oleh

Kenangan Didik Kajati Banten Alasan Banting Setir dari Profesi Wartawan

image_pdfimage_print

Kabar6-Kepala Kejaksaan Tinggi Banten, Didik Farkhan Alisyahd menyatakan pernah menggeluti profesi sebagai wartawan di Jawa Pos Grup. Ia menceritakan alasannya ketika itu pilih banting setir menjadi jaksa.

“Saya sendiri juga enggak tahu alasannya ini,” ungkapnya menjawab pertanyaan kabar6.com saat acara Coffe Morning Bersama Pers dikutip Minggu (5/3/2023).

**Baca Juga: Catatan Komisi Kejaksaan Atas Kepercayaan Publik pada Kejaksaan

Ia cerita masuk ke Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, bukan untuk menjadi penegak hukum. Orang tuanya punya tujuh anak ingin semuanya masuk perguruan tinggi negeri.

Didik bilang, saat itu hanya fakultas hukum saja yang kuota penerimaan calon mahasiswa paling banyak. Ia yakin peluangnya lebih besar diterima sehingga mendaftar hingga akhirnya diterima masuk.

Pas baru masuk kuliah masa sosialiasi ada senior aktivis di kampusnya yang menawarkan untuk ikut bergabung dalam pers mahasiswa. “Kamu kalo di pers mahasiswa ada honornya,” ujar Didik menirukan ucapan seniornya.

Ia masih ingat Rohman Budianto, Pemimpin Redaksi Jawa Pos saat itu menjadi senior sekaligus mentornya di kampus dalam dunia jurnalistik.

Didik akhirnya nyemplung menjadi wartawan hingga akhir lulus kuliah. Tepat setahun bergabung di Jawa Pos Grup desakan muncul dari orang tuanya saat bertemu kawannya yang punya usaha fotocopy.

Ternyata ada pelanggan orang kejaksaan yang fotocopy menginformasikan ada lowongan pegawai negeri sipil di Korps Adhyaksa. Pengumuman lowongan di koran pun ketika itu hanya muncul sehari saja.

“Le (nak-red) kamu itu sarjana hukum. Ini ada tes kejaksaan dicobalah,” ujar ayahnya ditirukan Didik. “Udahlah yah saya di wartawan aja udah cocok,” sahutnya.

“Ya coba ajalah sapa tau hidupmu di kejaksaan,” tegas ayahnya. Didik pun akhirnya menuruti saran orang tuanya.

Dia pergi ke Jakarta untuk mengikuti tes masuk kejaksaan. Bahkan proses tes sampai tujuh kali. Padahal ketika itu pekerjaan sebagai wartawan masih dilakoninya di desk investigasi.

Sistem pengiriman berita pun masih lewat fax yang dibantu oleh adiknya. Pengumuman lowongan muncul dan ternyata ia diterima di bidang perdata. Tetapi hatinya masih gamang.

“Saya masih ingat ketika itu masih lahirnya DATUN (Perdata dan Tata Usaha Negara-red) jadi staf. Tapi itulah takdir saya,” cerita Didik.

Pria asal Bojonegoro, 18 Oktober 1971 itu berguyon ada rekannya mengecap dirinya merupakan wartawan yang membelot jadi jaksa.

“Itu takdir. Karena wartawan itu berat, saya pernah ngerasain saya kena maag itu karena jadi wartawan,” paparnya sambil tertawa.(yud)

 

 

Print Friendly, PDF & Email