1

WAGIMAN

Pemberian nama pada saudara-saudara kita di komunitas suku Jawa secara umum berkaitan erat dengan weton atau hari kelahiran.Tujuannya agar tidak melupakan sejarah hari kelahiran mereka seumur hidupnya. 

Weton atau hari kelahiran, terdiri dari dino (Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jemuah, Setu, Ngahat) dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Oleh karena itu, nama-nama sebagian orang Jawa juga didasarkan pada dino dan pasaran atau gabungan dari keduanya.

Nama Wagiman sendiri diberikan kepada anak yang lahir pada pasaran Wage, itu kalau anaknya lelaki.Tapi kalau perempuan biasanya akan diberi nama Wagini atau Waginah.

Tapi tulisan ini sebetulnya tidak ingin membahas soal nama Wagiman atau Waginah, tetapi soal Wagiman yang disampaikan oleh salah seorang mahasiswa yang berorasi saat Forum Aksi Mahasiswa (FAM) Tangerang dan Solidaritas Pelajar Untuk Rakyat’ menggelar aksi di depan halte Yeppentek Jl. Printis Kemerdekaan, Cikokol Kota Tangerang, Selasa (18/4/2017) lalu. Mahasiswa itu menguraikan kalimat Wagiman menjadi ‘Walikota Gila Taman’.

Kordinator aksi tersebut Sandy Purnama mengatakan, jika pemerintah daerah kota Tangerang belum sepenuhnya menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.”mereka jangan hanya sibuk bangun taman untuk menarik investor agar masuk dan berdatangan, tapi ingat rakyat butuh pendidikan dan kesehatan yang layak, bukan taman,” katanya.

Terlepas dari suara mahasiswa soal gila taman itu, saya hanya ingin urun rembug sedikit tentang bagaimana sebenarnya sebuah taman yang layak disebut sebagai Taman Kota dan memenuhi standart secara estetika.

Taman bagi sebuah kota memang dibutuhkan untuk membantu fungsi hidrologi dalam hal penyerapan air dan dapat mengurangi potensi banjir sekaligus menjalankan fungsi ekologis, sebagai penjaga kualitas lingkungan kota.

Taman kota sebagai bagian dari ruang terbuka hijau, harus dikembangkan pada bagian–bagian kota sesuai hirarkinya, sehingga terbentuk taman skala kota yang terstruktur, diarahkan untuk estetika perkotaan, maupun sebagai ruang kesehatan lingkungan perkotaan, fasilitas olahraga dan rekreasi.

Lalu berapa standart luas taman yang harus dibangun di sebuah kota. Ada pendapat yang menyatakan antara 7 hingga 11,5 meter persegi per orang . Taman kecil luasnya kurang dari 2 ha, taman menengah luasnya 20 ha dan taman besar luasnya minimal 60 ha.Nah inilah baru layak disebut sebagai taman kota.

Dan material landscape atau vegetasi yang harus dipenuhi pada sebuah taman kota, ada juga ketentuannya, seperti tanaman kayu keras, perdu, rumput, semak, gazebo, stepping stone dan seterusnya.

Untuk mengetahui lebih dalam soal taman kota, mungkin bisa membaca tulisan-tulisan Frances Kuo dari Landscape and Human Health Laboratory University of Illinois atau referensi Landscape Gardening lainnya.

Jadi, taman-taman yang selama ini dianggap sebagai taman itu, sebetulnya belum ada yang layak disebut sebagai taman kota.Jadi apa dong namanya?.Yah ruang terbuka yang ditanami pohon, ada tanah lebih tanami pohon macam-macam, lalu kita sebut saja taman kota. Yang penting bisa digunakan untuk bermain dan berkumpul.

Yang saya juga ikut bingung, selain penyebutan yang belum tepat untuk taman kota itu, juga soal tata lampu di kota ini, menurut pengamatan saya diletakkan secara semau gue, ditempel di pohon-pohon, di kolong-kolong pipa air atau pipa listrik, tanpa memperhitungkan nilai estetika dan teknis.

Sebab penerangan sebuah kota juga ada aturannya, serta ditentukan oleh jenis dan kualitas lampu yang digunakan. 

Misalnya untuk penerangan jalan, perhitungannya harus selalu berdasarkan efektivitas yakni lumen/watt.Apakah sebuah lokasi cocok dipasangi jenis mercuri atau sodium, dan seberapa tingkat iluminasi yang dibutuhkan di prapatan jalan protokol, di jalan kelas tiga, di ruang terbuka serta berapa jarak ideal antar titik lampu.

