oleh

Dosen Unpam Sebut Tangsel Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak

image_pdfimage_print

Kabar6-Tindak pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur telah mencapai sekitar 63 kasus. Angka tersebut tercatat dalam laporan yang diterima UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terhitung sejak Januari hingga September 2024.

“Tidak berlebihan jika Kota Tangerang Selatan saat ini darurat kekerasan seksual anak,” ungkap Dosen Hukum Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya kepada kabar6.com, Rabu (2/10/2024).

**Baca Juga:Darurat, Tiga Lembaga Ini Berhak Putuskan Suntik Kebiri untuk Predator Anak di Tangsel

Menurutnya, dibutuhkan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi menyikapi maraknya kekerasan seksual anak-anak. Perlu edukasi publik tentang tindak pidana kekerasan seksual secara terus menerus agar publik terus waspada, calon pelaku mengurungkan niatnya melakukan kejahatan, dan orang yang mengalami, melihat, atau mendengar kekerasan seksual berani untuk melaporkan ke aparat penegak hukum.

Halimah terangkan, secara khusus pemerintah pusat dan daerah perlu segera mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan penguatan lembaga layanan bagi korban. UPTD PPA harus segera melakukan perbaikan dengan membuat layanan sistem satu atap atau (one stop service).

“Jadi jika ada korban mengadu, maka cukup di UPTD PPA saja, petugas kesehatan, psikolog, polisi yang datang dan dengan segera ke UPTD PPA untuk melayani dan memenuhi segala kebutuhan korban,” terangnya.

Aparat kepolisian, Halimah tegaskan, juga harus mengacu juga pada UU TPKS dalam melakukan penanganan kekerasan seksual. Polisi wajib berkordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sehingga korban yang membutuhkan perlindungan bisa dilindungi. LPSK juga akan menghitung besarnya restitusi yang bisa korban mintakan kepada pelaku.

Hak-hak seperti hak pemulihan, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, serta hak-hak lainnya harus menjadi fokus dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Jadi bukan melakukan penghukuman dengan mengkebiri pelaku. Terlebih masalah hukuman kebiri ini sudah menjadi kontroversi sejak UU Perlindungan Anak memuat hukuman kebiri.

“Sehingga penerapannya perlu telaah yang lebih komprehensif,” tegas Halimah. Ia bilang,

Kota Tangsel tidak lagi pantas menyandang status sebagai Kota Layak Anak. Justru sebaliknya, menjadi kota yang tidak ramah, bahkan berbahaya bagi anak-anak.

Status berbahaya bagi anak-anak ini, tidak hanya karena kekerasan seksual tentunya. Tetapi juga penculikan yang belakangan dialami sejumlah anak di Kota Tangsel. Predikat Kota Layak Anak tidak lebih sebatas formalitas.

“Seberapa jujur, transparan dalam penilaian Kota Layak Anak ini?. Semestinya kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melibatkan akademisi, aktivis perlindungan anak setempat dalam melakukan penilaian terhadap suatu daerah untuk menentukan predikatnya sebagai Kota Layak Anak. Jadi, jelas sekali lagi, Predikat Kota Layak Anak tidak lebih sebatas formalitas,” tutup Halimah.(yud)