oleh

Serpong, Riwayatmu Dulu

image_pdfimage_print

Kabar6-Enam wartawan senior yang pernah satu kantor dengan saya di Rakyat Merdeka (Jawapos Grup), Minggu (21/1/2018) lalu, berkunjung ke rumah saya di kawasan Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Oleh: Mulia Siregar‎/Wartawan Senior Eks Rakyat Merdeka

Dua jam menunggu, mereka belum juga tiba di rumah. Padahal, sebelumnya mereka mengabari telah ke luar tol Jebun Jeruk dan sedang menuju Serpong. Normalnya, waktu tempuh perjalanan dari Kebon Nanas ke rumah paling lama 30 menit.

Tiba di rumah, mereka mengaku nyasar karena tidak hafal jalan. Semua berubah. Hutan karet, rawa-rawa, hutan pinus dan kelapa gading yang dulu tumbuh di kiri kanan, jalan kini sudah tidak ada lagi. Berganti menjadi perumahan yang tertata rapih. Jalan-jalan berlubang, kini mulus dan lebar.

Sekitar tahun 2.002, saya sering mengajak wartawan dan beberapa redaktur untuk menikmati suasana malam di perkampungan Serpong yang tenang. Jauh dari suara hingar-bingar kendaraan seperti di Jakarta.

Ditingkahi suara jangkrik, kami bergotong royong membersihkan dan membakar ikan yang kami beli dari petani ikan jaring terapung di danau bekas galian pasir, Desa Cihuni.

Ikan bakar dimakan bareng-bareng beralaskan sehelai daun pisang. Bumbu pun seadanya: cabe, tomat, bawang dan kecap manis dicampur menjadi satu. Nikmat.

Kebersamaan ini saya ciptakan untuk mencairkan hubungan saya dengan para wartawan. Maklum, sebagian menyebut saya ‘’galak’’ saat menjalankan tugas sebagai Redaktur Eksekutif merangkap Koordinator Liputan. Namun banyak juga yang sepenuhnya menyadari bahwa semua itu saya lakukan untuk mendidik mereka agar lebih profesional.

Kepada wartawan, apalagi pemula, ketika itu selalu saya tekankan, jangan ke kantor sebelum dapat berita bagus atau yang ditugaskan. Namun, jika mendapat berita eksklusif, apalagi menjadi headline, sang wartawan akan mendapat bonus uang yang jumlahnya lumayan besar ketika itu.

Hal ini tentu memacu mereka, berlomba-lomba mendapatkan berita ekslusif dan ‘bernilai tinggi’. Kinerja para wartawan hebat ini terbukti mampu menaikkan tiras Rakyat Merdeka hingga 500-600 ribu per hari, kala itu. Teman-teman saya di redaksi (Putra Nababan, Arif Gunawan, Kiki Iswara, Ludin Panjaitan, Karim Paputungan, dll) juga merupakan pemikir hebat yang bekerja tanpa lelah hingga mengantarkan Rakyat Merdeka sebagai media yang disegani kawan maupun lawan.

Kembali ke pembangunan Serpong. Meski jauh dari kantor di bilangan Pos Pengumben, Keb.Lama, Jakarta Selatan, para wartawan sangat antusias jika diajak bermalam di Serpong. Namun, mereka tidak berani mengendarai sepeda motor sendiri-sendiri, harus konvoi.

Sebab, kala itu begal motor sadis lagi marak di Serpong dan sekitarnya. Pelaku tidak segan-segan membacok korban hingga tewas jika menolak menyerahkan sepeda motornya. Bukan hanya pendatang, warga Serpong pun kerap menjadi korban begal para pelaku yang belakangan dikenal sebagai kelompok Lampung.

Menuju Serpong, mereka harus melewati Ciledug-Alam Sutra yang minim penerangan jalan. Mereka ekstra hati-hati karena kerusakan jalan sangat parah dan berbahaya bagi pengendara, terutama saat musim hujan.

