oleh

Koodinator Jampidum: Tolak Ukur Restorative Justice Ada di Hati Nurani dan Pengabdian pada Manusia

image_pdfimage_print

Kabar6-Koordinator pada Jampidum Kejaksaan Agung Zet Tadung Allo, SH.MH MH,menjelaskan bahwa Restorative Justice merupakan terobosan baru Jaksa Agung untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Penegakan hukum bukan untuk penguatan kelembagaan, tetapi untuk tersangka, terdakwa, korban dan masyarakat sehingga kehidupan masyarakat yang sempat rusak, hubungan masyarakat yang menjadi renggang, dapat disatukan kembali. Restorative justice tidak hanya diukur dari undang – undang, tetapi dengan hati nurani dan empati serta menegakan hukum harus mengabdi pada manusia,” ujar Zet Todung dalam audiensi dengan mahasiswa Program Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Kamis (28/07/2022).

Selanjutnya, Koordinator pada Jampidum menjelaskan bahwa perkara yang dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif yaitu suatu perkara yang sebenarnya cukup bukti dan oleh karenanya memang harus sudah P-21. Apabila perkara dihentikan belum P-21, perkara itu berhenti karena memang tidak cukup bukti sehingga berdasarkan petunjuk Penuntut Umum sesuai Pasal 14 huruf b, Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, dikoordinasikan dengan Penuntut Umum untuk dilengkapi atau dinyatakan SP3.

**Baca juga: Tim Tabur Kejagung Ciduk DPO Kasus Korupsi Asal Kejari Samarinda

Zet Todung menjelaskan, tindak pidana yang paling banyak diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif adalah penganiayaan, lalu lintas, pencurian dan penganiayaan kepada anak.

“Per tanggal 27 Juli 2022, sebanyak 1.385 perkara dari 33 Kejaksaan Tinggi di Indonesia tidak dilimpahkan ke Pengadilan,” imbuhnya. (red)

Print Friendly, PDF & Email