Kemudian dalam hal pemilihan jenis lampu dan merk, juga ikut menentukan hasil pencahayaan, sekaligus tingkat hemat borosnya penggunaan listrik.Bila lampu-lampu yang digunakan adalah jenis konvensional, jelas pemakaian listriknya akan boros, dan pemerintah kota di seluruh dunia sudah mulai beralih menggunakan Light Emitting Diode (LED), untuk hemat energi dan hemat pembayaran tagihan listrik.

Jadi bila adik-adik mahasiswa mau bilang Wagiman ya soookkk lah, saya cuma ikut nimbrug sedikit, karena kebetulan diingatkan dengan teman sekolah saya SMA dulu yang namanya Wagiman keturunan Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).(zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 




Merampas Hak Azasi Atas Air

Hari Bumi atau Earth Day diperingati setiap 22 April mulai tahun 1970, sebagai ѕеbuаh peristiwa global tahunan yang paling penting bagi kelangsung hidup umat manusia.

Sebagai penghuni bumi satu-satunya, apa paritisipasi yang harus kita lakukan dalam rangka memperingati Earth Day, untuk menjaga bumi agar tetap lestari dan nyaman dihuni oleh seluruh makhluk yang ada.

Marilah bersama-sama melakukan hal-hal kecil yang dampaknya akan sangat bermanfaat bagi bumi, seperti: kelola sampah anda dengan baik, tempellah tulisan-tulisan pengingat cinta lingkungan, perbaiki keran уаng bocor di rumah, tanam pohon, kurangi menggunakan kendaraan yang bermesin, bila bepergian bawa minuman sendiri, belanja produk lokal dan sedapat mungkin hindari menggunаkan kertas / tissu.

Satu hal yang paling serius dalam memperingati Earth Day adalah terkait Perampasan Hak Atas Air. Kasus-kasus perampasan hak atas air dalam bentuk privatisasi, monopoli, dan komersialisasi sumber serta layanan air terjadi hampir di seluruh daerah.

Indonesia, sebagai negara yang turut menandatangani resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, selama ini belum secara konsisten menjalankan kewajiban HAM dalam bentuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak atas air warganya. 

Pola pembangunan pemerintah yang bertumpu pada cara pandang pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya cara untuk mendongkrak ekonomi menjadi sebab dimulainya pelanggaran Hak Atas Air. 

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah mengutamakan investasi dibanding kewajibannya untuk menjalankan amanat konstitusi dan norma internasional terkait hak atas air. Sebagai sebuah hak asasi, air dan sumber air haruslah dipahami sebagai sebuah esensi dari kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sejak dibatalkannya UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada 2015 melalui gugatan Constitutional Review, hingga saat ini, praktek pengelolaan air masih belum berubah seperti sebelum adanya putusan MK. 

Kini Pemerintah Pusat, bersama dengan DPR sedang memproses pembuatan RUU Air yang diharapkan dapat menjalankan resolusi PBB dan juga keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 lalu Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005 dan Keputusan Nomor 85/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa air adalah hak publik (res commune ).

Dalam Undang-undang Air yang baru nanti, diharapkan dapat melahirkan point-point penting, diantaranya menghapus izin privatisasi pengelolaan sumber daya air dan layanan air oleh swasta di seluruh Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 45.

Pemerintah harus kembali mengambil perannya sesuai amanat Undang-undang Dasar NRI 45 Pasal 5 ayat 3, bahwa Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak atas air bagi setiap orang guna memenuhi kebutuhan minimum sehari-hari yang sehat, bersih dan produktif. Dan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Hak Guna Air tersebut tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, baik sebagian maupun seluruhnya. Karena hak penguasaan air sepenuhnya ada di tangan pemerintah sebagai wakil negara. 

Kemudian dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dengan pemberlakuan International Covenants on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) disebutkan, air sebagai bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang telah disepakati yaitu hak untuk hidup dan hak untuk kehidupan yang layak.

Dalam perspektif Islam malah secara eksplisit disebutkan, tak ada seorang manusia atau perusahaan yang berhak mengklaim hak atas air.” Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkanNya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)”.(QS.An Nahl :65).

Akhirnya, selamat Hari Bumi, mari ikut mendorong UU Air yang baru agar dengan tegas memerintahkan penghapusan izin privatisasi pengelolaan sumber daya air di seluruh negeri, dan kampanyekan bawa minum sendiri dari rumah bila bepergian, artinya mengubah kebiasaan membeli air minum dalam kemasan di jalanan, demi bumi yang lestari.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




Genderang Perang

Pemilihan Kepala Daerah di sejumlah wilayah, seringkali memberikan hasil yang justru mengecewakan, karena lewat ajang demokrasi berbiaya mahal ini, faktanya belum mampu menghasilkan pemimpin idaman, tapi justru sebaliknya, semakin memperpanjang daftar koruptor yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai orang yang mengimani Agama Islam, diperitahkan melaksanakan amal ma’ruf nahi munkar’, atau dalam bahasa sederhananya, ikut andil memerangi kemungkaran / kejahatan, mulai dari kejahatan kelas teri yang dilakukan preman kampung, sampai kejahatan di level extra ordinary crime termasuk korupsi yang dilakukan penjahat bercover pejabat hasil Pilkada.

