1

“Invest in Women” Diserukan, Anggaran Negara untuk Perempuan Memprihatinkan!

Oleh: Betta Anugrah dan Arrum Bakti,  Peneliti FITRA; Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

Kabar6-Berinvestasi pada perempuan merupakan sebuah keharusan dalam hak asasi manusia serta sebagai landasan untuk membangun masyarakat inklusif. Kemajuan bagi perempuan bermanfaat bagi bangsa, dan menjamin hak-hak perempuan dan anak perempuan di seluruh aspek kehidupan adalah satu-satunya cara untuk menjamin perekonomian yang sejahtera dan adil, serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang.

UN Women mempublikasikan tema kampanye Hari Perempuan Internasional bertajuk “Invest in Women: Accelerate Progress” di tahun 2024 ini. Sebuah tema yang agung sekaligus mengajak kita berefleksi bahwa upaya mempercepat kemajuan juga berarti perlu komitmen penyelesaian pada isu-isu yang melanda perempuan.

Sekelumit persoalan di level lokal misalnya dampak kenaikan harga yang mencekik, keleluasan fiskal perempuan, kesehatan reproduksi perempuan yang terabaiakan oleh sistem dan budaya patriaki khususnya di daerah-daerah slum. Belum lagi masalah keamanan perempuan dalam berekspresi, hadirnya ancaman kekerasan baik fisik, verbal, mental dan seksual. Kondisi dibungkamnya hak berekspresi disebabkan oleh kultur maksulinitas toxic yang kental, dan masih banyak lagi. 

Anggaran Responsif Gender masih sekadar aksesoris belaka tanpa komitmen konkret dalam alokasi anggaran.  Langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan hak-hak perempuan sebenarnya dengan mendorong pemberdayaan perempuan, termasuk dengan mendorong Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) sebagai serangkaian cara dan pendekatan untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam proses perencanaan dan penganggaran di berbagai sektor. Ditambah lagi, pemerintah yang menunjukkan komitmennya melalui target pembangunan di tingkat global, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Akan tetapi, lagi-lagi, kenyataan berkata lain. Seperti yang dapat kita lacak di lapanga, bahwa Caleg perempuan banyak yang “tumbang sebelum berperang” di Pileg 2024. Hal ini terjadi karena keterbatasan akses terhadap Sumber Daya. Di sisi lain, tantangan hidup makin nyata, seperti kenaikan harga pangan yang semakin memperberat beban perempuan, akses sanitasi yang layak bagi perempuan di Pesisir, program stunting yang lebih fokus pada penerima manfaat ketimbang dialokasikan untuk kegiatan rapat, banyaknya Ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS, juga angka Kematian Ibu Hamil dan melahirkan merupakan kejadian yang selalu menjadi sorotan di negara ini.

Rerata IPM Perempuan masih jauh di bawah rerata Nasional dan rerata IPM Laki–Laki.

Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran perempuan, untuk kemudian mendorong partisipasi perempuan dan mengikis anggapan bahwa perempuan adalah kelompok kelas kedua (subordinat). Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator untuk melihat akses penduduk dalam memperoleh pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Capaian IPM dapat digunakan sebagai tolak ukur  pembangunan pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pada Periode 2019 hingga 2022 rerata IPM laki-laki mencapai 76,23 sedangkan rerata IPM perempuan hanya 69,56. Angka rerata IPM Perempuan bahkan jauh di bawah angka rerata IPM Nasional yang mencapai 73,77 menurut BPS (2023). Sehingga, dapat dikatakan bahwa masih terdapat gap yang besar terhadap capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki, terkait dengan kebutuhan dasar, khususnya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan pekerjaan yang layak.

Sebanyak 56 persen dari 34 Provinsi di Indonesia memiliki ratio IPG di bawah Nasional. Indeks Pembangunan Gender dibentuk dari rasio IPM perempuan terhadap IPM laki-laki. Meskipun sudah ada kemajuan dalam pembangunan gender, namun di tahun 2022 terdapat 19 provinsi yang memiliki ratio IPG di bawah IPG nasional yang artinya masih terdapat gap antara pembangunan perempuan dan laki-laki.

Pada aspek politik, Indonesia berada pada paritas 18,1%, dengan 21,6% anggota parlemen perempuan dan 20,7% perempuan menteri (Data: Global Gender Gap Report 2023,). Meskipun, tingkat partisipasi perempuan dalam politik jika dibuat rata-rata dari 18 partai politik peserta pemilu nasional, persentase keterwakilan perempuannya mencapai 37,13%. Angka kesetaraan, dalam pencapaian Pendidikan, Kesehatan dan kelangsungan hidup hampir tidak berubah dari tahun 2021. World Economic Forum 2023 memaparkan angka Indonesia pada Kesetaraan dalam Pencapaian Pendidikan (97,2%) dan Kesehatan dan Kelangsungan Hidup (97%). 

Alokasi Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Menempati Urutan 2 Terbawah.

Anggaran Kementerian PPPA pada tahun 2024 sebesar Rp311.6 miliar. Anggaran tersebut turun 9,4 persen dari Tahun Anggaran 2023, yakni     Rp291.3 miliar. Jumlah yang sebenarnya sangat kecil bila dimaksudkan untuk seluruh program yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Anggaran yang cukup rendah, berada pada urutan kedua terbawah setelah Anggaran Kementerian BUMN.