Satu lagi yang ditakutkan adalah ular, terutama cobra, ular belang dan ular tanah. Bisanya rata-rata sangat mematikan. Karena itu, sambil membakar ikan, mata kami tetap waspada agar jangan sampai dipatok ular, terutama ular tanah yang warna kulitnyanya mirip tanah sehingga tidak mudah terlihat.

Ngumpul sambil bakar ikan semakin sering kami lakukan setelah rumah saya yang mungil direnovasi seadanya tahun 2.004. Rumah mungil ini saya beli tahun 2.000 melalui kantor tempat saya bekerja. Biaya renovasi saya dapat dari honor penulisan buku Susilo Bambang Yudhoyono yang berjudul ‘’ SBY Bintang di hati Rakyat’’.

Kalau kemalaman pulang ke Jakarta, teman-teman bisa tidur ngampar di rumah. Kini teman-teman wartawan tersebut sebagian beralih profesi. Ada yang jadi dosen, rektor, pengusaha sukses, politisi, manager bank dan aktivis. Sebagian tetap menekuni dunia jurnalistik dengan posisi minimal redaktur dan pimpinan redaksi.

Tempat Buang Mayat

Saat mengelola rubrik hukum dan kriminal sekitar tahun 1993 di koran Merdeka (milik BM Diah-wartawan senior/mantan Menpen era Soekarno), saya tidak bisa duduk manis di ruang redaksi menunggu berita dari wartawan. Karena terbiasa bekerja ‘’lapangan’’, bila ada peristiwa menarik, saya kerap ‘’turun’’ dan berbagi tugas dengan wartawan di tempat kejadian perkara (TKP).

Endang Sudarma (almarhum) dan Geong Rusdianto (kini di RCTI/MNC Grup), adalah wartawan yang gigih dan menjadi andalan untuk liputan hukum dan kriminal. Karena belum ada handphone, informasi harus diperoleh langsung dari TKP. Hasil liputan bersama wartawan, saya sajikan dalam bentuk laporan utama yang menarik untuk dibaca.

Ketika itu, tidak jarang ditemukan tiga sampai empat mayat tak dikenal di hutan karet di kawasan Serpong. Paling sering di hutan kelapa gading (kini jalan raya di depan Ruko Mendrisio, Paramout Gading Serpong hingga Jl BSD Raya Utama menuju perumahan Puspitek, Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Kondisi mayat rata-rata sangat memprihatinkan dengan sekujur tubuh penuh belatung.

Mungkin karena jauh dari permukiman penduduk, ditambah rimbunnya hutan pohon karet/pinus/kelapa gading dan tanah yang penuh rawa menjadikan kawasan ini aman bagi pelaku untuk membuang jenasah korban yang sebelumnya dihabisi di tempat lain. Tingginya tingkat kriminalitas di kawasan Serpong dan sekitarnya mengakibatkan banyak warga lebih suka bercengkrama di rumah atau dengan tetangga dekat pada malam hari.

Hingga tahun 1980-1990-an, Serpong sangat jarang diberitakan media massa, kecuali soal maraknya begal, mayat tak dikenal, kegiatan pemerintahan di kantor Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) serta peringatan Peristiwa Lengkong setiap tanggal 25 Januari yang kerap dihadiri veteran tokoh-tokoh nasional.

Pertempuran Lengkong (25 Januari 1946) adalah peristiwa bersejarah dan heroik para pahlawan kita melawan pasukan Jepang di Desa Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan.

Lurah Musa dan Ular Siluman

Kala itu, Serpong adalah daerah terpencil dan merupakan hamparan hutan karet/pinus, kelapa gading dan rawa-rawa. Jumlah sekolah dan Puskesmas sangat minim. Rumah Sakit yang ada hanya RS Ashobirin. Tidak ada bioskop atau tempat hiburan. Hiburan warga kala itu antara lain pemutaran film layar tancap. Itu pun bila ada warga menggelar hajatan.

Mata pencaharian warga umumnya pegawai perkebunan karet, bertani padi, dan berdagang. Tidak banyak hasil yang bisa diharapkan dari gaji sebagai pegawai perkebunan, atau bercocok tanam di lahan milik sendiri. Sebab, persawahan di daerah ini umumnya tadah hujan.

