oleh

Politik

image_pdfimage_print
Zul Fauzi Lubis.(ist)

Mengapa begitu banyak orang yang merelakan dirinya bertikai karena urusan-urusan politik, partai politik, atau rusan Pilkada dan sebagainya. Membuang energi yang sebetulnya tak perlu, dan akan lebih baik  energi tersebut bisa digunakan untuk hal-hal positif yang bermanfaat untuk membenahi kehidupan sehari-hari, memperbaiki karier atau memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.

Niccolo Machiavelli sudah sejak lama menulis dalam bukunya The Prince tentang garis besar haluan politik yang harus diterapkan jika ingin menang. Politik haruslah culas dan penuh tipu daya.

Dan Frederich Nietzche menambahkan, Lies are necessary to life , bagaimanapun kebohongan adalah sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan. Dan, kebohongan tak pernah absen dalam dunia politik. 

Para politisi sesungguhnya hanya memperjualbelikan nasib manusia. Mereka hanya mampu melakukan politik agregasi, mengumpulkan jumlah suara, lalu dijual dan ditukar jabatan dan kekuasaan dengan bantuan media membangun citra, meski sejatinya yang dibangun adalah fatamorgana.

Bila mereka-mereka yang bertikai adalah golongan masyarakat awam, mungkin masih layak untuk dimaklumi, karena bisa jadi mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang mereka lakukan dan untuk tujuan apa mereka melakukannya. Biasanya mereka hanya menjadi pion yang mengikuti komando dengan semboyan” Maju tak Gentar Membela yang Bayar”.

Dalam perkembangan terakhir dan sangat disayangkan makin banyaknya Ulama politik atau politik ulama, yang menyediakan dirinya menjadi corong/bamper tokoh politik atau partai politik atau kedua – duanya sekaligus hanya untuk memenuhi hasrat syahwat.

Ulama tidak selayaknya berada di dalam pusaran dunia politik, yang menurut Machiavelli sebagai dunia penuh dengan keculasan dan tipudaya.Posisi ulama semestinya jauh dari hingar bingar politik, harus selalu berada di tengah-tengah umat, mengayomi agar tetap berada di jalan yang lurus dan memberdayakan mereka.

Konyolnya, ulama-ulama itu bahkan sudah berani menarik-narik ayat suci sebagai pembenaran urusan-urusan politik yang sedang dimainkannya, mengaduk-aduk domain Tuhan demi tercapai tujuannya.

Kebohongan-kebohongan yang paling nyata dari partai politik bisa disimak dalam Pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan di sejumlah daerah. Sebahagian besar partai politik hanya memainkan pragmatisme kekuasaan. Figur-figur yang mereka calonkan nyaris tidak ada dari kader mereka sendiri, karena hampir bisa dipastikan kader mereka tidak akan laku ‘dijual’.Maka dicarilah artis sinetron, penyanyi, anak cukong dan figur-figur lain yang sudah kondang di masyarakat kemudian dipakaikan jacket partai.

Dan itulah yang sangat disayangkan, mengapa ulama bisa terseret-seret ke dalam kumpulan para pembohong. Apa yang kau cari sebenarnya hai…ulama, mengapa kau relakan kharismamu ditukar dengan syahwat. Koplak dot com.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

Print Friendly, PDF & Email