Anggaran kecil, beban besar.  Kesadaran mengenai pentingnya pemberdayaan perempuan guna mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan semakin nyata, sayangnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak justru sebaliknya.  Pagu Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak setiap tahunnya juga menunjukkan grafik yang fluktuatif. Namun, tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Padahal, Kemen PPPA harus melindungi 136.384.674 juta perempuan dan 85 juta anak di seluruh Indonesia, yang merupakan jumlah terbesar keempat di dunia.

**Baca Juga: Wujud Kolaborasi Pelayanan Publik, Pemkot Tangerang MoU dengan PT HINO

Persoalan pendataan harus menjadi fokus yang semestinya masuk ke dalam pertimbangan perencanaan penganggaran sejak awal disusun. Pada tahun ini, Kemen-PPPA meminta tambahan anggaran 2024 sebesar Rp48.8 miliar. Anggaran itu ditujukan untuk survei perempuan dan anak di Indonesia, demi mengetahui dampak dari perundang-undangan yang telah disahkan dan dilaksanakan. Hal ini dapat menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan dan program terkait perlindungan perempuan dan anak mendatang.

Anggaran yang akan difokuskan pada rencana kegiatan tahun 2024 terdiri atas beberapa isu strategis. Di antaranya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Di samping itu, pada tahun 2023, terdapat peningkatan kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dari 137 kasus menjadi 643 kasus. kasus kekerasan terhadap anak tercatat paling tinggi yakni 11.084 perkara. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak itu juga tercatat meningkat sebanyak 12,3 persen jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sedangkan, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mencapai total 5.555 laporan. Jumlah laporan tersebut juga tercatat meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.241 kasus. Sepanjang tahun 2023, kasus femisida di Indonesia juga terbanyak adalah femisida intim, yaitu sebanyak 109 kasus; disusul oleh femisida non-intim sebanyak 15 kasus dan bunuh diri akibat kekerasan berbasis gender sebanyak 12 kasus. Jumlah korban terbesar adalah istri, yaitu 72 orang, diikuti oleh pacar 33 orang dan mantan pacar 9 orang. 

Masih banyak K/L yang menjalankan program kegiatannya sekedar ‘business as usual’ dan ‘netral gender’, tidak memperhitungkan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara antara perempuan dan laki-laki. FITRA menyadari bahwa anggaran untuk mendorong kesetaraan gender tidak hanya ada di Kemen-PPPA tetapi tersebar di seluruh K/L melalui program dan kegiatan yang seharusnya responsif gender. Tidak heran bila kemudian program dan kegiatan yang ada sekedar terlaksana, dan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan perempuan, peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, melindungi perempuan dan anak perempuan dari tindak kekerasan (seksual), apalagi memperkuat ekonomi perempuan.

Berdasarkan kajian ini, Seknas FITRA merekomendasikan:

  1. KemenPPPA memiliki kewenangan untuk terus mengawal adanya peningkatan persentase partisipasi perempuan di bidang pemerintahan, swasta, dan politik, serta ⁠meningkatkan persentase partisipasi dan keswadayaan masyarakat dilakukan.
  2. Kementerian Keuangan, KemenPPPA, DPR, harus meningkatkan komitmennya dalam kerja-kerja pemenuhan hak perempuan, yakni dengan peningkatan alokasi anggaran pada “Program Kesetaraan Gender dan Perlindungan Perempuan” yang diemban oleh Kemen-PPPA. Mengingat persoalan berlapis yang dihadapi oleh perempuan, membutuhkan komitmen panjang dari pemerintah. Seperti pemulihan terhadap korban yang harus menjadi prioritas utama dalam kasus kekerasan.
  3. Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi secara massif dengan KemenPPPA dalam percepatan dan pengawasan kualitas dari implementasi Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) di seluruh K/L hingga ke Pemerintah Daerah.
  4. Kemenkeu dan DPR RI berkomitmen lebih kuat dalam penetapan anggaran yang lebih proporsional dan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan data Kemen-PPPA, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Sebab, upaya menjamin hak-hak perempuan dan anak perempuan adalah suatu cara untuk menjamin perekonomian yang sejahtera dan adil, serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang. (*/Red)



Jurus Presiden Kita: Tandaskan Netralitas, Tipu Daya Bansos

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Kabar6-Inkonsistensi terlampau lekat diindetikan dengan Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia. pernyataan ini tidak berlebihan, jika ditelisik lebih dalam telah beberapa kali ia melontarkan pernyataan-pertanyaan yang kontradikstif. Terbaru, menyangkut netralitas. Pada 23 Oktober 2023 menyatakan untuk mendukung semua pihak atas dasar kebaikan negara.

Pernyataanya diperbaharui pada 30 Oktober 2023, saat pelatikan Pj Gubernur, supaya menjaga netralitas, bahkan ia akan memecat Pj Gubernur dan ASN yang tidak netral. Menyoal netralitas dipertegas kembali pada tanggal 30 Desember 2023, kali ini seruan netralitas itu ditujukan pada ASN, TNI dan POLRI. Namun, pada 24 Januari 2024, Jokowi mengeluarkan pernyataan yang menegasikan nilai-nilai netralitas, bahwa Presiden boleh memihak.

