oleh

LPAI: Usulan Mendikbud Soal FDS Menihilkan Peranan Keluarga

image_pdfimage_print
SDN Kademangan 1 di Kecamatan Setu, Tangsel.(yud)

Kabar6-Wacana program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)‎ Muhadjir Effendy yang ingin menerapkan anak-anak murid seharian penuh di sekolah atau Full Day School (FDS), menuai reaksi dari berbagai kalangan.

Sedianya, pemikirannya itu baik bagi masyarakat perkotaan, termasuk di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Ketua Bidang Sumber Daya Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Henny Rusmiati mengatakan, gagasan Mendikbud patut menjadi telaah semua pihak.

Tentu bersepakat bahwa pembangunan karakter anak-anak Indonesia sudah seharusnya dilakukan sebagai agenda tanpa henti perbaikan kehidupan bangsa.

“Mengadakan full-day school sepintas lalu menihilkan peran keluarga dan orangtua sebagai elemen mutlak keberhasilan pendidikan siswa,” katanya lewat siaran pers yang diterima kabar6.com, Selasa (9/8/2016).

Menurut Henny, itulah alasan utama penolakan terhadap gagasan Mendikbud. LPA Indonesia bisa memahami rasa was-was yang muncul karenanya.

Namun pada kenyataannya, juga tak terbantahkan bahwa sebagai konsekuensi kesibukan orangtua, banyak anak-anak yang masih diikutkan kesekian banyak kursus sepulang jam sekolah.

Henny bilang, inisiatif orangtua untuk mengursuskan anak, terlepas dari positif serta negatifnya, besar kemungkinan hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang memiliki kekuatan finansial.

“Sebaliknya, bagi keluarga dengan kemampuan keuangan yang sederhana, memberikan anak les atau kursus ini-itu masih merupakan barang mahal,” bilangnya.

Terhadap kesenjangan itulah, lanjut Henny, gagasan Mendikbud berpeluang menjadi solusi, bahwa semua anak dari semua lapisan keluarga. Nantinya berkesempatan setara untuk mengasah diri dengan aneka keterampilan baru melalui FDS.

‎Henny uraikan, masukan LPA Indonesia tentang FDS baru sebatas wacana yang masih dalam taraf kajian. Pertama, muatan FDS sepatutnya tidak memberikan beban kognitif tambahan yang akan memperletih siswa, baik secara fisik maupun psikis.

FDS bukan penguatan akademis, melainkan wadah bagi siswa untuk menjadi insan-insan unggul paripurna. Penilaian berbentuk pemeringkatan antarsiswa harus dihindari.

“Kedua, FDS tidak memunculkan beban pembiayaan ekstra bagi siswa. Itu artinya, jika Pemerintah menjadikan FDS sebagai program wajib, maka Pemerintah harus memastikan kesiapan anggaran untuk itu,” urai Henny.

Ketiga, masih menurutnya, alih-alih memberikan PR kepada siswa, FDS perlu memberikan penugasan kepada orangtua siswa.

Penugasan itu yang akan mengondisikan orangtua untuk tetap mengoptimalkan peran pengasuhan pada setiap kesempatan mereka berinteraksi dengan anak-anak.

“Ini sekaligus merupakan jawaban atas kerisauan sebagian kalangan akan ternihilkannya peran orangtua akibat FDS,”‎ ujar Henny.

Keempat, FDS difungsikan sebagai wadah ekstra bagi terpenuhinya hak-hak anak secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya, antara lain, penyediaan menu sehat, pemeriksaan kesehatan dan kelengkapan imunisasi, peningkatan iman dan takwa, serta penyelenggaraan hiburan ramah anak.

Henny ungkapkan, untuk merealisasikannya Kemendikbud perlu melibatkan kementerian dan lembaga terkait dalam proses penyusunan kurikulumnya. **Baca juga: Pemkot Tangsel Pesimis Gedung DPRD Rampung Tahun Ini.

‎FDS memberikan ruang keterlibatan seluas mungkin bagi masyarakat, utamanya untuk memastikan masuknya nilai kearifan lokal dalam materi pendidikannya. **Baca juga: Bus Transjakarta Ciputat – Bundaran HI Sepi Peminat.

“Demikian pula terkait pemantauan dan evaluasi, forum-forum masyarakat pendidikan berbasis sekolah-orangtua-masyarakat perlu digiatkan,” tutupnya.(yud)

Print Friendly, PDF & Email