Orang-orang yang memilih profesi jurnalis, juga diperintahkan menjalankan fungsi kontrol sosial dan ikut berpartisipasi memerangi kejahatan dalam berbagai bentuk. Dan bagaimana cara jurnalis melancarkan peperangan terhadap kejahatan, tentu jelas berbeda militer, baik dari sisi strategi maupun alat yang digunakan serta target capaian.

Saya sadar betul, meski kebebasan pers dilindungi hukum, namun jurnalis tidak termasuk dalam lingkup law enforcement, dan juga bukan pemegang court hammer, tapi tetap bisa menjalankan fungsi enforcers of justice.

Membiarkan kejahatan / kemungkaran terjadi di sekitar kita, atau mengambil sikap diam (cuek), nanti tetap akan dimintai pertanggungjawabannya oleh pemilik dunia, DIA yang Maha Agung. Jadi akan lebih baik memilih ikut andil menabuh genderang perang daripada diam.

Dalam KHUP tindakan membiarkan kejahatan terjadi melanggar Pasal 165. Dan dalam Islam ada Hadist yang bunyinya begini: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, apabila masyarakat menyaksikan kemungkaran, lalu mereka tidak merubahnya, maka Allah akan meratakan siksanya kepada mereka semua” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi). 

Karena itu, semua orang, termasuk jurnalis, harus ikut perang melawan kemungkaran / kejahatan, dan masing-masing orang harus memilih strategi yang sesuai dengan kapasitas dan profesinya untuk ikut andil memerangi kejahatan. 

Bila kejahatannya terjadi di kota yang menyandang motto ‘Kota Maksiat’ mungkin tidak ada masalah, seperti Kota Pompeii yang terletak pada koordinat 40° 45′ 2? LU, 14° 29′ 23? BT, sebelah tenggara kota Napoli, Italia. Tapi kota Pompeii sendiri sudah hancur 1700 tahun lalu, musnah bersama seluruh penduduknya ditelan lahar panas yang dimuntahkan Gunung Vesuvius.

Sebelum peristiwa yang menimpa kota Pompeii, kejadian yang nyaris sama juga pernah menimpa kota Sodom di era Nabi Luth, yang hancur oleh hujan batu mengandung api yang menyala, membakar semua yang ada, termasuk penduduk kota.

Tentu berbeda dengan kota Pompeii, atau kota Sodom, bila kotanya menyandang motto Darussalam, Religus atau Akhlakul Karimah. Di kota-kota yang memilih motto seperti ini, kemungkaran tak boleh ada, harus diperangi dengan cara apa saja.

Di dunia ini hanya ada 36 strategi perang, dan dalam buku Lure the Tiger out of the Mountains  yang ditulis Gao Yuan disebutkan : Siapa yang mengetahui seni pendekatan langsung dan tak langsung akan menang. Itulah seni bermanuver.(Sun Zi, Seni Perang).

Genderang perang dengan seni bermanuver itu sudah kami tabuh, dengan menerapkan beberapa strategi perang sesuai dengan petunjuk.Tinggal menunggu bagaimana prosesnya berlangsung dan diharapkan hasil akhirnya akan sesuai dengan yang direncanakan.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




ASN di Smart City

Haha….haha….hahahaaa…., biar saya ketawa dulu. Karena saat mau menulis artikel ini, salah satu wartawan kami menceritakan tentang dialognya dengan seorang Aparatur Sipil Negara berpangkat (golongan) yang lumayan tinggi. Materi dialog mereka seputar media dan hubungan antara media dengan lembaga yang membidangi Komunikasi Informasi dan kehumasan di suatu kota yang dirancang menjadi Smart City.

Karena dialognya menurutku lumayan lucu, jadi normalnya memang harus ketawa, haa..haha…ha…..

Mengapa menjadi lucu, karena salah satu point terpenting dalam upaya terciptanya Smart City adalah Smart Living  dan Smart Governance . Lalu bagaimana kira-kira kalau orang yang ditempatkan di posisi penting seperti bidang komunikasi informasi serta kehumasan, justru orang yang sikapnya bertolak belakang dari kaidah Smart Living, yang kompentensinya juga mungkin perlu dipertanyakan.