Gelaran Pemilu 2024 sudah terlampau terjerembab, bopeng demokrasi di sana-sini. Dari mulai mengdongkel konstitusi untuk meloloskan anak presiden jadi wakil presiden, pelanggaran di sana sini, netralitas aparatur negara yang dipertanyakan. Terbaru, Presiden malah ambil bagian dalam sengkarut tersebut.

Pernyataan Jokowi sebagai presiden teramat sulit untuk dipahami nalar. Selain itu dapat menciptakan persoalan: rentan disalahgunakan dan melegitimasi ketidaknetralan yang telah terjadi di akar rumput oleh aparatur negara. “presiden saja boleh memihak, masak bawahannya tidak boleh?”. Tentu, narasi ini akan sangat mudah dipolitisir, tanpa memperhatikan nilai-nilai demokrasi. Seolah tujuan utama dari hajatan lima tahunan ini hanyalah siapa yang jadi pemenang, dengan memunggungi norma dan etika bernegara. Tanpa mengharapkan tujuan yang lebih luhur: Pendidikan dan pendewasaan politik bagi warga negara.

Keberpihakan politik presiden melalui kampanye, diperbolehkan oleh undang-undang Pemilu. Dalam pasal 299 disebutkan kampanye merupakan hak presiden, wakil presiden, Menteri dan kepala daerah. Namun harus juga diperhatikan, telah diatur dalam Pasal 281 ayat (1) huruf b UU Pemilu, untuk kewajiban cuti di luar tanggunan negara bagi presiden yang ikut kampanye. Selain itu, terdapat aturan dalam Pasal 299 ayat (3) tentang larangan menggunakan fasilitas negara.

Presiden memiliki pengaruh yang besar. Presiden memang harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Tetapi pengaruhnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki presiden begitu besar. Berpotensi besar terjadi penyalahgunaan, apabila netralitas tidak ditegakan. Sah kemudian jika rakyat menduga adanya persubahatan untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden dengan menggunakan pengaruh yang dimiliki presiden.

Mobilitasasi Kuasa Anggaran dan Kebijakan dari Presiden.

Bansos mengerek kepuasaan rakyat pada Presiden. Survei Indikator Politik Indonesia yang dilaksanakan pada 23 November-1 Desember 2023, menunjukan Bansos telah mendongkrak kepuasaan rakyat pada Presiden. Kepuasaan rakyat ini menjadi modalitas penting untuk memberikan efek ekor jas pada salah pasangan yang didukung oleh Presiden. Di berbagai daerah, Presiden sangat aktif melakukan penyaluran bansos, termasuk juga mempolitisir pemberikan Bansos dengan berbagai seremonial.

**Baca Juga: Pj Gubernur Minta Sekolah Swasta di Banten Tingkatkan Mutu

Presiden memiliki kekuasaan yang tertuang dalam tugas dan wewenang di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar (UUD). Kekuasaan itu meliputi kekuatan militer, regulasi, pengawasan, birokrasi dan anggaran (pasal 23 ayat 2 UUD 1945). Hal ini tentu menjadi kekuatan yang luar bisa besar jika presiden tidak netral dalam perhelatan lima tahunan ini (pilpres 2024). Fakta bahwa anak presiden (Gibran Rakabuming Raka) mengikuti kontestasi pemilu, mendorong presiden Indonesia ke 7 ini berpotensi memihak, hal ini terungkap dalam wawancara media sebagai berikut:

“……Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara” Jokowi, Rabu (24/1/2024).

Jika kita mencermati kalimat presiden tersebut, seolah presiden bisa bersikap adil dan netral dengan catatan tidak menggunakan fasilitas negara, hanya saja presiden lupa bahwa ada kekuasaan yang melekat dalam diri presiden yang sulit dibendung dan diawasi. Salah satu yang menjadi perhatian FITRA adalah potensi anggaran publik dimanfaatkan dalam melanggengkan kekausaan dinasti.

Dalam kontek anggaran publik, presiden memiliki sumber daya dalam bentuk alokasi anggaran untuk perlindungan sosial sepanjang tahun 2019-2024 sebesar Rp 2.668 Triliun, atau anggaran bansos sepanjang tahun 2019-2024 sebesar Rp 953,9 Triliun. Bahkan presiden sendiri memiliki alokasi anggaran yang bersumber dari BUN (Bendahara Umum Negara) untuk program Bansos Presiden.

Rekomendasi

Berdasarkan temuan di atas, Seknas Fitra menilai bahwa setiap warga negara, termasuk Presiden, berhak untuk menentukan hak politiknya. Namun, dengan kekuasaan yang luar biasa maka keberpihakan presiden akan berdampak secara substansial pada gelaran pemilu 2024. Menjadi bijaksana apabila Presiden Jokowi bisa menahan libido berkuasanya dengan menjunjung netralitas dalam pemilu 2024. Selain itu, Presiden harus memastikan menggunakan anggaran publik sebesar-beasrnya untuk kepentingan negara dan rakyat, jangan sampai anggaran publik sebagai gula-gula politik dinasti.(*/Red)

CP:
Gulfino Guevarrato (0813-9844-4968)
Gurnadi Ridwan (0856-7174-713)




FITRA Pertanyakan Pembenahan oleh Sri Mulyani Lakukan Terkait Rangkap Jabatan 39 Pejabat Kemenkeu

Kabar6-Wakil Sekretaris Jenderal FITRA, Ervyn Kaffah, meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melaporkan kepada publik upaya pembenahan yang telah dilakukannya untuk mengurangi risiko besarnya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat rangkap jabatan pejabat Kemenkeu pada sejumlah BUMN.