Panen hanya setahun sekali. Begitu pun hasil kebun, meski panen lumayan banyak, warga terkendala alat transportasi sulit untuk menjual ke pasar lama di Tangerang.

Kalau tidak ada keperluan penting, warga Cihuni, Cigaten, Kampung Sawah, Kampung Bugur, Pondok Jengkol, Curug Sangereng, Rawa Buaya, sebisa mungkin menghindari bepergian ke Tangerang.

Untuk ke Tangerang, mereka harus naik getek karena daerah tersebut terbelah oleh kali Cisadane yang cukup lebar. Jembatan penyeberangan hanya ada di Cisauk Serpong yang dibangun masa penjajahan Belanda.

Salah seorang warga Pondok Jengkol, Jaro Gani menuturkan, ia dan keluarga pergi ke Tangerang hanya saat menjelang Lebaran untuk beli baju baru. Namun mereka harus naik getek yang disediakan Haji Endi secara cuma-cuma untuk menyeberangkan warga ke Jl Raya Serpong.

Haji Endi dikenal banyak orang sebagai tuan tanah yang baik hati, ringan tangan dan kerap menolong warga sekitar. Pak Haji yang masih kerabat dekat artis Jaja Miharja ini mengupah seorang petugas getek untuk menolong warga yang hendak menyeberangi sungai dari Desa Cihuni menuju Jl Raya Serpong, jalan raya satu-satunya ketika itu.

Kedua wilayah tersebut baru ‘’terhubung’’ setelah tiga jembatan besar – mampu dilewati truk bermuatan berat– selesai dibangun tahun 1990-an. Ketiga jembatan berlokasi di Jl SKKT, Desa Cihuni, yang dibangun oleh SK Keris, di pintu masuk perumahan Gading Serpong, dan Jl Grand Boulevard BSD.

Lain lagi cerita Emak Jum, warga Pondok Jengkol. Nenek berusia sekitar 70 tahun ini merupakan pegawai perkebunan di kawasan Gading Serpong. Pimpinannya ketika itu adalah Lurah Musa yang merangkap sebagai mandor karet.

Tugas utama Lurah Musa adalah mengamankan getah karet dari ‘’gangguan’’ kelompok Mat Hitam yang masa itu sangat ditakuti. Pihak perkebunan menunjuk Lurah Musa karena dianggap cukup sakti dan sanggup menghadapi kelompok Mat Hitam.

Menurut Emak Jum, guna mengamankan kebun karet, Lurah Musa memelihara ribuan pasukan siluman berwujud ular tanah. Boleh percaya atau tidak, Mak Jum bercerita menyaksikan langsung, bagaimana Lurah Musa berbicara pada ular siluman tersebut seolah-oleh berhadapan dengan manusia.

Pernah suatu hari, Lurah Musa mendatangi dan mendamprat seorang warga karena hendak membunuh ratusan ular tanah. Warga tersebut menjebak ratusan ular tanah dengan meletakkan tape dalam satu lubang. Ular tanah tersebut akhirnya dilepaskan.

Oleh sang Lurah, rombongan ular tanah disuruh pulang dengan berbaris. Sayang kebenaran cerita ini tidak dapat saya konfirmasi karena Lurah Musa sudah wafat.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita Emak Jum, warga sekitar mengungkapkan, sejak dijaga Lurah Musa, perkebunan karet aman dari pencurian. Pasca Lurah Musa wafat, tidak ada tokoh yang mengurusi kebon karet lagi dan dibiarkan terlantar hingga penuh semak belukar.

Peran Soeharto dalam Pembangunan Serpong

Bila melintas di Jalan Alam Sutera Boulevard, Jl Raya Serpong, Jl Pahlawan Seribu, Jl Raya Gading Serpong dan Jalan BSD Raya Utama, banyak yang tidak percaya, betapa dulu kawasan ini merupakan hutan karet, hutan kelapa gading dan semak belukar.

Hutan karet dan rawa kini berubah menjadi jalan lebar dan mulus. Ribuan ruko dan pusat perbelanjaan berdiri kokoh. Ada Summarecon Mall Serpong, IKEA Alam Sutra, WTC, ITC, Giant, Teras Kota dan AEON. Restoran dengan aneka masakan nikmat juga terdapat di sepanjang Jl Raya Serpong.

