oleh

Sop Janda dan Macaroni Ngehe

image_pdfimage_print

Menggunakan bahasa kasar, tidak senonoh, porno, jorok atau bahkan melampaui batas ajar ( kurang ajar) di negeri ini rasanya makin hari makin dianggap seperti sesuatu yang wajar oleh sebahagian orang. Sehingga sebahagian orang itu tidak tau lagi harus bagaimana, dimana, kapan dan kepada siapa mengatakan” kowe, sampayen, panjenengan, aing, urang, abdi, lu atau gua”.

Pengguna kata kasar tersebut tidak saja dari kalangan bawah yang berpendidikan rendah, tapi orang setingkat gubernur pun acapkali menggunakan kata-kata kasar yang tidak pantas di depan umum.

Dan ketika orang-orang yang terbiasa berkata kasar itu membuka rumah makan, dengan enteng saja rumah makannya diberi nama ” Macaroni Ngehe, Ayam Bakar Sambel Setan,  Sop Janda Kesemsem, Soto Merem Melek, atau Warung Nasi Jabl*y.

Islam jelas melarang menggunakan bahasa dan kata-kata kasar (coarse language) seperti itu, apalagi diproklamirkan ke masyarakat luas. 

Bacalah sejumlah hadist apa “ganjarannya” bila menggunakan bahasa-bahasa yang masuk dalam kategori kasar dan  tidak senonoh.”Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor”.(HR. at-Tirmidzi). Dianjurkan harus selalu berkata baik serta lemah lembut “Tutur kata yang baik adalah sedekah”.( HR. Ahmad (2/316).

Dalam definisi bahasa”kotor”’, hal tersebut (setan-ngehe) dimasukkan dalam kategori cursing atau setara dengan si*lan, brengs*k.Dan kata-kata sejenis j*blay, merem melek, masuk  kategori obscenity atau kata yang berkonotasi mesum dan atau mengandung unsur pornografi.

Penelitian yang dilakukan oleh A. Karmiloff Smith tentang bahasa anak-anak sekolah menyatakan, bahwa pada anak antara usia 5 – 8 tahun muncul ciri-ciri baru yang khas pada bahasa anak, yaitu kemampuan untuk mengerti hal-hal yang abstrak pada taraf yang lebih tinggi.

Jadi tak perlu heran kalau semakin banyak anak-anak masa kini yang menggunakan bahasa-bahasa tidak senonoh tersebut, kepada siapa saja, kepada ayah ibunya sekalipun.Dan anak- anak itu tidak lagi suka menyanyikan lagu” Lihat kebunkuu… penuh dengan bungaa..”, tapi sudah mengadaptasi lagu-lagu dewasa yang cenderung bermuatan unsur porno seperti “Hamil Duluan” atau meniru gerakan`’ Goyang Siamang”’, Ngecor, Ngebor dan entah apa lagi, karena mereka memang terus dijejali kata-kata tak senonoh sejenis itu.

Dalam  teori behaviorisme disebutkan bahwa manusia adalah makhluk reaktif, yang selalu merespon lingkungan. Kalau lingkungannya makin banyak menyuguhkan kata setara” setan”’ lalu kata itu akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, baik lewat penamaan rumah makan, lewat dialog pada acara televisi dan sebagainya, anakpun akan menganggap kata atau kalimat itu sebagai suatu kalimat yang wajar, dan kemudian akan meniru serta menggunakannya sebagai ucapan yang dianggap wajar pula kepada siapa saja.

Penggunaan kata atau kalimat di seluruh dunia punya standar yang bisa menentukan, apakah suatu kata dianggap wajar atau diluar batas kewajaran, sopan atau kurang sopan. Dan penggunaan kata bisa menjadi salah satu alat deteksi status sosial seseorang. 

Kalangan agamawan misalnya, tak akan mungkin mengeluarkan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Kalau itu dilakukannya, bisa jadi dia itu agamawan imitasi atau penganut kitab yang salah, atau cuma ustadz jadi-jadian seperti mereka yang menjanjikan bisa menggandakan uang. 

Seorang Ratu yang mengaku dari negara terhormat, tak akan pernah memaki-maki atau tertawa cekikikan sambil bercanda dengan bahasa alay  dan duduk ngedangkak sehingga celana dalamnya kelihatan di depan umum, atau naik sepeda motor bonceng tiga. Kalau ini dilakukannya , pasti dia itu sebenarnya Cabe-cabean yang menyamar jadi Ratu.

Dalam hal berbelanja saja, di sejumlah negara punya standar-standar kesopanan umum dalam hal menggunakan kata. Di Inggris misalnya, bila kita ingin membeli celana panjang di toko, tidak bisa digunakan kata `pants‘, karena di negeri tersebut kata ini bermakna pakaian dalam bukan celana panjang. Kata yang tepat digunakan adalah ‘trousers ‘.

Jadi agak sulit juga dicerna bagaimana pola berfikir orang yang dengan enteng menggunakan kata-kata yang tidak pantas, bahkan untuk menamai rumah makannya, mengapa setan ngehe dan jabl*y dibawa-bawa, kayak sudah tidak ada nama lain yang asyik untuk digunakan.

Dan saat ditanyakan kenapa memilih nama itu, ada pemilik rumah makan menjawab dengan enteng, “Biar Keren”’. Heran kan, ngehe kok keren. 

Sebelum menyesal, sebaiknya dibenerin saja mulai sekarang, sebelum terlambat, daripada nanti tidak punya kesempatan untuk menyesal. Bila anda sudah meninggal dunia dan kiamat tiba, anda akan dipanggil : ” hai pemilik warung sambel setan ngehe, kesini, kamu ini fans setan ngehe ya, pergilah ke neraka, setan semua sudah berkumpul disana menunggu kamu, mau ngajak makan sambel ngehe barengan”.

Kalau ingin memberi nama, beri sajalah nama-nama yang bagus untuk rumah makan anda, karena nama mengandung do’a dan harapan, seperti kebanyakan rumah makan Padang memberi nama, antara lain `’ Restu Bundo”, artinya mereka minta usahanya direstui ibunda-nya atau ‘ Jaso Mande’ berkat jasa ibunda dan nama-nama lain yang baik. 

“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian”(HR. Abu Dawud, Ad-Darimi dan Baihaqi).(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 

Print Friendly, PDF & Email