Sekitar delapan bulan lalu pada awal Maret 2023, Seknas FITRA telah mempertanyakan praktek rangkap jabatan 39 pejabat Kemenkeu pada sejumlah BUMN, yang semestinya mendapatkan supervisi dari kementerian tersebut.

FITRA menyebut bahwa pendapatan para pejabat Kemenkeu yang menjadi Komisaris BUMN mencapai 20 kali lipat dari gaji mereka setiap bulannya sebagai staf kementerian.

“Sudah delapan bulan sejak kami umumkan temuan tersebut. Kami berharap ada akuntabilitas. Tentunya publik ingin tahu, apa kebijakan yang sudah diambil Ibu Sri untuk menangani situasi tersebut. Apalagi, sebelumnya kami pantau Ibu Sri juga telah mengumpulkan dan memperoleh masukan dari sejumlah kalangan dengan integritas teruji merespon situasi munculnya banyak pertanyaan mengenai aliran dana Rp 400 triliun, termasuk soal rangkap jabatan tersebut,” ujar Ervyn Kaffah, dalam keterangan tertulis kepada kabar6, Minggu (10/12/2023).

“Apa sudah ada pembenahan? Kalau pejabat yang bergaji Rp 90-100 juta setiap bulan dibolehkan menjadi komisaris dan mendapat gaji lebih dari dua miliar sebulan. Itu menabrak rasa keadilan, dan tugas Ibu Menteri memperbaiki situasi tersebut,” sambung pria yang dikenal sebagai pegiat anti korupsi tersebut.

Menurut Ervyn, dalam masa kampanye Pemilu sekarang ini dan Hari H Pilpres yang tidak lebih dari 60 hari lagi, supervisi dan pengawasan terhadap kerja BUMN harus lebih diperketat.

**Baca Juga: Arief-Sachrudin Kerja Bakti Barsama Masyarakat

Alasannya, karena dalam momentum politik pemilihan, kinerja fiskal biasanya melambat, sehingga peran BUMN untuk ikut mendukung pertumbuhan ekonomi dalam masa-masa tersebut sangat penting.

“Momentum politik selalu berbanding terbalik dengan kinerja fiskal, itu terjadi paling sering di daerah. Kualitas belanja kita sampai saat ini masih buruk karena pengendalian kegiatan APBN/APBD masih belum berjalan baik. Selain membutuhkan konsentrasi dari para pejabat Kemenkeu mengenai hal ini, Ibu Sri dan pejabat Kemenkeu kami harapkan bisa lebih fokus dan ketat dalam mendorong dan mensupervisi kinerja BUMN agar bisa mendukung kelemahan kontribusi belanja pemerintah kepada pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

Menurut FITRA, berdasar data Kemenkeu sendiri, hingga 31 Oktober 2023, penyerapan belanja pemerintah baru mencapai angka sekitar 73 persen lebih.

“Artinya, dalam dua bulan pemerintah dipaksa untuk membelanjakan anggaran senilai 30 persen dari total APBN 2023 sebesar Rp 3.016 T,” katanya.

Ervyn mengatakan itu pekerjaan berat, dan membutuhkan konsentrasi dari pejabat kementerian keuangan. Karena praktis waktu untuk belanja pemerintah pusat dan daerah cuma 45 hari. tandasnya. (Oke)




FITRA Soroti Urgensi Masa Jabatan Kepala Desa dan Revisi UU Desa

Kabar6-Tak seperti biasanya, Selasa (17/1/2023) depan  Gedung Wakil Rakyat di Senayan dipenuhi warna cokelat. Ribuan Kepala Desa se-Indonesia melakukan aksi, mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun.

Kerena itu, para kepala desa mendesak agar DPR segera melakukan revisi pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demo Kepala Desa menuai banyak kritik dari eleman masyarakat, bahwasanya aksi perpanjangan jabatan kepala desa hanyalah demi kepentingan kepala desa bukan masyarakat.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mewacanakan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun, didasari oleh dua hal, yaitu: Pertama, produktifitas Kepala Desa. Dengan masa jabatan 9 tahun, kepala desa memiliki waktu lebih banyak untuk mensejahterakan masyarakat dan pembangunan desa lebih efektif. Perpanjangan masa jabatan bukan bentuk arogansi, tetapi kebutuhan menyelesaikan konflik pasca pilkades. Perpanjangan masa jabatan kades tetap dibatasi selama 18 tahun atau dua periode; Kedua, Meredam ketegangan dan polarisasi politik pasca Pilkades.

**Baca Juga: Kades di Lebak Berharap Revisi UU Desa Fokus pada Penguatan Kewenangan Desa

Selama ini masyarakat sering terbelah akibat perbedaan pilihan calon kepala desa dan berdampak pada berkurangnya produktifitas masyarakat serta banyaknya aktifitas desa terbengkalai. Ketegangan dan polarisasi dapat diredam jika masa jabatan kepala desa ditambah.

Setidaknya dua wacana tersebut digulirkan sebagai pintu masuk mendorong percepatan revisi undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Pertanyaannya, apakah revisi Undang-Undang Desa sudah mendesak dilakukan? Apakah telah dilakukan kajian mendalam dan komprehensif terhadap implementasi UU Desa yang telah berjalan selama ini, sehingga muncul kebutuhan mendesak revisi UU Desa?