Kehadiran pusat perbelanjaan, restoran, pertokoan dan perkantoran di Serpong tentu saja mampu menyerap puluhan ribu tenaga kerja warga sekitar dan daerah lainnya. Kini, selain menjadi penyangga ibukota, Serpong menjadi berubah menjadi pusat bisnis baru.

Salah satu pusat perbelanjaan terbaru diQ-Big Mall BSD yang menarik perhatian saya dan mendapat antusiasme tinggi dari masyarakat BSD dan sekitarnya adalah Lulu Hypermarket milik investor asal Uni Emirad. Berbeda dengan hypermarket lainnya, nuansa Timur Tengah dan Islam sungguh terasa.

Saat berbelaja, konsumen dimanjakan dengan lantunan indah pengajian. Begitu pula saat waktu masuk salat, Lulu memperdengarkan suara azan.

Soeharto
Keberadaan Serpong sebagai salah satu penyangga ibukota tidak lepas dari peranan Pemerintahan Soeharto guna mengurangi ‘’beban’’ Jakarta yang sudah terlalu sumpek.

Pembangunan Serpong sebagai penyangga ibukota diawali dengan peresmian Kota Mandiri Serpong Damai, 16 Januari 1989. Presiden Soeharto kala itu sampai mengutus lima pembantunya untuk menghadiri acara peresmian.

Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, Menteri Perhubungan Azwar Anas. Hadir juga Gubernur Jawa Barat Yogie S Memet dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Surjadi Soedirdja.

Kepada wartawan kala itu Menteri Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo mengatakan, pembangunan kota mandiri Bumi Serpong Damai sangat resiko.

Sebab nilai investasi yang ditanam kala itu sangat besar, mencapai Rp 3,2 triliun. Apalagi Serpong kala itu terasa jauh dari Jakarta karena jalan raya menuju BSD masih minim.

Namun kerisauan Siswono tidak terbukti. Bahkan pengusaha property rame-rame mengikuti jejak BSD membangun perumahan di kawasan Serpong. Hal ini tentu berdampak pada kenaikan harga tanah di kawasan Serpong.

Banyak warga di Serpong kaya mendadak karena menjual tanahnya kepada pengembang dengan kenaikan harga mencapai ratusan persen. Mereka membangun atau membeli rumah yang lebih layak. Sisa penjualan tanah mereka gunakan untuk modal usaha.

Namun banyak juga teman saya menggunakan uangnya untuk berfoya-foya atau menikah lagi. Sayangnya, setelah uangnya habis, sang istri muda menceraikannya. Menyesal? Tentu, tapi sudah terlambat.

Pasar Tradisional Modern
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah keberadaan Pasar Tradisional Modern. Ada empat pasar tradisional modern: Pasar Sinpansa (Summarecon), Pasar Modern Paramount, Pasar Modern Alam Sutra, dan Pasar Modern BSD City.

Di pasar ini, selain menjajakan kebutuhan rumah tangga, juga tersedia jajanan tradisional. Suasana di pasar modern terasa nyaman karena bersih dari sampah dan lalat. Uniknya, ciri khas pasar tradisionalnya tetap dipertahankan, tetap ada tawar menawar, meski semua sudah berkonsep modern.

Salah satu pasar yang cukup menarik perhatian saya adalah Pasar Modern BSD City yang setiap hari ramai dikunjungi pembeli, utamanya akhir pekan. Pasar Modern BSD City ini mampu bersaing dengan peritel raksasa yang ada. Saat ini, ada sekitar 800 pelaku UMKM terlibat di dalamnya.

Hebatnya lagi, beberapa pedagang di pasar ini beromzet puluhan juta per hari. Bahkan ada yang sukses mengekspor dagangannya hingga ke luar negeri.