Misalnya dia menjelaskan tentang media yang dianggapnya layak, sementara media yang aku pimpin justru dipertanyakannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelikan itu. Apa dia ini termasuk 1,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang low competence seperti yang dikatakan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi. Namanya kemungkinan, bisa iya dan bisa tidak.

Atau memang dia belum mengerti dan belum benar-benar faham, bagaimana mendeteksi media yang kredibel, bagaimana yang tidak kredibel, bagaimana mendeteksi pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, bagaimana ciri berita hoax, dan seterusnya.

Media yang dianggapnya layak itu, justru setelah ditelusuri, ternyata beberapa diantaranya tak memenuhi ketentuan Undang-undang No: 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 9 ayat 2 : Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Kemudian Pasal 12 : Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Untuk mengetahui media yang saya pimpin, gampang saja, buka kanal ‘Redaksi’, lihatlah disana, perusahaan media ini sudah memenuhi ketentuan dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Surat Edaran Dewan Pers No. 01/SE-DP/I/2014, serta Kode Etik Jurnalistik. Berbadan hukum PT, Nomor AHU, Nomor PKP, alamatnya jelas, penanggung jawabnya jelas. Yang begini sebetulnya tak perlu saya jelaskan lagi, karena materi ini adalah bahan anak kuliahan di semester 3.

Dalam feeling saya, jangan- jangan dia menganggap media yang layak itu adalah media yang isinya selalu sesuai persis dengan rilis dari lembaga yang dipimpinnya, atau yang manut dan bisa dicatut. Agaknya ada sesuatu yang perlu saya selidiki lebih lanjut, karena ada yang terasa rada aneh.

Toh soal-soal yang ‘rada aneh’ di semua lembaga publik, eksekutif, legislatif, yudikatif yang menggunakan APBN dan APBD, tetap bisa dikonfirmasi dan ditanyakan sejelas-jelasnya sesuai dengan Undang-undang yang sudah disebutkan diatas, ditambah dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Mungkin pertama yang akan saya minta pejelasan beberapa hal seperti yang tercantum pada Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2008 bunyinya: informasi kegiatan dan kinerja badan publik serta informasi laporan keuangan.

Dasarnya apa, selain menjalankan fungsi social control pers, juga amanat seperti yang tercantum di Pasal 4, bunyinya : Setiap  orang  berhak  memperoleh  Informasi  Publik  sesuai  dengan ketentuan  Undang- Undang ini. Setiap Orang berhak: melihat dan mengetahui Informasi Publik; menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; mendapatkan salinan  Informasi Publik sesuai dengan UU ini; menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan UU ini.

Mungkin untuk sementara segitu itu dulu yang akan saya ajukan nanti untuk menjawab hal-hal yang dirasa rada aneh tersebut. Tapi kalau masih kurang, akan saya mainkan lagi lewat pasal-pasal lain dan dengan ketentuan-ketentuan yang lain.

Mudah-mudahan pengalaman sebagai jurnalis telah mengasah feeling saya menjadi lebih tajam untuk melihat hal-hal yang belum terlihat jelas, bak permainan ‘petak umpat, dan membuka sesuatu yang masih tertutup atau yang ditutup-tutupi. Sebab (menurut teori), jurnalis handal itu adalah jurnalis yang sudah mampu menggunakan feeling dan memanfaatkan indera keenam serta secara personaliti merupakan kombinasi dari sastrawan dan intelijen. Mungkin perlu coba dijajal lagi, ngetes, apakah sebagai jurnalis saya memang masih handal menginvestigasi yang tertutup dan ditutupi.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)




Sop Janda dan Macaroni Ngehe

Menggunakan bahasa kasar, tidak senonoh, porno, jorok atau bahkan melampaui batas ajar ( kurang ajar) di negeri ini rasanya makin hari makin dianggap seperti sesuatu yang wajar oleh sebahagian orang. Sehingga sebahagian orang itu tidak tau lagi harus bagaimana, dimana, kapan dan kepada siapa mengatakan” kowe, sampayen, panjenengan, aing, urang, abdi, lu atau gua”.

Pengguna kata kasar tersebut tidak saja dari kalangan bawah yang berpendidikan rendah, tapi orang setingkat gubernur pun acapkali menggunakan kata-kata kasar yang tidak pantas di depan umum.

Dan ketika orang-orang yang terbiasa berkata kasar itu membuka rumah makan, dengan enteng saja rumah makannya diberi nama ” Macaroni Ngehe, Ayam Bakar Sambel Setan,  Sop Janda Kesemsem, Soto Merem Melek, atau Warung Nasi Jabl*y.

Islam jelas melarang menggunakan bahasa dan kata-kata kasar (coarse language) seperti itu, apalagi diproklamirkan ke masyarakat luas. 