Menyikapi hal tersebut, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi (Seknas FITRA) bersama Simpul Jaringan (Sijar) berpandangan bahwa revisi Undang-Undang esa saat ini belum mendesak dilakukan. FITRA justru
mendorong agar pemerintah fokus pada perbaikan kualitas dan mandat UU Desa, diantaranya mandatory spending untuk memperkuat ruang fiskal di desa serta melakukan perbaikan regulasi pelaksanaan UU Desa agar tidak overlap. Hal ini didasari pada pokok-pokok pikiran dan pertimbangan sebagai  berikut:

Pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
merupakan hasil refleksi panjang dari pemaknaan posisi Desa di Indonesia. UU Desa diharapkan dapat meningkatkan peran desa dalam pembangunan Indonesia berdasarkan kewenangan yang dimiliki desa. Sejauh ini harapan itu belum berjalan optimal.

“Menurut hasil kajian FITRA, belum maksimalnya pelaksanaan UU Desa bukan karena isi dan subtansi UU Desa, akan tetapi karena tumpang tindih regulasi pelaksanaan UU Desa yang “mengamputasi” sebagian kewenangan Desa,” ujar Sekjen FITRA, Misbah Hasan, dalam keterangan tertulisnya kepada kabar6, Rabu (25/1/2023).

Kedua, kata Misbah, Perencanaan dan penganggaran pembangunan  desa yang baik sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas kinerja pemerintahan desa. Perencanaan dan penganggaran pembangunan yang baik dapat terlaksana jika mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas serta memperkuat partisipasi masyarakat. Pelibatan seluruh elemen masyarakat menjadi modalitas dan kekuatan bagi kepala desa untuk mewujudkan
produktifitas kinerja.

“Sementara fakta di lapangan, partisipasi masyarakat di desa masih rendah. Problem besar bagi Desa adalah banyaknya urusan supra desa diserahkan kepada Desa dan menjadikan beban desa semakin berat, sementara kewenangan Desa belum dapat berjalan sesuai yang dimandatkan,” katanya.

“Prinsip-prinsip perencanaan dan penganggaran yang baik terabaikan, kasus korupsi di desa semakin meningkat. Maka solusi yang ditawarkan adalah pemerintah harus berkomitmen dan lebih fokus memperbaiki anomali pelaksanaan UU Desa secara konsekuen, mengurangi overlap regulasi, dan menyudahi pembangunan rezim administrasi yang berdampak koruptif, manipulatif, dan mobilisasi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan korupsi keuangan desa masuk daftar tiga besar korupsi terbanyak di Indonesia dengan 601 kasus korupsi yang melibatkan 686 tersangka berasal dari aparatur desa. (KPK Tahun
2022),” sambungnya.

Ketiga, Supra Desa perlu meningkatkan kualitas pemerintahan desa agar memiliki kemampuan yang baik dalam
melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Problem mandulnya fungsi pembinaan dan pengawasan supra Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang lebih mensejahterakan rakyat.

“Solusinya, pemerintah supra  Desa harus konsisten untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintahan desa. Penguatan itu dapat dilakukan dengan memberikan peningkatan kapasitas aparat pemerintahan desa agar memilki kemampuan menyusun perenca-naan dan penganggaran yang lebih tepat sasaran. Selain itu, perlu memperkuat fungsi pengawasan BPD, masyarakat dan supra desa agar tidak ada penyalahgunaan kewenangan jabatan kepala desa,” tegasnya.

Keempat, Misbah menjelaskan Wacana perpanjangan masa jabatan Kades 9 tahun dan dapat dipilih kembali selama dua periode belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Untuk itu perlu ditangguhkan. Yang dibutuhkan justru memperkuat demokratisasi di desa. Demokratisasi Desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik.

Sebagai catatan, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikenendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854. Polarisasi sebagai residu pilkades terjadi karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan subtansi demokrasi
desa misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja.

“Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Tinggal bagaimana masalah kesejah-teraannya terpenuhi, terlebih dengan banyaknya beban pekerjaan yang diemban kepala desa,” jelasnya.

Terkahir kelima, Problem yang dialamai banyak desa bukan sebatas masa jabatan kepala desa, lebih mendasar lagi terkait kesejahteraan aparatur desa. Problem pengaturan penghasilan tetap dan tunjangan Kades dan perangkat desa belum mencerminkan rasa keadilan.

Perintah membayar gaji/siltap, tunjangan, dan operasional pemerintahan desa harus bersumber dari ADD serta
besaran prosentase antara jabatan Kades, Sekdes, dan perangkat lainnya sudah diatur sedemikian ketat dan tidak proporsional serta tidak mencerminkan jaminan  peningkatan kesejahteraan.

Tawaran solusinya adalah pemerintah pusat berkomitmen mengalokasikan 10% Dana Desa dari dana transfer (on top) dan dapat dialokasikan untuk operasional Pemdes serta mengkaji kembali pengaturan prosentase siltap.

