oleh

Kota Ramah Pengembang

image_pdfimage_print

Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of The Child) sejak 5 September 1990. Dan dengan ratifikasi itu, Indonesia berkomitmen menghormati dan memenuhi hak anak yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tapi apa yang terjadi, pengembangan kota layak anak lebih berorientasi pada aspek politik, karena parameternya hanya merupakan akumulasi dari program di beberapa kementerian. Jadi tak usah heran kalau program layak anak di sejumlah kabupaten kota tidak menyentuh esensinya.

Bupati atau walikota hanya berlomba-lomba membuat berbagai kebijakan yang kelihatannya berpihak kepada anak untuk tujuan meraih penghargaan Kota layak anak dari pemerintah.Padahal faktanya bisa saja bertolak belakang.

Buktinya di kota-kota yang sudah mendapat penghargaan sebagai kota layak anak, masih banyak ditemukan anak-anak yang tidak sekolah, anak-anak jalanan (street shildren), pekerja anak (child labour), perdagangan anak (child trafficking) dan prostitusi anak (child prostitution). 

LBH Keadilan baru saja meminta agar kota Tangerang Selatan dicabut statusnya sebagai Kota Layak Anak. karena menurut LBH ini, yang terjadi justru sebaliknya, sudah menjadi kota yang tidak ramah atau bahkan berbahaya bagi anak-anak. Bisa dibayangkan, jika dalam kurun waktu sebulan, terjadi 6 kekerasan seksual terhadap anak, maka berarti tiap lima hari telah terjadi satu kekerasan seksual. Dengan demikian dalam satu tahun bisa terjadi 72 kasus kekerasan seksual. Ini sangat berbahaya kata aktivitas LBH.

Selalin kasus kekerasan seskual, anak-anak juga bebas saja check in di hotel bersama pacarnya, seperti yang dilakukan MA (22) seorang mahasiswa yang memboyong cewek imut-imut DAS (16) untuk ‘menikam’ nya di Hotel Ciputat.

Yang lain lagi, ketika Satpol PP menggelar razia di Cafe Samudra, Jalan Raya Serua, dan Cafe Ciputra di Jurangmangu, juga ditemukan anak-anak berusia 15 dan 16 tahun yang dipekerjakan sebagai wanita malam, tapi nggak diapa-apain tuh.Kalau begitu, mengapa bisa diberi penghargaan sebagai kota layak anak. Silahkan heran kalau memang kepingin heran melihat kenyataannya.

Untuk bisa memperoleh sebutan kota layak anak, sebenarnya harus dipenuhi 31 indikator yang ditetapkan. Kalau tidak dipenuhi, itulah kata Arist Merdeka Sirait, kota layak anak lebih condong ke urusan politis ketimbang pembelaan hak anak secara esensial.

Saya setuju dengan pendapat-pendapat itu, sebab faktanya memang sebahagian kabupaten kota Indonesia sekarang ini lebih cenderung menjadi kota kabupaten ramah developer/ pengembang, ketimbang bela-belain urusan soal hak anak. Hidup pengembang.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

Print Friendly, PDF & Email