Bacalah sejumlah hadist apa “ganjarannya” bila menggunakan bahasa-bahasa yang masuk dalam kategori kasar dan  tidak senonoh.”Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor”.(HR. at-Tirmidzi). Dianjurkan harus selalu berkata baik serta lemah lembut “Tutur kata yang baik adalah sedekah”.( HR. Ahmad (2/316).

Dalam definisi bahasa”kotor”’, hal tersebut (setan-ngehe) dimasukkan dalam kategori cursing atau setara dengan si*lan, brengs*k.Dan kata-kata sejenis j*blay, merem melek, masuk  kategori obscenity atau kata yang berkonotasi mesum dan atau mengandung unsur pornografi.

Penelitian yang dilakukan oleh A. Karmiloff Smith tentang bahasa anak-anak sekolah menyatakan, bahwa pada anak antara usia 5 – 8 tahun muncul ciri-ciri baru yang khas pada bahasa anak, yaitu kemampuan untuk mengerti hal-hal yang abstrak pada taraf yang lebih tinggi.

Jadi tak perlu heran kalau semakin banyak anak-anak masa kini yang menggunakan bahasa-bahasa tidak senonoh tersebut, kepada siapa saja, kepada ayah ibunya sekalipun.Dan anak- anak itu tidak lagi suka menyanyikan lagu” Lihat kebunkuu… penuh dengan bungaa..”, tapi sudah mengadaptasi lagu-lagu dewasa yang cenderung bermuatan unsur porno seperti “Hamil Duluan” atau meniru gerakan`’ Goyang Siamang”’, Ngecor, Ngebor dan entah apa lagi, karena mereka memang terus dijejali kata-kata tak senonoh sejenis itu.

Dalam  teori behaviorisme disebutkan bahwa manusia adalah makhluk reaktif, yang selalu merespon lingkungan. Kalau lingkungannya makin banyak menyuguhkan kata setara” setan”’ lalu kata itu akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, baik lewat penamaan rumah makan, lewat dialog pada acara televisi dan sebagainya, anakpun akan menganggap kata atau kalimat itu sebagai suatu kalimat yang wajar, dan kemudian akan meniru serta menggunakannya sebagai ucapan yang dianggap wajar pula kepada siapa saja.

Penggunaan kata atau kalimat di seluruh dunia punya standar yang bisa menentukan, apakah suatu kata dianggap wajar atau diluar batas kewajaran, sopan atau kurang sopan. Dan penggunaan kata bisa menjadi salah satu alat deteksi status sosial seseorang. 

Kalangan agamawan misalnya, tak akan mungkin mengeluarkan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Kalau itu dilakukannya, bisa jadi dia itu agamawan imitasi atau penganut kitab yang salah, atau cuma ustadz jadi-jadian seperti mereka yang menjanjikan bisa menggandakan uang. 

Seorang Ratu yang mengaku dari negara terhormat, tak akan pernah memaki-maki atau tertawa cekikikan sambil bercanda dengan bahasa alay  dan duduk ngedangkak sehingga celana dalamnya kelihatan di depan umum, atau naik sepeda motor bonceng tiga. Kalau ini dilakukannya , pasti dia itu sebenarnya Cabe-cabean yang menyamar jadi Ratu.

Dalam hal berbelanja saja, di sejumlah negara punya standar-standar kesopanan umum dalam hal menggunakan kata. Di Inggris misalnya, bila kita ingin membeli celana panjang di toko, tidak bisa digunakan kata `pants‘, karena di negeri tersebut kata ini bermakna pakaian dalam bukan celana panjang. Kata yang tepat digunakan adalah ‘trousers ‘.

Jadi agak sulit juga dicerna bagaimana pola berfikir orang yang dengan enteng menggunakan kata-kata yang tidak pantas, bahkan untuk menamai rumah makannya, mengapa setan ngehe dan jabl*y dibawa-bawa, kayak sudah tidak ada nama lain yang asyik untuk digunakan.

Dan saat ditanyakan kenapa memilih nama itu, ada pemilik rumah makan menjawab dengan enteng, “Biar Keren”’. Heran kan, ngehe kok keren. 

Sebelum menyesal, sebaiknya dibenerin saja mulai sekarang, sebelum terlambat, daripada nanti tidak punya kesempatan untuk menyesal. Bila anda sudah meninggal dunia dan kiamat tiba, anda akan dipanggil : ” hai pemilik warung sambel setan ngehe, kesini, kamu ini fans setan ngehe ya, pergilah ke neraka, setan semua sudah berkumpul disana menunggu kamu, mau ngajak makan sambel ngehe barengan”.

