbit Nomor Identifikasi Bidang (NIB) Tanah atas nama perorangan.

Lahan seluas kurang lebih 900 hektar yang tersebar di sejumlah Kecamatan di Kabupaten Tangerang ini terdaftar diklaim hanya dengan 3 orang saja.

Meluasnya konflik agraria ini pun disoroti sejumlah pihak, salah satunya dari Pengamat Kebijakan Publik Adib Miftahul.

Menurutnya, Pemerintah Pusat harus turun tangan untuk menyelesaikan konflik tersebut agar tidak terjadi gejolak yang nantinya merugikan masyarakat.

“Sebab 900 hektare (lahan) diduga dirampas (oleh) mafia tanah. Karena 900 hektare itu dikuasai oleh 3 orang yang diduga mafia tanah. Data yang saya terima itu nggak jauh dari Ghozali, Vreddy dan Hendri,” kata Adib, Jumat (6/8/2021).

Padahal, lanjutnya, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian sudah cukup jelas.

Dimana, dalam Pasal 3 Ayat 3 dijelaskan bahwa pembatasan kepemilikan tanah Pertanian untuk perorangan sebagaimana pada ayat (2) huruf a dengan ketentuan, tidak padat paling luas 20 hektar.

“Makanya perlu saya katakan kenapa di Kabupaten Tangerang dengan 3 orang itu bisa mempunyai atau membeli tanah sebanyak itu, memang tidak tahu itu melanggar peraturan?” ujarnya.

Adib pun menduga adanya keterlibatan oknum atau kongkalikong antara pihak internal dalam hal ini BPN Kabupaten Tangerang dan pihak eksternal atau pemohon NIB.

“Itu dikerjakan dalam waktu yang bersamaan tidak lebih dari sekitaran 2 bulan, notarisnya 1 (pengurusan NIB). Karena bagaimanapun mafia tanah tanpa orang dalam tidak akan bisa mengambil tanah sebanyak itu,” bebernya.

Adib menambahkan, persoalan kasus mafia tanah ini harus segera diselesaikan sehingga tidak merugikan rakyat. Mulai dari pembenahan internal BPN Kabupaten Tangerang.

“Benahi dulu BPN. Percuma kita mengadili mafia tanah tanpa keterlibatan aktor intelektual, tanpa ada oknum di BPN itu. Karena nanti akan muncul lagi dan tidak akan pernah selesai,” tegas Adib.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menyampaikan hal serupa. Menurutnya negara harus turun tangan untuk mengatasi kasus mafia tanah seperti yang terjadi di Tangerang. Sebab, ada dugaan melibatkan persekutuan pemodal besar dan organisasi preman.

“Negara wajib memberi perhatian khusus karena terhadap kelompok mafia tanah seperti ini, hukum seolah tumpul,” kata Haris, Minggu (28/2/2021).

Haris yang didampingi Founder Lokataru/ Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengaku menemukan banyak kejanggalan atas dugaan kasus penyerobotan lahan di Tangerang itu.

Contohnya, NIB dan atau SHM atas nama Vreddy dan Hendri, diterbitkan dengan total luasan bidang tanah masing-masing sebesar 500 dan 200 hektar.

**Baca juga: Polsek Mauk Kawal Giat Vaksin untuk Pelajar di SMPN 01

Padahal, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, telah membatasi luasan kepemilikan tanah pertanian hanya sebesar 20 hektar.

Haris pun mengungkap sejumlah kasus perampasan tanah bersertifikat di Kabupaten Tangerang yang terindikasi bekerjasama dengan organisasi preman.
“Ketika masyarakat ke lapangan mempertanyakan persoalan ini, sejumlah preman mengintimidasi,” pungkas Haris.