Di samping itu, pemerintah daerah juga diminta berkomitmen mengalokasikan ADD minimal 10 % dari DAU plus DBH dan bagi hasil pajak serta retribusi daerah untuk
desa. Posisi daerah yang telah memenuhi Alokasi Dana Desa minimal 10% sejumlah 355 daerah, dengan ADD tertinggi 182,08% dialokasikan oleh Kabupaten Badung, sedangkan yang belum memenuhi ada 79 daerah, dengan
ADD terendah 0,45% yang dialokasikan oleh Kabupaten Padang Sidempuan. (Oke)

 




Penundanaan Pemilu 2024, Mengkhianati Amanat Rakyat Indonesia

Kabar6-Wacana penundaan pemilu 2024 bergulir sejak Januari 2022. Pernyataan tersebut pertama kali diungkapkan Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia. Menurutnya, penundaan pemilu didasarkan pada pertama mengutip sebuah survei tingkat kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo mencapai 70%, kedua penundaan Pemilu 2024 lebih memberikan kepastian pada pelaku usaha, setelah hampir 2 tahun babak belur akibat Pandemi Covid-19. Seolah gayung bersambut, wacana liar penundaan Pemilu disambut riuh rendah dengan Partai Politik. Setidaknya, PAN, PKB, Golkar dan PSI memberikan sinyal positif untuk mendukung wacana penundaan Pemilu 2024.

Pandemi Covid-19 memang telah memukul berbagai sektor di Republik ini. Namun kondisi hari ini telah mengalami banyak perkembangan positif. Sehingga penundaan pemilu dengan menggunakan alasan Pandemi merupakan alasan yang dangkal dan terkesan mengada-ada. Alasan yang dibolehkan melakukan penundaan pemilu apabila negara dalam kondisi darurat akibat peperangan maupun bencana yang merata di seluruh wilayah Tanah Air.

**Berita Terkait: Sigi LSI, Mayoritas Publik Tolak Penundaan Pemilu 2024

Wacana penundaan memantik pro-kontra dari banyak kalangan, FITRA mencium gelagat kotor pada wancana penundaan tersebut, yaitu menormalisasi perubahan masa jabatan presiden, dari sebelumnya dua periode menjadi tiga periode. Tentu, usulan tersebut seperti melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), menciderai amanat reformasi, memunggungi demokrasi, dan merampas hak konstitusional rakyat Indonesia. Sangat terang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama 2 periode dan mengamanatkan bahwa Pemilu diselenggarakan dalam waktu 5 (lima) tahun sekali. Telah diperkuat juga melalui Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jika hal ini dipaksakan maka konsekuensinya perlu dilakukan amandemen UU 1945.

Selain itu, wancana penundaan seperti menambah persoalan negara, karena perangkat kelembagaan masih belum mendukung. Belum ditentukannya Lembaga yang berhak untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Kemudian, penundaan Pemilu 2024 berdampak juga pada penambahan masa jabatan DPR dan DPD. Jika konstitusi, MPR tidak memiliki peran untuk melakukan tugas-tugas tersebut.

Dalam konteks konstalasi politik hari ini, rencana amandemen UUD 1945 justru berpotensi memperlebar persoalan regulasi di Republik ini. Setelah sebelumnya rakyat dikhianati dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK. Jangan sampai kemudian, Oligarki mengobrak- abrik UUD 1945 dengan berbagai dalih yang menyebabkan masyarakat terpecah belah.

Dari sisi anggaran, pengesahan anggaran Pemilu 2024 di setiap tahun anggaran (APBN 2022-2024) bisa menjadi celah besar untuk penundaan pemilu, karena sampai saat ini DPR dan Pemerintah belum ada kata kesepakatan terkait besaran dan rincian anggaran pelaksanaan Pemilu 2024. KPU mengusulkan anggaran Rp86 triliun yang kemudian direvisi menjadi Rp 76,6 triliun. Besaran anggaran ini memang naik fantastis dibanding anggaran pemilu 2019 yang menghabiskan anggaran Rp25,59 triliun.

Agar tidak menjadi celah penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden hingga 3 periode, maka Seknas FITRA menyatakan:

1. Mendesak Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo untuk membuat pernyataan tegas penolakan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode demi mewujudkan Amanah Rakyat Indonesia;

2. Mendesak KPU mengeluarkan PKPU tentang jadwal dan tahapan Pemilu 2024 lebih kongkrit dan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas kegiatan dan anggaran;

3. Mendesak Pemerintah dan DPR RI mempercepat pembahasan dan penetapan anggaran Pemilu 2024 sesuai jadwal dan tahapan yang ditetapkan oleh KPU;

4. Mendesak Partai Politik yang mewacanakan penundaan pemilu untuk menghentikan wacana tersebut agar tidak ada perpecahan di masyarakat dan lebih baik fokus kepada tugas yang salah satunya Memberikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat;

5. Mengajak seluruh komponen masyarakat sipil untuk mengawal pelaksanaan Pemilu 2024 dan mengawasi anggarannya.

Tulisan ini opini resmi yang diterima redaksi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).(***)




Pembahasan APBD Kota Tangerang Tertutup, FITRA Sebut Sebuah Kemunduran

Kabar6-Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan ikut mengkritik tertutupnya pembahasan anggaran antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kota Tangerang. Dirinya menilai tertutupnya pembahasan merupakan tradisi lama yang harus ditiggalkan.

“Berarti DPRD dan TAPD masih menggunakan tradisi lama dalam pembahasan anggaran. Ini sebuah kemunduran,” ujar Misbah kepada wartawan, Senin (30/8/2021).