Kalau ingin memberi nama, beri sajalah nama-nama yang bagus untuk rumah makan anda, karena nama mengandung do’a dan harapan, seperti kebanyakan rumah makan Padang memberi nama, antara lain `’ Restu Bundo”, artinya mereka minta usahanya direstui ibunda-nya atau ‘ Jaso Mande’ berkat jasa ibunda dan nama-nama lain yang baik. 

“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian”(HR. Abu Dawud, Ad-Darimi dan Baihaqi).(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




Baswedan Disiram Pengecut

“The human race is a race of cowards; and I am not only marching in that procession but carrying a banner.” (Mark Twain )

Selangkah pun kami tidak akan mundur, apa pun risikonya, karena kami yakin perjuangan pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti dengan ancaman, intimidasi maupun serangan apa pun,” (Hery Nurudin, Juru Bicara Wadah Pegawai KPK dalam keterangan tertulisnya).

Hari Selasa 11 April 2017 sekitar pukul 05.10 WIB, Novel Baswedan, mengalami musibah akibat disiram dengan air keras, usai Sholat Subuh berjamaah di Masjid Al Iksan di sekitar kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Inilah salah satu tindakan paling pengecut yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya.Padahal anjing saja bila tidak senang dengan seorang manusia, dia berani menerkam manusia secara terang-terangan dari arah depan.Itu artinya orang yang menyiram air keras kepada Novel Baswedan lebih pengecut dan lebih hina dari seekor anjing.

Mengapa anda memilih menjadi manusia pengecut, padahal William Shakespeare mengatakan bahwa, pengecut itu mati ribuan kali sebelum kematian yang sebenarnya datang, sementara seorang pemberani hanya merasakan satu kali kematian.

Dan yang perlu diketahui, dunia ini tidak diciptakan untuk para pengecut. Karena pengecut itu sikap tercela yang mencemari perilaku dan menjadikan seseorang hina di dunia dan mendapat kerugian ganda di akhirat. 

Tirulah Sayyidina Umar ibn al Khaththab yang dengan gagah berani menantang secara terang-terangan para pendekar Quraisy seraya berkata : siapa yang ingin istrinya menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim, cobalah halangi jalan saya.Ini diucapkannya ketika hendak hijrah dari Mekah ke Madinah.

Atau terapkan falsafah Bushido bangsa Jepang, seperti Gi (Integritas).Seorang Samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran. Integritas merupakan nilai Bushido yang paling utama. Dan kata integritas mengandung arti jujur dan utuh.

Kemudian (Keberanian) Berani dalam menghadapi kesulitan.

Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai, meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian juga merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan risiko apapun termasuk mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan keyakinan.

Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya, yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari sehelai bulu. Namun demikian, keberanian samurai tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.

Novel Baswedan itu Samurai yang memahami falsafah Bushido, tak akan bisa dikalahkan oleh pengecut, dan kesatria seperti dia tidak akan mati sia-sia, meskipun sudah tiga kali dicoba dengan ditabrak kendaraan.Pertama ketika mengendarai motor dari rumahnya dia ditabrak mobil avanza (2016).Kemudian ketika menyidik kasus e-KTP. mobil yang dikendarai Novel dan para penyidik KPK ditabrak masuk sungai(15 Oktober 2015). Lalu ketika terjadi pertikaian antara ‘Cicak dan Buaya’, Novel Baswedan juga dijadikan sasaran tembak,(Oktober 2012).

Kalau prediksi dan intuisi saya mengatakan, kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan ini punya kaitan erat dengan mega korupsi yang lagi hangat saat ini, karena sejak 2015 dia sudah mencium aroma korupsi di proyek yang melibatkan para pengecut dan dia menelusurinya dengan serius sebagai Kasatgas-nya. Intuisi dan prediksi memang bisa saja keliru, tapi ending sebuah cerita tentu bisa dibaca dan diraba dari alur cerita yang mengalir berdasarkan skenario. (zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 

 

 




Anak Tiri Bernama Cisadane

Cisadane sepanjang 125 kilometer, yang bermula dari anak-anak sungai di lereng Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Bogor, mengalir memasuki wilayah Bogor melintasi kota Tangerang, lalu bermuara di Tanjung Burung dan Laut Jawa.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pasal 19 ayat 2, disebutkan bahwa Unit Pelaksana Teknis yang membidangi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, adalah Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane bertugas untuk membantu wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai litas provinsi dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumber daya air.

Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane termasuk salah satu Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Tipe B, dengan wilayah kerja meliputi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. 

Secara administratif Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane meliputi tiga provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, dan 10 Kota serta empat Kabupaten dengan batas-batas sebelah Barat Sungai Cimanceuri di Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan Puncak Kabupaten Cianjur dan sebelah Timur Sungai Cilemah Abang Kabupaten Bekasi.

