oleh

Ganti Untung

image_pdfimage_print

Hampir seluruh aksi terkait pembebasan lahan warga di berbagai daerah di negeri ini, baik itu untuk kepentingan negara atau kepentingan swasta, atau kombinasi kedua-duanya, nyaris tak pernah bisa dilaksanakan dengan mulus.

Kasus ganti rugi lahan warga yang paling tragis dan meninggalkan kesedihan mendalam serta masih tetap diingat oleh warga dan keturunannya, terjadi tahun 1985, seperti dicatat laman wikipedia.

Pemerintah saat itu merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah, untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt, dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektare sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. 

Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai 156 juta dolar dari Bank Dunia,  25,2 juta dolar dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.

Begitu mulai diairi pada 14 Januari 1989, menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.

Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri (saat itu) Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara oleh ‘eksekutor’, warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². 

Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.

Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hammam Ja’far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.

Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991, dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak.

Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Provinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.kasus ini meninggalkan kenangan pahit.

Hari ini,Selasa (14/03/17), warga Desa Rawa Rengas menggelar aksi menuntut keadilan atas pembebasan tanah mereka oleh PT Angkasa Pura II untuk pelebaran Runway 3 Bandara Soekarno Hatta (Soetta).

Sebenarnya masalah ini tidak akan menjadi rumit, karena kesepakatan para pihak sudah terjadi pada 27 Januari 2016. Seperti disampaikan Koordinator Lapangan Aksi ini, Dulamin Jigo.Mereka hanya menuntut empat hal yang sebelumnya sudah disepakati bersama. Tapi begitu eksekusi pembayaran akan dilakukan, persoalan jadi rumit karena sejumlah oknum ikut bermain dan memunculkan persoalan baru.  

Disinilah letak persoalannya.

Pertama, dalam hal pembebasan lahan, akronim yang digunakan tetap saja ‘ganti rugi’.Kenapa era reformasi seperti sekarang ini, dimana era dunia sudah berubah, tapi pola pembebasan tanah tetap saja tak berubah, tetap dengan pola lama dan tidak ikut merubah akronim ” ganti rugi’ menjadi ‘ganti untung’.

Kedua, ikut bermainnya oknum-oknum yang coba menangguk keuntungan.Ini perlu diselidiki, siapa saja yang ikut bermain.Periksalah ada nggak oknum AP II, oknum BPN, apakah tim independen benar-benar independen, dan ada nggak oknum-oknum instansi lain yang juga ikut menebarkan jala.

Kalau melihat suasananya semakin kacau balau, dan mengingat kasus pembebasan lahan Bandara sebelumnya yang juga bermasalah, hampir bisa dipastikan masih ada permainan lama yang ‘jorok’ dan bisa terendus indikasinya.

Selain itu, penerapan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, harus dipilah secara cermat pasal per pasal, seperti kepentingan umum tanpa unsur bisnis, contohnya jalan raya non tol tentu berbeda dengan jalan tol dan seterusnya.

Yang paling penting, jangan lukai lagi hati masyarakat lewat pembebasan lahan. Sudah terlalu panjang catatan pahit pembebasan lahan yang terjadi di negeri ini, mulai dari Kedung Ombo, Lapindo, Tol Cipali, Tol Palindra dan seterusnya. Pembebasan hari ini akan menjadi masa lalu bagi mereka di tempat yang baru nanti, dan jangan catatkan masa lalu yang pahit dalam hati warga Desa Rawa Rengas, Rawa Burung dan desa-desa lain sekitarnya yang terkena pembebasan. “Masa lalu tidak pernah mati, bahkan tidak pernah juga berlalu”.(Williem Faulkner, 1897-1962).(zoelfauzilubis@yahoo.co.id). 

 

Print Friendly, PDF & Email