Alasannya, karena sistem Sanitary Landfill yang digunakan saat ini tidak cocok dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
Demikian dikatakan pengamat persampahan kota dari Universitas Gajah Mada, Sodiq Suhardianto, Senin (9/6/2014). “Jaraknya terlalu dekat dengan pemukiman warga dan lahannya terlalu terbatas,” ungkapnya.
Padahal, gas methan tersebut sangat berbahaya jika dihirup dalam waktu yang lama karena gas metan sebagai gas rumah kaca memiliki daya rusak 21 kali lebih berbahaya dibanding zat karbondioksida(CO2). “Ini sangat berbahaya bagi warga sekitar,” katanya.
Dampak terpaparnya gas metan, kata dia, bisa menimbulkan kematian, penyakit yang serius. “Salah satunya menyebabkan penyakit gangguan pernapasan atau ISPA,” ujarnya.
Menurut Sodiq, penyebab sumber bau menyengat berasal dari kolam bak penampungan sampah. Tumpukan sampah yang telah padat tidak ditutup sehingga mengeluarga gas methan (CH4). Implikasinya, bau sampah menyebar akibat tertitup hembusan angin.
“Jadi mencemari udara lingkungan sekitar. Seharusnya ditutup agar gar methannya enggak keluar,” terang Sodiq.
Oleh karena itu, tambah Sodiq, ia meminta agar pengolahan sampah yang menggunakan sistem Sanitary Landfil agar dihentikan. “Seharusnya jangan dilanjutkan,” katanya. **Baca juga: Keluhkan Warga Merebak, Bau Sampah Cipeucang Makin Parah.
Saat ini, ia melanjutkan, yang terjadi di Tangsel dan Indonesia umumnya bukan Sanitary Landfil, tapi open dumping, sehingga polusi air lindi terhadap air tanah karena kebocoran geomembran dan polusi udara karena gas metan. **Baca juga: Penipu Modus Anak Kecelakaan Sasar Warga Pamulang.
“Semestinya sampah yang ditimbun ditutup agar gas metannya tidak keluar,” kata Sodiq.(yud)