oleh

Punten, MK itu Mahkamah Konstitusi Atau Mahkamah Kalkulator

image_pdfimage_print

Kabar6- ‘Mahkamah Konstitusi Jangan Jadi Mahkamah Kalkulator’. Istilah itu muncul ketika MK sang penjaga konstitusi diharapkan mampu menegakkan kebenaran substantif dalam melihat gugatan Pilkada di setiap daerah. Dimana, Pilkada kali ini diselenggarakan di 101 daerah.

“Kalau syarar-syarat formil ambang batas, MK juga harus memperhatikan legal standing dan batas waktu. Ambang batas ini memang menjadi syarat formal, tapi tidak bisa menjadi satu-satunya syarat bagi MK untuk menerima atau menolak gugatan perselisihan. 

Jika ini (gugatan) di cut (potong) dari awal, ini menjadi preseden yg buruk bagi MK. Maka MK hanya akan menjadi mahkamah kalkulator,” kata Adelina Syahda, peneliti dari Konstitusi Dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, saat menjadi pembicara dalam diskusi di Kota Serang, Jum’at (10/03/2017).

Dalam diskusi bertajuk ‘Banten Dalam Pusaran MK’ yang diselenggarakan oleh Banten Cyber Journalist Forum di aula DPRD Banten ini, MK harus membuka diri untuk meneliti dari setiap laporan kecurangan yang masuk, seperti kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).

“Tapi ternyata di lapangan ditemukan pelanggaran TSM perolehan suara berbeda. Sehingga penggerak di daerah, itu menghasilkan ambang batas yang jauh tadi. Kalau MK menutup mata pada ambang batas ini, maka kebenaran substansialnya tak akan terbuka,” tegasnya.

MK yang berjuluk ‘Sang Penjaga Konstitusi’ pun tak bergeming. Pihaknya mengaku akan tetap berpegang teguh pada UU nomor 10 tahun 2016 tentang ambang batas yang tak mungkin akan dirubah.

“Sejauh ini MK masih berpegangan dengan undang undang yang ada. Syarat-syarat itu juga harus dipenuhi oleh penggugat saat mengajukan gugatan ke MK, termasuk syarat ambang batas perolehan suara itu,” kata Fajar Laksono, Juru Bicara (Jubir) MK yang ditampilkan di ruang seminar lewat teleconference .

Fajar yang menjadi pemateri menjelaskan, bahwa perselisihan pemilu bisa diselesaikan oleh penyelenggaran pemilu disetiap tingkatan, seperti Panwaslu hingga Gakkumdu. 

“Kemudian dalam UU Pilkada, memberikan kewenangan, bahwa perselisihan Pilkada itu diselesaikan oleh badan Persidangan Pilkada, jika lembaga tersebut belum dibentuk, maka diselesaikan oleh lembaga penyelenggara pemilu,” tegasnya.

Sekedar informasi bahwa hingga kini telah ada 49 aduan gugatan Pilkada ke MK dari 101 daerah yang menggelar Pilkada serentak gelombang kedua.

Perlu diketahui bahwa, ambang batas sengketa suara tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan peraturan MK Nomor 1 tahun 2017 tentang pedoman beracara dalam pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan umum (PHPUD). 

Berdasarkan pasal 158 UU Pemilu, yang berhak diajukan ke MK yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

Pilkada Provinsi

1. Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.

2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.

3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.

4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Pilkada Kabupaten/Kota:

1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.

2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.

3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.

4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.‎(tmn)

Print Friendly, PDF & Email