oleh

Marah Online

image_pdfimage_print

Kalau mau adu marah, perusahaan rekaman (recording company) atau PT Pos Indonesia harusnya adalah pihak yang terlebih dulu marah dan protes kepada pemerintah, karena bisnis mereka tergerus oleh bisnis berbasis aplikasi online.

Tapi justru itu tidak dilakukan karena sepenuhnya mereka sadar, bahwa kemajuan teknologi tak bisa dihambat oleh apapun dan oleh siapapun. Maka kedua usaha bisnis ini justru menjawab tantangan kemajuan teknologi tersebut, dan secara khusus saya sangat salut dengan inovasi yang dilakukan PT Pos Indonesia, dengan cepat menjawabnya dan merubah sejumlah sistem seperti pengiriman uang dari Wesel fisik manual menjadi Wesel elektronik berbasis aplikasi dan juga juga produk-produk pos lainnya.

Dalam kasus pertikaian taksi dan ojek online dengan taksi dan ojek konvensional, yang dikedepankan selama ini adalah amarah, ujungnya kemudian menyulut huru-hara sekaligus meminta korban di berbagai kota.

Saya tidak dalam kapasitas ingin membela mereka yang memilih pekerjaan berbasis aplikasi atau yang mereka tetap bertahan secara konvensional, sebab semua anda adalah saudara saya, minimal saudara sebangsa dan setanah air.Yang memilih pekerjaan berbasis online dan konvensional, pada hakikatnya sama-sama bertujuan mulia, mencari nafkah yang halal untuk anak dan isterinya.

Yang perlu difahami adalah, saat ini negara-negara di dunia, termasuk Indonesia sudah memasuki era yang disebut sharing economy atau collaborative economy, dimana semua orang, semua pelaku bisnis saling bekerjasama, berkolaborasi dan saling berbagi.

Para pengelola taksi konvensional, di negara mana saja, tidak bisa lagi untuk tetap mempertahankan bisnisnya seperti era 80 an atau era 90 an, dan mengahadang pihak lain yang terjun berbisnis transportasi sejenis taksi, karena eranya sudah berubah.

Sama juga dengan para pemilik andong di kawasan Pinang Ciledug, tak bisa mempertahankan atau memaksa agar andong dimasukkan dalam undang-undang transportasi menjadi salah satu moda transportasi perkotaan.Ini bukan soal siapa yang salah siapa yang benar, zamannya yang sudah berubah bray.

Ada contoh lain yang berkembang di Jakarta dan mungkin di kota-kota lain, yakni konsep yang ditawarkan www.nebeng.com.Orang-orang yang kerja sekantor atau kantornya berdekatan dan pulang perginya searah, tidak perlu lagi naik taksi atau bawa mobil sendiri, mereka bersepakat naik dalam satu mobil bersama-sama.Gagasannya cukup brilian, dengan begini mereka ikut menghemat BBM, mengurangi polusi udara. Soal bayaran, mereka sepakati bersama berapa iurannya, dan juga dijelaskan siapa yang akan nebeng dan siapa yang bisa ditebengin. Pertanyaannya, apakah pola semacam ini, kira-kira bisa nggak dihadang oleh pengusaha taksi konvensional maupun taksi online. 

Di kalangan pengusaha perhotelan, terutama di daerah wisata, kini juga menghadapi tantangan dengan menjamurnya bisnis kamar kosong berbasis aplikasi.Masyarakat sekitar tempat wisata yang punya kamar kosong di rumahnya, mulai menyewakan kamar tersebut bagi para wisatawan dan tarif yang tentu saja murah.Ada juga tawaran kost jam-jaman(transit) harian dan mingguan.Pertanyaannya lagi,bisakah pengusaha perhotelan menghadangnya.

Semua pebisnis, taksi, hotel atau bisnis apa saja, dalam era sharing economy, mau tidak mau harus menata ulang konsep bisnisnya, sebab ada perbedaan yang signifikan dengan era konvensional, terutama dalam hubungan produsen dan konsumen, dan bagaimana cara konsumen mengkonsumsi kebutuhannya.Dan bila tetap ingin mempertahankan pola konvensional, pastilah anda terlindas dan terkubur oleh zaman.

Di kalangan konsumen saat ini, kebutuhan dan keinginan bidang transportasi misalnya, mereka ingin kenyamanan, keamanan, praktis, murah, efisien.Bisakah keinginan dan kebutuhan konsumen saat ini terjawab dengan pola layanan konvensional ditengah masyarakat konsumen yang sudah millenial berbasis teknologi aplikasi.

Sekali lagi saya tidak berposisi membela kepetingan pihak manapun, karena tidak ada kepentingan membela salah satu pihak, konvensional atau online.Dan dalam menangani permasalahan ini, pemerintah sebagai regulator tampaknya memang masih terkesan sebagai ‘pemadam kebakaran’.Melahirkan Permen ini dan itu, kemudian Permen direvisi, rasanya memang belum menjawab pokok permasalahan.

Adalagi pejabat yang bilang, kan kita yang atur, kalau tak setuju dengan permen itu silahkan hengkang.Lhoo.. itu bukan solusi namanya, bapak.Lagian bapak kan tidak membidangi trasnportasi dan selama ini juga tidak dikenal sebagai ahli bisnis transportasi umum. (zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 

 

Print Friendly, PDF & Email