oleh

Perjuangan Relawan Banten di Mata Dunia

image_pdfimage_print

Kabar6-Rabu 5 Desember 2018, merupakan hari relawan dunia. Mungkin banyak orang yang belum mengetahui peringatannya, karena memang tidak ada ‘pesta meriah’, layaknya peringatan hari besar lainnya.

Namun, relawan mempunyai sumbangsih besar bagi masyarakat, terutama yang mengalami musibah.

Ada Rochman Setiawan atau biasa disapa Kang Omen. Dia telah menjadi relawan sejak tahun 2008, membantu pasien miskin hingga membantu bangun Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di berbagai daerah di Banten.

“Hanya ingin berusaha bermanfaat saja. Kalau lagi enggak punya duit, harus antar pasien. Untuk antar pasien, harus pinjam kendaraan kesana-kesini,” kata Rohman Setiawan, relawan dari Lebak Peduli, saat dikonfirmasi melalui pesan singkatnya, Rabu (5/12/2018)

Lalu ada relawan dari media sosial (medsos), yang mengumpulkan dana bantuan melalui akun medsos, namanya Lulu Jamaludin, dari FesbukBantenNews dan Komunitas Bahasa Jawa Serang (BJS).

Mang Lulu biasa disapa, kerap membantu pasien miskin, membangun RTLH, korban banjir hingga membangun rumah singgah.

Mang Lulu menajdi relawan sosial sejak tahun 2004, telah memiliki satu istri dan tiga orang anak. Hidupnya sangat sederhana, tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kelurahan Lopang, Kota Serang, Banten.

Kesehariannya, membantu warga tidak mampu menggunakan sebuah motor butut. Lalu bagaimana menghidupkan keluarganya? Dia bekerja sebagai wartawan lepas sebuah media online lokal Banten dengan pendapatan alakadarnya.

Harapannya sederhana, memiliki rumah singgah untuk pasien miskin dan pemerintah daerah (Pemda), peduli terhadap rakyat tidak mampu.

“Tak jarang bayar kontrakan , listrik dan iuran sekolah anak telat, lantaran mendahulukan pasien,” ujarnya.

Lalu ada juga relawan membaca dari Suku Baduy Luar, Mulyono namanya.

Pemuda asli Baduy Luar ini, secara sembunyi-sembunyi mengajarkan membaca ke anak-anak di Suku Baduy.

Meski ditentang hukum adat, dia tetap berjuang sejak tahun 2012. Perjuangannya telah di dahului oleh bapaknya, yang telah mengajarkan anak-anak Suku Baduy untuk belajar membaca dan menulis ditahun 2001.

Mul mengajar membaca dan menulis anak-anak Baduy yang berusia antara 10 tahun sampai 15 tahun, dengan caranya sendiri.

Meski tidak mengajar secara formal damembeli alat belajar secara swadaya dan dibantu oleh donatur, Mul tak pernah menyerah.

“Tetapi sebetulnya adat bukan melarang anak-anak buat belajar, adat mau anak-anak baduy belajar dengan alam, belajar bertani dan tidak diperbolehkan mempelajari dan masuk di dunia modernisasi,” kaya Mulyono, melalui pesan singkatnya, Rabu (5/12/2018).(dhi)

Print Friendly, PDF & Email