Kabar6-Forum Kerja (Forja) Jurnalis Kabupaten Tangerang menggelar diskusi publik di Graha Pemuda KNPI Kabupaten Tangerang, Jumat (25/3/2022). Diskusi tersebut mengangkat tema “Seberapa Layak Kabupaten Tangerang Menyandang Kota/Kabupaten Layak Anak”.
Diskusi tersebut menindaklanjuti tingginya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Tangerang. Seperti di tahun 2021 kasus kekerasan itu tercatat ada 125 kasus, angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2020 yang menyentuh 142 kasus.
Kemudian, memasuki awal tahun 2022 tepatnya di bulan Januari, tercatat ada sebanyak 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, dan yang berhasil di ungkap oleh pihak kepolisian hanya 7 kasus dengan korban 20 anak dan ditetapkan 7 tersangka.
**Baca Juga: MAKI Laporkan Dugaan Korupsi Kredit Macet Bank Banten
Ketua Forja Jurnalis Kabupaten Tangerang, Alfian Herianto mengatakan dibalik peningkatan kasus tersebut, Kabupaten Tangerang telah menerima penghargaan sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) pada tahun 2021 dengan kategori Madya yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Republik Indonesia.
“Namun, seiring dengan masih bermunculannya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan
dan anak yang saat ini cukup terbilang tinggi. Itulah dasar kami gelar diskusi ini,” ujar Alfian.
Sementara itu, Kapala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Tangerang, Asep Jatmika mengatakan, terdapat lima kategori kota/kabupaten yang layak mendapatkan predikat layak anak. Mulai dari Pratama, Madya, Nindya, Utama dan Kabupaten/Kota Layak Anak.
“Kabupaten Tangerang sudah mendapatkan Madya. Tentunya masih sangat layak menyandang predikat itu,” katanya.
Sementara itu, Kanit PPA Polres Kota Tangerang, Iptu Iwan Dewantoro mengatakan, pada tahun 2022 periode Januari – Maret terdapat 13 kasus berhasil diungkap. Dari jumlah kasus tersebut ada juga yang dilakukan restorative justice.
“Dalam kasus pelecehan dan pemerkosaan anak tidak semua dikenakan pidana. Namun ada ada juga yang berakhir restorative justice, karena keluarga tidak mau membuat korban trauma,” tandasnya. (Oke/Rez)