Padahal, saat ini merupakan era keterbukaan informasi publik. Kendati, APBD merupakan dokumen publik yang harus dibuka kepada masyarakat.

Misbah menyarankan agar pembahasan anggaran dilakukan secara live streaming agar masyarakat dapat memantau apa yang tengah dibahas eksekutif dan legislatif.

“Harusnya pembahasan anggaran bisa dilakukan lebih transparan, minimal via live streaming sehingga masyarakat juga bisa memantau apa yang sedang dibahas oleh Banggar DPRD dan TAPD, dan bila perlu memberi masukan,” tegasnya.

Misbah menegaskan, pemerintah yang transparan ialah yang dapat mempublikasikan rancangan Nota Keuangan, Rancangan APBD dan pembahasan anggaran dibuka untuk publik. Walaupun tidak bisa memberikan usulan secara langsung, minimal terdapat masyarakat atau media yang mengawasi.

“Minimal ada ‘fraksi balkon’ dari masyarakat sipil dan media, atau bisa disiarkan secara langsung melalui live streaming medsos resmi DPRD atau Pemkot Tangerang,” katanya.

Dengan terbukanya pembahasan anggaran, dapat meminimalisir munculnya anggaran yang tidak sesuai kepentingan publik dalam APBD. Sehingga, eksekutif maupun legislatif tidak perlu repot mencoret anggaran yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.

Diketahui, DPRD Kota Tangerang telah beberapa kali mencoret anggaran yang menuai polemik di masyarakat. Seperti, pengadaan mobil dinas pimpinan DPRD, pembangunan gedung DPRD dan pengadaan baju dinas dewan yang bermerek mewah.

“Pembatalan baju dewan itu salah satu contoh saja, pasti masih banyak anggaran-anggaran yang peruntukan dan manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Ini yang seharusnya dipantau dan diefisienkan karena berpotensi pemborosan anggaran,” tegasnya.

Pembahasan anggaran pemerintah Kota Tangerang masih jauh dari kata transparan. Pembahasan anggaran masih dilakukan secara tertutup antara Banggar DPRD dengan TAPD pemkot Tangerang.

Padahal, beberapa daerah seperti Jakarta sudah melakukan pembahasan anggaran secara terbuka. Wakil Wali Kota Tangerang Sachrudin mengatakan, pembahasan secara tertutup memang telah dilakukan dari tahun ketahun.

“Itu mah sudah seperti biasanya memang sudah kita bahas dari tahun ketahun sudah (tertutup) seperti itu. Gak ada maslah kayaknya,” ujar Sachrudin usai pengesahan nota Kesepakatan Kebijakan Umum (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Kota Tangerang 2022, Rabu (25/8/2021).

Ketua DPD Golkar itu menilai yang terpenting hasil dari pembahasan disampaikan secara terbuka. “Hasilnya kan terbuka. Ya nanti dibicarakan,” katanya.

**Baca juga: Vaksinasi Lanjutan, BIN Kembali Sasar dari Rumah ke Rumah Warga

Ketua DPRD Kota Tangerang Gatot Wibowo mengatakan, setiap DPRD memiliki tata tertib (tatib) masing-masing. Sehingga pembahasan anggaran tidak dapat dilakukan secara terbuka.

“Ya kan ada tata tertib, rasanya hampir sebagian besar DPRD punya tata tertib dan mengacu ke situlah. Tinggal dicek aja tatib DPRD,” katanya. (Oke)




FITRA Kritik Kebijakan Pemerintah Vaksinasi Berbayar

Kabar6-Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengkritik Pemerintah yang baru saja mengeluarkan kebijakan vaksinasi gotong royong (VGR), sinompham, untuk individu atau vaksinansi berbayar. Kebijakan ini diambil di tengah kondisi kebingungan masyarakat bertahan hidup dan keterbatasan jumlah vaksin.

Sekjen FITRA Misbah Hasan menilai, saat ini kondisi kedaruratan masih diberlakukan oleh pemerintah, entah sampai kapan. Selain itu, target vaksinasi pemerintah belum tercapai, dan stock vasin pemerintah masih belum terdistribusi semua, setidaknya saat ini ada kurang lebih 122 Juta vaksin, yang siap pakai.

“Dari sisi anggaran pemerintah juga baru saja menambah anggaran untuk penanganan kesehatan. Pemerintah menambah anggaran sekitar Rp13,01 triliun (dari Rp172,84 triliun menjadi Rp185,85 triliun),” ujar Misbah Hasan dalam keterangan persnya yang diterima kabar6.com, Minggu (11/7/2021).

Langkah itu ia berpendapat sebagai, Praktik bisnis atau mengambil keuntungan di tengah situasi keprihatinan saat ini. “Sangat tidak manusiawi dan menciderai rasa keadilan masyarakat yang sedang berjuang hidup/mati melawan Covid-19,” katanya. **Baca Juga: Hilang Harapan, Yatim Piatu Ini Mau Gak Mau Harus Bersekolah Jauh Dari Rumah

“Anggaran PEN untuk BUMN saat ini sebesar Rp121,73 triliun,” tambahnya.

Berdasarkan hal tersebut, Misbah Hasan menegaskan Seknas FITRA menuntut. Pertama, kata Misbah, Pemerintah mencabut kebijakan VGR berbayar, karena vaksinasi merupakan hak warga yang paling asasi rakyat, hak untuk hidup.

