Kabar6-Kekerasan yang menimpa perempuan dan anak ternyata masih sering terjadi di wilayah Tangerang Selatan (Tangsel). Bahkan, jumlahnya mengalamin peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sepanjang Januari-Mei 2012 saja, tercatat dalam sebulan rata-rata ada 10 aduan masyarakat terkait kekerasan yang dialami perempuan dan anak di wilayah hukum Polres Kota Tangerang.
Ketua Pusat Advokasi Hukum dan Ham (Paham Indonesia), Sabaruddin mengatakan, meningkatnya KDRT tersebut salah satunya akibat diberlakunya Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
“UU No 23 Tahun 2004 ini memang terbilang baru, sehingga kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya pun belum terlalu menjiwai spirit dan subtansinya,” katanya usai audensi dengan DPRD Kota Tangsel, Kamis (26/7/2012).
Dari angka kasus kekerasan dalam keluarga yang tercatat di Polres Tangerang sejak bulan Januari hingga Mei 2012, persentase peningkatan terjadi dalam setiap bulannya.
Secara keseluruhan, kata Sabarudin, kasus KDRT yang terjadi sebanyak 31 pelapor, lima kasus diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri dan dianggap memenuhi syarat penuntutan atau yang sering disebut dengan istilah P21.
Tapi, lanjut dia, sisanya 20 berkas kasus tindak tersebut, terpaksa dihentikan akibat sejumlah alasan yang sebagian besar tidak cukup bukti atau pihak pelapor melakukan penarikan pengaduan.
“Yang dihentikan penyidikannya cenderung pada kasus yang berhasil dimediasi di tingkat penyidik dan antara pengadu dengan teradu bisa didamaikan serta kembali rujuk,” katanya.
Sabarudin mencontohkan, kasus KDRT warga Serpong yang melaporkan kisah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Dalam kasus ini, katanya, hidung korban KDRT tersebut mengalami luka patah.
Pelaku sendiri dilaporkan istrinya ke Polres Tigakraksa atas perbuatan kekerasan dalam rumah tangga, dengan melakukan pemukulan di bagian wajah. Namun kasus penganiayaan tersebut sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak kepolisian.
“Kami sudah laporkan kasus ini kepihak kepolisian polres Tigaraksa. Namun selama 3 bulan ini kasus tersebut tidak ada kejelasan, polisi menanggap kasus ini ringan. Apa yang sebenarnya pola pikir penyidik dalam kasus tersebut,” katanya.
Lebih lanjut Sabaruddin mengatakan, bentuk antisipasi pihak kepolisian untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan yakni dengan cara turun melakukan pembinaan serta penyuluhan.
Diharapkan, muncul kesadaran masyarakat untuk menghargai hak-hak perempuan sehingga tidak muncul kekerasan yang mengakibatkan permasalahan sampai mengarah ke tindak pidana.
“Ada baiknya Tangsel mencontoh seperti Kota Bekasi yang UNI PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) banyak diisi oleh penyidik polwan, agar secara psikologis mereka lebih bisa diharapkan dalam perlindungan terhadap perempuan” pungkasnya.
Sementara itu, Fitria Delifa, salah seorang korban kekerasan dalam rumah tangga menuturkan, ketidaktahuan akan hak dan buta hukum yang menyebabkan perempuan kurang dilindungi baik pada saat mengalami kekerasan maupun saat memproses di kepolisian.
Dokter yang saat ini bekerja disalah satu Puskesmas di Setu ini juga menambahkan, bahwa KDRT adalah perkara laten. Angka angka dikepolisian hanyalah fenomena gunung es saja, karna pada kenyataannya, korban yang tidak melapor jauh lebih banyak.(evan)