oleh

Religius

image_pdfimage_print

Belakangan ini aku semakin sering merasakan, sejumlah orang yang mungkin merasa dirinya paling religius, melemparkan pandangan kurang sreg, seolah-olah membuat kesimpulan bahwa di dalam diri orang-orang seperti aku, yang berpenampilan western style adalah orang-orang yang lebih rendah dari mereka.

Aku memang nyaris tak pernah mengenakan baju koko, seperti dia, karena menurut sejarah seperti diungkapkan budayawan Remy Sylado, aslinya baju itu adalah baju tui-khim yang digunakan engkoh-engkoh. kemudian dieja dalam Bahasa Indonesia jadinya Koko. Jadilah “Baju Koko”. Hal senada juga disampaikan Pengamat budaya China, David Kwa, juga dibenarkan sejarawan JJ Rizal.

Entah sejak kapan baju koko masuk Islam. Dan, novel The Da Peci Code karya Ben Sohib, baju koko digugat. Tokoh dalam novel itu bilang, “Tadi ane lihat, semue orang di masjid ini pake baju koko. Baju koko dianggap baju Islam. Emang sejak kapan baju koko masuk Islam? Dulu kagak ade orang yang bilang itu baju Islam. Semue orang juge tau kalau itu baju asalnye dari negeri China. Terus kenape jadi dikaitin ame Islam, seolah-olah kalau yang pake baju koko itu berarti orang Islam yang Islami? Di mane letak kaitannye?”.

Adakah yang salah dengan mereka yang mengenakan baju koko,tentu tidak salah.Siapa saja yang senang memakainya, silahkan pakai. Apakah salah bila aku senang mengenakan Tshirt Polo dan celana jeans, sepanjang yang aku tahu sampai hari ini tidak ada masalah juga, karena kriteria menutup aurat bagi lelaki dari dengkul sampai puser sudah terpenuhi.(HR Bukhari, Ahmad, Hakim).

Lalau apa bisa baju koko dijadikan parameter untuk menjustifikasi bahwa mereka yang mengenakannya lebih Islami, lebih religius, ahli ibadah yang lebih dekat dengan Allah SWT, dan aku adalah sebaliknya. 

Atas dasar pertanyaan itu, mendorong aku membaca referensi sebanyak-banyaknya.Aku baca Annecdots From Islam yang ditulis Ibrahim Khan, mengisahkan tentang Syeikh Sa’adi yang merasa dirinya paling zuhud dalam beribadah. Ketika masih muda, suatu malam dia membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat malam di hadapan ayahnya. Malam itu orang-orang di sekitarnya tertidur lelap. Sa’adi lalu berguman dengan bangga, “Tidak seorang pun diantara orang-orang itu yang mengangkat kepalanya untuk shalat. Mereka terlalu cepat terlelap dalam tidur seolah mereka mati”.

Ayahnya mendengar ucapan Sa’adi. Dengan penuh kasih dan edukasi, sang ayah menasihati Sa’adi, “Wahai anakku, lebih baik engkau juga tidur bila tidak ada lagi yang dapat engkau kerjakan selain mencari kesalahan orang lain”. Sa’adi menyadari, betapa dirinya terlalu bersemangat beragama, sambil menganggap orang lain tidak seperti dirinya.  

Pada referensi yang lain ada yang disebut Ujub, yang maknanya adalah mengagumi diri sendiri, yaitu ketika merasa bahwa diri kita memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.(HR Imam Ahmad). Memuji diri sendiri, menganggap lebih baik dari orang lain dan bahkan menganggap diri paling suci. Allah melarang seseorang yang menganggap suci dirinya sendiri. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu paling suci. DIAlah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS 53:32).

Lalu apakah cara mereka memandangku seperti itu bisa dikatakan sebagai sebuah kesombongan (al-kibru), seperti kesombongan iblis terhadap Adam, yang menyatakan bahwa dia lebih baik dari Adam karena terbuat dari api, sementara Adam dari tanah. (QS. Al-A’raf 13) atau berupa tidakan meremehkan sesama manusia (HR.Muslim).

 Setelah membaca referensi-referensi itu, aku menjadi sedikit lega, dan kamu yang setiap hari berbaju koko, tidak boleh lagi memandangku seperti itu, karena kamu tak punya wewenang membuat penialian tentang diriku, terutama soal religius atau tidak orang seperti aku penggemar Thsirt Polo dan bercela jeans.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

Print Friendly, PDF & Email