Muhammad Syafik (30 tahun), misalnya. Siapa yang menyangka bila dengan hanya berdagang ayam potong, pendapatan Syafik bisa mencapai Rp17 juta hingga Rp20 juta per hari? Apa kiat dan dari mana pengetahuan berdagang diperoleh? Ternyata mengikuti pelatihan melalui program Pasar Rakyat Scholl yang diselenggarakan PT BSD, pengelola Pasar Modern City.

Pedagang lain di Pasar Modern BSD City yang juga sukses saya adalah Tawi. Dengan hanya bermodalkan satu juta rupiah, pria asal Pekalongan kelahiran tahun 1970 ini sukses mengekspor tempe hingga ke Taiwan dan Hongkong.

Dari hasil penjualan tempe di lapaknya, Tawi mampu meraih untung bersih Rp3 sampai 4 juta per hari. Itu belum termasuk untung yang diraih dari hasil ekspor tempe ke luar negeri. Lagi-lagi pengetahuan dan kiat suksesnya sama dengan Muhammad Syafik: mengikuti pelatihan yang diselenggarakan PT BSD.

Tetap Religius
Meski berkembang pesat menjadi kota mandiri, menurut pengamatan saya, warga Serpong tetap religius. Terbukti dengan makin banyaknya tempat ibadah di Serpong dan sekitarnya. Masjid, misalnya.

Tercatat ada puluhan masjid besar di BSD City. Sebut saja, Masjid Al Hakim Kencana Loka BSD City, Masjid Al-Aqsha De Latinos, BSD City, Masjid Baitussalam, The Green, BSD City, Masjid Al-Ikhlash Sektor 1,6 BSD City, Masjid An Nahl The Icon BSD City, Masjid Al Falah German Centre BSD City, Masjid Asy-Syarif Al-Azhar BSD City, Masjid Al Hidayah Sektor 1.3 BSD City, Masjid Giant BSD City, Sentra Masjid BSD City, Masjid Al-Ukhuwah The Icon BSD, Masjid Ar Rahman BSD City, Masjid Al IKhlas Q-Big BSD City, Masjid Ulul Albab BSD City.

Keberadaan tempat ibadah tersebut tidak lepas dari sumbangsih warga BSD dan sekitarnya serta besarnya perhatian PT BSD. Sudah puluhan masjid dan mushola direnovasi PT BSD lewat program bedah masjid.

Puluhan sekolah elite Islam kini juga hadir di BSD City, di antaranya: Sekolah Islam Al Azhar, SD Al-Fath, KB-TK Islam Raudhah, TK Al-Fath, KB-TK Islam Terpadu Ar-Raihan, SD Islam Cikal Harapan-1, Sekolah Insan Cendekia Madani, Sekolah Islam Terpadu Permata Gemilang, Sekolah Islam Terpadu Aulady, Global Islamic School, Sinar Cendekia Integrated Islamic School.

Setiap tahun, menjelang Lebaran, PT BSD menggelar Festival Ramadhan. Diisi dengan berbagai perlombaan yang melibatkan anak-anak, acara ini selalu meriah. Ada lomba Tahfidz Al-Quran, lomba Da’i cilik, lomba busana muslim, dll. Selain memberi hadiah kepada peserta, panitia juga menyerahkan santunan kepada anak yatim.

Untuk kegiatan pendidikan, BSD City memberikan pelatihan bahasa isyarat bagi komunitas tuli dan dengar kepada warga sekitar (Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang). PT BSD juga memberikan bantuan untuk kaum dhuafa dan bea siswa bagi anak-anak yang membutuhkan di lingkungan sekitar.

Menariknya, bekerjasama dengan GeeksFarm, PT BSD juga memberi beasiswa pelatihan programmer dan pelatihan web mobile developer. PT BSD juga menggandeng Purwadhika untuk mendidik anak-anak berprestasi putus sekolah agar menjadi ahli IT/programmer komputer, web mobile developer yang siap kerja.

Menyaksikan langsung tahapan perkembangan Serpong hingga menjadi kota mandiri, adalah kenangan terindah bagi saya. Jujur, saya tidak menyesal pindah dari Jakarta ke Serpong.(Tulisan kiriman)

Isi berita kiriman diluar tanggungjawab Redaksi.

Print Friendly, PDF & Email