Apa perbedaan yang mencolok dalam hal penanganan antara Ciliwung dan Cisadane yang berada dalam satu wadah BBWS.Saya ingin katakan, Cisadane layak seperti anak tiri yang sangat jarang diurus orang tuanya .Mengapa, kalau diamati program-program kerja yang dilaksanakan oleh BBWS, mayoritas baru mengurusi Ciliwung, sementara Cisadane seolah-olah dilupakan.

Lalu apa yang dirasakan oleh warga yang dilintasi Cisadane di Tangerang Raya, dalam beberapa tahun ini selalu dikunjungi banjir, yang salah satu penyebabnya adalah sadimentasi Cisadane yang sudah sangat parah terutama di sekitar muara, malah sudah ada yang membentuk pulau entah berapa hektar luasnya.Tebing-tebing sungai tanpa turap terus berguguran menyumbang endapan lumpur di sungai. Bendungan Pintu Air 10 yang dibangun tahun 1920 hingga kini baru sekali ‘dijenguk’ tahun 1992.  

Ketika ribut-ribut banjir Jakarta beberapa tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ketika itu, berjanji akan menormalisasi Cisadane dan mengembalikan kejayaannya sebagai kebangaan warga Tangerang.Tapi hingga kini tampaknya belum juga ada tanda-tanda untuk mewujudkan janji tersebut.

Mengurus Ciliwung secara serius, memang harus dilakukan, tidak ada yang salah dengan tindakan itu, karena Ciliwung akan memberi dampak langsung bagi kondisi ibu kota negara.Tapi melupakan Cisadane juga dirasa tidak adil bagi kami warga Tangerang, karena kami akan kebanjiran terus menerus bila Cisadane tidak diurus dengan serius sekarang juga.

Melihat fakta-fakta di lapangan dan setelah mempelajari beberapa hal, pengelolaan Ciliwung-Cisadane dirasa pekerjaannya terlalu berat dengan wilayah yang terlalu luas, sehingga pengelolannya perlu dipisah dengan sangat segera menjadi dua BBWS. BBWS Ciliwung bisa lebih konsentrasi dengan apa yang sudah dilakukan selama ini, sementara BBWS Cisadane juga bisa efektif mengurus Cisadane dan sebaiknya juga berkantor di wilayah Tangerang Raya. Dengan BBWS Ciliwung sendiri dan Cisadane dengan BBWS sendiri, penanganan aliran kedua sungai ini akan lebih terarah dan tujuan yang akan dicapai lebih mudah direalisasikan.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 

 

 

 




Gubernur

Saya menaruh hormat pada seorang Gubernur, yang meskipun sempat dijerat dengan kasus korupsi pemberian dana perumahan pada anggota DPRD  senilai Rp10,5 miliar dalam APBD, dan dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati), lalu kemudian divonis 2 tahun penjara.

Walau di vonis, Pengadilan Negeri saat itu tetap mencantumkan klausal, dia tidak terbukti menerima sepeserpun uang dana perumahan. Klausal ini yang menjadi dasar Mahkamah Agung menyatakan Gubernur tak bersalah dan dibebaskan dari segala hukuman.Putusan MA No 2097K/PID/MA dikeluarkan. Sayangnya, putusan ini tidak pernah dibaca sang Gubernur, karena beliau ditakdirkan meninggal dunia.

Kasus yang ditembakkan kepadanya memang sempat jadi pembicaraan publik, pasalnya, saat itu terdapat dua kasus korupsi yang disoroti, yaitu dana perumahan Rp10,4 miliar dan kasus pengadaan lahan Rp5,5 miliar. Tetapi Kejaksaan Tinggi saat itu memilih menangani kasus dana perumahan, dibandingkan kasus pengadaan lahan. 

Semua cerita itu sudah berlalu, dan akan menjadi masa lalu, tidak akan pernah kembali ke masa depan.Tetapi peristiwa masa lalu itu bukan tidak mungkin akan terulang lagi dalam serial sinteron yang berbeda ruang dan waktu serta dengan tokoh yang berbeda pula.

Ingat, siapa yang tak belajar dari masa lalu, dia akan dipaksa belajar dengan cara menjalani masa kini.

Dan budayawan Putu Wijaya dalam  monolog-nya melontarkan: Sejarah Pasti Berulang, Hanya Pelakunya yang berbeda. 

Serial sinetron masa lalu itu bisa saja ditayangkan lagi dalam waktu dekat atau butuh waktu yang agak lama.Bisa disajikan dalam bentuk repackage karena alur cerita dalam skenarionya yang nyaris mirip sudah mulai ditulis, dimana tokoh utamanya adalah politisi kawakan pemilik kursi yang rapuh, berpasangan dengan tokoh pemeran pembantu dari lingkaran oligarki politik yang kokoh. Bisa pula dalam bentuk sinetron baru dengan skenario baru.