“Harusnya bila pemerintah bisa memproduksi vaksin sendiri, segara didistribusikan secara gratis ke rakyat untuk menambah keterbatasan vaksin yang ada,” tegasnya.

Kedua, mempercepat serapan anggaran kesehatan untuk vaksinasi dan perbaikan layanan penanganan Covid-19 di Rumah Sakit dan layanan kesehatan yang ditunjuk.

“Ketiga, Anggaran PEN untuk BUMN – termasuk Kimia Farma, harusnya dialokasikan untuk memproduksi dan mendistribusikan VGR secara gratis ke masyarakat,” terangnya.

Selain itu, Misbah meminta Pemerintah dapat memastikan semua kebutuhan perawatan bagi penderita Covid-19.

“Keempat, Pemerintah memastikan ketersedian oksigen, ventilator, dan ruang perawatan layak bagi penderita Covid-19,” tandasnya. (Oke)




FITRA Soroti Progres Serapan Anggaran Pemkot Tangerang Lelet

Kabar6.com

Kabar6-Manager Advokasi Sekretaris Nasional Forum Transfaransi Untuk Anggaran (Seknas FITRA) Ervyn Kaffah menyatakan, bahwa serapan anggaran Pemkot Tangerang tahun 2019 ini masih sangat lamban.

Mengutip data LKPP ia mengungkap bahwa serapan anggaran Pemkot hingga Akhir Oktober 2019 baru mencapai 50,81 persen. Jika dibandingkan dengan target yang disusun oleh Pemkot, terjadi deviasi yang sangat besar mencapai 34,02 persen.

Menurutnya, serapan anggaran dan progres fisik kegiatan APBD adalah indikator sederhana yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sebuah pemerintahan.

“Publik bisa menilai kinerja pimpinan pemerintahan yang saat ini sedang berkuasa dan birokrasi yang dipimpinnya dengan melihat progres serapan anggaran daerah ini. Kalau serapan anggarannya lelet, itu gambaran pemerintahan yang lamban bekerja,” kata Ervyn kepada Kabar6.com, Senin (11/11/2019).

Menurut Ervyn, serapan anggaran yang lamban seperti terjadi di Kota Tangerang menunjukkan masih belum bekerjanya sistem pengendalian kegiatan APBD di kota ini.
“Dengan mengecualikan adanya praktek perencanaan yang buruk, maka leletnya serapan anggaran ini menggambarkan pengendalian kegiatan APBD belum berjalan dengan baik. Hal ini yang harus menjadi perhatian Walikota dan jajaran pimpinan,” ujarnya

Ervyn mengatakan, idealnya serapan anggaran yang baik itu seperti perjalanan mengendarai mobil.

Mulai pelan-pelan pada triwulan pertama, menambah kecepatan dan berkendara stabil pada triwulan kedua dan ketiga, dan akhirnya pada triwulan terakhir memgambil ancang-ancang untuk berhenti dengan smooth.

Ia menilai serapan anggaran kota Tangerang relatif normal pada triwulan pertama, namun pada triwulan kedua dan ketiga kecepatannya tak juga naik.

“Jadi, mesin birokrasi di Tangerang ini seperti mobil yang tak punya gas, tak juga naik kecepatannya,” ujarnya.

Ia menyarankan agar Walikota dan jajarannya melakukan analisis mendalam mengenai sebab leletnya serapan anggaran daerah ini.

Karena selain menggambarkan kinerja yang belum memuaskan, dampak leletnya serapan anggaran dapat berakibat pelaksanaan proyek akan menumpuk pada akhir tahun.

Hal ini dapat berkonsekuensi rendahnya ketelitian dalam pelaksanaan pekerjaan (kualitas barang jasa yang dihasilkan) dan rentan korupsi.

Hal yang sudah pasti terjadi adalah adanya kerugian yang ditanggung publik, karena fasilitas pelayanan publik yang diadakan atau dibangun terlambat dinikmati oleh masyarakat.

Ditanya soal kondisi serapan tiap Dinas atau OPD, Ervyn menyarankan hal tersebut ditanyakan kepada bagian AP Setda atau tim TEPRA Pemkot, karena merekalah yang bertugas mengendalikan serapan anggaran.

Meski demikian, ia membagi info jika di daerah lain umumnya memiliki e-monev untuk pengendalian kegiatan APBD dus serapan anggaran fisik.

“Biasanya di daerah lain, informasi mengenai kemajuan pelaksanaan pengadaan dan sebaran progress OPD itu dibuka untuk publik, jadi bisa dipantau progress pada setiap dinas baik realisasi anggarannya maupun progress pengadaannya,” terangnya.

**Baca juga: Ingin Sampaikan Aspirasi, Datangi Fraksi PKS Buka Hari Rabu.

Kata Ervyn, publik bisa mendorong Pemkot untuk membuka informasi tersebut kepada masyarakat luas.

Berdasarkan laman monev.lkpp.go.id Pada tahun 2019 ini anggaran Pemkot Tangerang senilai Rp 5,002 triliun, terdiri atas belanja tidak langsung (BTL) mencapai Rp 1,571 triliun dan belanja langsung (BL) sebesar Rp 3,430 triliun.

Walikota Tangerang, Arief R Wismansyah ketika dikonfirmasi masih enggan berkomentar. “Sekarang hari pahlawan bos,” tandasnya. (Oke)