oleh

Membidik Sutradara Polemik Run Way III

image_pdfimage_print

Perseteruan berbagai pihak, diantaranya dengan KJPP.(foto:dok)

Kabar6 – Polemik tanah di Run Way III Bandar Udara Soekarno-Hatta memiliki beberapa kisah yang menarik. Diantaranya kisah ‘bubble ekonomi’.

Buble ekonomi merupakan istilah dalam ekonomi yang bermakna menggelembungkan nilai ekonomi. Atau dengan kata lain, harga tanah yang dibeli dalam jumlah besar disebutkan bernilai tinggi namun sesungguhnya nilai aslinya tidak sesuai.

Desa Rawa Rengas Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang merupakan salah satu lokasi yang akan dibeli lahannya oleh pengelola Bandar Udara Soekarno-Hatta, PT Angkasa Pura II.

Desa yang berada dekat dengan Desa Rawa Burung dan Desa Belimbing ini mayoritas memiliki lahan pertanian. Jalan utama menuju ke kantor kepala desa juga sangat sempit. Dan pemisah antara badan jalan dan lahan pertanian hanya terusan kali kecil yang juga kotor. Yah kotor, pasalnya banyak sampah yang berserak di permukaan airnya.

Rumah penduduk desa yang berada di pinggir jalan utama rapat dan padat. Menurut pengamatan, luas tanah setiap rumah penduduk berkisar 36-75 meter  persegi. Yang lalu lalang di jalan itu lebih banyak sepeda dan motor.

“Pekerjaan warga di sini mayoritas petani, peternak dan pedagang kecil,” kata Sapri salah satu warga desa kepada Kabar6.com, Tangerang, Rabu (22/3/2017).

Sapri mengaku memiliki tanah seluas 150 meter yang bila jadi dibeli pengelola bandara. “Itu tanah milik orang tua sebenarnya. Sebelum ada di pemberitaan dan demo, harga tanah di sini murah. Per meter kurang lebih Rp. 180 ribu – Rp. 250 ribu,” kata Sapri.

Sapri mengatakan, murahnya harga tanah karena surat tanahnya mayoritas belum sertifikat. Pria bertubuh sedang ini menambahkan dengan adanya pemberitaan perluasan landasan pacu di perimeter Utara, harga tanah di desa naik menjadi Rp. 6 juta per-meter.

“Terus terang kami sebagai warga senang sekali bila per-meter diberikan harga segitu. Kenaikan harga tanah di sini mulai terjadi sekitar akhir tahun 2014,” kata Sapri. 

Sambil memesan kopi, Sapri yang memiliki rambut belah tengah itu melanjutkan, pertengahan tahun 2015, ada beberapa orang yang membeli lahan pertanian dengan harga per meternya Rp.350 ribu dan Rp. 380 ribu.

“Yang beli tanah itu tokoh masyarakat yang terdiri dari SA, SM, J dan Haji O. Bahkan Haji O saat ini memiliki tanah yang banyak di desa ini,” kata Sapri.

Haji O yang disebutkan pria berusia 30 tahun ini bukan tokoh masyarakat asli dari Desa Rawa Rengas dan bukan juga dari kelompok Tionghoa. Namun ditambahkan Sapri, Haji O merupakan orang yang dikenal di Kabupaten Tangerang.

“Saya tidak tahu, yang pasti dia (Haji O-red) dikenal di kabupaten,” tandasnya.

Menurut penelusuran Kabar6.com, polemik tanah di Run Way III ini dimulai pertengahan tahun 2015. Masyarakat di sekitar bandara belum sepakat dan ada titik temu masalah harga yang harus dibayar oleh Angkasa Pura II. Masyarakat meminta harga beli lahan mereka per meternya mencapai Rp 6-7 juta.

Sementara itu, pertengahan tahun 2014, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar meminta kepada warganya untuk menjual harga tanahnya sesuai dengan harga NJOP.

“Jika harganya sampai Rp.20 juta sungguh tidak realistis. Harganya sesuai dengan harga NJOP saja,” kata bupati.(nal)

 

Print Friendly, PDF & Email