oleh

Melongok Sejarah Pembangunan Pintu Air Pamarayan di Banten

image_pdfimage_print

Kabar6-Dibangun tahun 1905 dan selesai tahun 1925, Bendungan sekaligus Pintu Air Pamarayan Lama menghabiskan biaya 5 juta gulden. Pembangunan pintu air 10 pintu ini mempekerjakan 200 ribu masyarakat Indonesia yang dibayar tak menentu.

Bendungan tersebut yang mampu mengairi 27 ribu hektare persawahan. Karena termakan usia, kini bangunan lama sudah tak digunakan dan tergantikan dengan bendungan baru yang memiliki delapan pintu air.

Namun kini, Pintu Air Pamarayan baru telah mengalami sendimentasi yang cukup parah dengan pulau kecil di tengahnya Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, yang notabene adik Ratu Atut Chosiyah enggan bertanggung jawab dan melemparnya ke pemerintah pusat.

“Saya tidak berhak memantau, karena Pemda Kabupaten Serang stratanya ada di bawah,” kata Ratu Tatu Chasanah, Bupati Serang, Kamis (12/10/2017).

Sedangkan di saat banjir, Pamarayan mampu mengalirkan air mencapai 2.600 meter kubik per detiknya. Di saat musim penghujan dan kemarau, ketersediaan air ditentukan dari pasokan air di Pintu Air Pamarayan.

“Sungai Ciujungnya kalau enggak dibendung langsung ke laut. Dari dua sungai, Cibeurang sama Ciujung. Kalau debit banjir sampai 2.600 meter kubik per detik,” kata Hermanto, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pintu Air Pamarayan, Kamis (12/10/2017).

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1951 Presiden Soekarno mengunjungi Pintu Air Pamarayan atau ada juga yang menyebutnya Jembatan Putih yang berada di Kecamatan Cikeusal atau sekitar satu jam perjalanan dari Kota Serang, Ibu Kota Provinsi Banten.

Bendung Pamarayan Lama mempunyai beberapa bagian bangunan antara lain saluran irigasi sepanjang ratusan meter yang dilengkapi dengan 10 pintu air berukuran raksasa. Diameter setiap pintu hampir 10 meter lebih yang merupakan bangunan utama. Selain itu Bendung Pamarayan Lama juga memiliki dua menara yang terletak di sisi kanan dan kiri bendungan.

Untuk menggerakkan setiap pintu air yang dibuat dari baja tersebut, pemerintah Belanda menggunakan rantai mirip rantai motor yang berukuran besar. Sepuluh rantai dikaitkan pada roda gigi elektrik yang terletak di bagian atas bendungan. Roda-roda gigi yang berfungsi untuk menggerakkan pintu air berjumlah puluhan di dalam 30 bok tipe 1,2 dan 3 (berukuran sedang) dan roda gigi tipe 4 dan 5 (berukuran besar). Setidaknya ada 20 as kopel berdiameter sekitar tujuh centimeter dan panjang 1,5 meter sebagai penghubung roda gigi di setiap pintu air.

Pada saat itu yang mengerjakan jembatan tersebut adalah orang-orang pribumi dan para pekerja dari daerah jawa yang dipekerjakan oleh orang belanda. Warga pribumi hanya dibayar atau mendapat imbalan atas pekerjaannya hanya dengan dibayar dengan uang logam Wel Wina dengan cara pakai takaran tidak diperhitungkan dengan rinci, entah takaran uang ataupun takaran jagung.

Mulai pada saat itu munculah keributan antara warga pribumi yang meributkan imbalan yang diberikan oleh Belanda. Semakin lama semakin berlanjut keributan tersebut dan pada akhirnya daerah tersebut menjadi sebutan Pamarayan, yang dalam Bahasa Sunda berarti pembayaran.(dhi)

Print Friendly, PDF & Email