oleh

Jejak Ulama dan Peran Pesantren dalam Perjuangan Bangsa

image_pdfimage_print

Kabar6- Perjuangan untuk mengusir penjajah dari muka bumi ini bukan saja dilakukan para pejuang nasional. Tokoh ulama dari kalangan santri pun menapaki jejak kakinya dalam merebut kemerdekaan.

Politisi Partai Golkar, Muhammad Pahruroji menyebut sosok Pangeran Dipenogoro pejuang muslim yang mewariskan tiga benda bersejarah untuk generasi penerusnya.

Ketiga peninggalan bersejarah itu adalah Kitab Taqrib (Fathul Qorib) karangan Abu Syuja, tasbih, dan Al Quran. Fakta ini diakui banyak pihak sekaligus mengindikasikan identitas Sang Pangeran, yang menyandang status muslim dan santri.

Karena hanya seorang Santri tulen yang menekuni Kitab Taqrib. Petunjuk lain, tasbih, menurut Habib Luthfi Bin Yahya, adalah penegas bahwa pejuang perang Jawa itu adalah pengikut tarekat.

Mantan Sekretaris DPD Golkar Banten itu memaparkan fenomena tentang perjuangan massal yang melibatkan santri dan dunia pesantren adalah saat lahirnya Resolusi Jihad, yang dimotori pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadrotusyeikh K.H. Hasyim Asy’ari.

Resolusi ini bergaung kuat, disambut pekik takbir, dan menggelorakan peperangan hebat di Surabaya.

Demi mengenang peristiwa heroik ini, pemerintah menetapkan momentum Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Sejatinya, akar perjuangan santri dan dunia pesantren hadir sejak jauh hari. Jika membuka literatur tentang jaringan ulama, sejarah santri, dan biografi ulama, maka kita akan menemukan tiga hal pokok.

Mantan anggota DPRD Banten itu menyimpulkan tiga hal pokok yang menjadi kekuatan pejuangan muslim, mengutip buku Martin Van Bruinessen berjudul: Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, atau Jaringan Ulama yang ditulis cendekiawan muslim Azyumardi Azra.

Pertama, spirit ideologis anti penjajah di kalangan pesantren hadir karena motif eksistensi. Bahkan menjadi ideologis. Sejak Islam berkiprah di Nusantara, maka para Ulama beserta muridnya (santri) kerap melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah.

Mengapa? Pertama adanya kontras yang kental, antara karakter penjajah dengan kalangan pribumi santri. Nyaris dalam segala hal terjadi konflik.

Kedua, perasaan tertindas dan solidaritas terhadap nasib sesama. Kalangan ulama dan pesantren terbakar semangat juangnya untuk mengangkat derajat umat.

Ketiga, dan yang paling penting, penjajah adalah penghalang besar sekaligus mesin  penghancur bagi kemaslahatan umat dari segala faktor.

Beberapa faktor lain juga menjadi energi tambahan, demi memperkuat perjuangan Ulama, Santri, Pesantren.

Diantaranya adalah: doktrin, ajaran, seruan, dan fatwa para ulama senior yang dihormati, selalu menekankan pentingnya berjuang mengusir kolonial.

Bahkan di kalangan ulama yang tidak menetap di Nusantara dan dikenal apolitis sekalipun, seperti Syeikh Nawawi Al Bantani, ternyata turut mengobarkan semangat juang.

Buku The Religion of Java, karya Cliford Geertz menyebut: di Pusaran Ka’bah, di tempat inilah para ulama menyebarkan pesan-pesan perjuangan kepada murid-muridnya di Nusantara.

Jejak dakwah tersebut menjadi peneguh dalil, bahwa santri adalah bagian penting dalam tarikh sejarah Nasional.

Pahruroji menilai sangat layak jika masyarakat kini melakukan ikhtiar terbaik, agar tradisi dan etos semangat santri tetap terjaga.

**Baca juga: Kotret Gelar Pameran Menuju Fase Baru di TangCity Mal Tangerang.

Pintu masuk untuk mengoptimalkan peran santri dan dunia pesantren, sudah ada, yakni UU Pesantren, yang disahkan pemerintah di 2019 lalu.

Berbagai poin penting di UU tersebut memberikan posisi penting bagi pesantren (di situ termasuk Ulama dan Santri). Terutama dalam hal peran dan bantuan pemerintah, untuk berperan nyata.

Kini pilihan terbuka di depan mata: Apakah kita akan diam membiarkan pesantren (santri) tumbuh sendiri atau ikut bergerak?(Tim K6)

Print Friendly, PDF & Email