Yang perlu dicatat, bila bermain dalam sinetron politik, jangan pernah lupakan apa yang dituliskan Niccolo Machiavelli dalam bukunya the Prince,: ”Politik haruslah culas dan penuh tipu daya”. 

Kalau tokohnya seperti Jon M.Huntsman, mantan staf Gedung Putih Amerika Serikat di era presiden Nixon, mungkin susananya bisa berbeda. Meski Huntsman berada di lingkaran politik, sikap hidupnya tetap memegang teguh kejujuran.Karena itulah saat kasus mega korupsi Watergate terbongkar, Huntsman adalah satu-satunya staf Nixon yang tak dipanggil dan diperiksa oleh pengadilan, dia clean.

Tapi Huntsman itu manusia langka, dan ini Indonesia bung, Lies are necessary to life.Kebohongan adalah niscaya dan kekuasaan adalah orientasi.

Lihatlah contohnya yang masih hangat, uang e-KTP raib Rp2 triliun lebih, tapi tak ada yang mengaku mencurinya, dan alih-alih nanti diputar sana sini, dan diputuskan uang itu dicuri oleh komunitas Tuyul. 

Lalu, kapan kira-kira sinteron ini akan tayang.Sabar, tunggu, sekarang di depan loket bioskop masih tertera tulisan:‘coming Soon‘.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)




Dinasti Politik dan Korupsi

Sejarawan terkemuka, Lord Acton (1837-1902), dalam cuplikan suratnya kepada Uskup Mandell Creighton mengatakan  power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely , kekuasaan itu cenderung korup dan orang besar selalu buruk.

Sementara Studi yang dilakukan Eric Chetwynd dkk, Corruption and Poverty: A Review of Recent Literature (2003) menyebutkan, landasan teori yang kuat soal hubungan korupsi dan kemiskinan. Studi tersebut ingin menunjukkan bahwa korupsi memang tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun korupsi memiliki dampak langsung terhadap tata kelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan.

Karena itu, dalam sistem politik di banyak negara di dunia, seperti Amerika misalnya, politik dinasti dianggap sebagai dirty word (omongan jorok) maka konstitusi mereka menolak politik dinasti, dan pemimpin harus dihasilkan dari ballot (surat suara) bukan blood (keturunan). 

Kalau banyak negara di dunia menolak politik dinasti, di Indonesia agaknya justru tumbuh subur, dan kemudian menjadi fakta-fakta nyata kasat mata, mereka memang melakukan korupsi, mengajak anak isterinya, menantu, adik kandung, adik ipar segala, dan wilayah mereka dibiarkan menjadi miskin.

Koalisi Pilkada Bersih menemukan setidaknya 12 orang yang berasal dari keluarga dinasti politik ikut memperebutkan kepala daerah dalam Pilkada serentak 15 Februari 2017 lalu.

Pemimpin yang berasal dari kerabat atau keluarga dinasti politik memang punya kecendrungan kuat untuk melakukan korupsi, karena penguasaan sumber daya alam, penguasaan dan penggunaan anggaran dan sebagainya bisa dilakukan dengan lebih leluasa tanpa adanya check and balance di dalam pemerintahan.

Selain itu, jual beli jabatan di dalam pemerintahan juga bisa dilakukan sesuai dengan selera.Kalaupun ada daerah yang mempublikasikan lelang jabatan, sebahagian besar itu cuma kamuflase dan basa-basi, artinya sebelum lelangnya dibuka sudah basi.

Buktinya Komisi Aparatur Sipil Negara menyebutkan, di hampir 90 persen daerah terjadi jual-beli jabatan. Komisi mencatat, saat ini ada 441 ribu jabatan pemimpin di republik ini yang diperjualbelikan.Itu fakta bukan’ katanya’ atau kata’sumber’.

Suatu hal yang mustahil bila mereka tidak melakukan korupsi saat menjabat, sebab untuk mengembalikan modal kampanye dalam meraih jabatan, misalnya di satu daerah ada yang mengeluarkan biaya Kampanye sampai Rp.40 miliar. Pertanyaannya emangnya tuh duit bisa kembali dalam satu periode jabatan Gubernur, Walikota atau Bupati bila lurus-lurus saja dengan penghasilan dari sumber yang sah.Meminjam kata-kata dari kelompok komedi Srimulat : ” itulah hil-hil yang mustahil, atau hal-hal yang mustahal”. 

Dan dalam Dinasti politik jangan lupa, dibutuhkan juga perawatan kekuasaan, mulai dari pemeliharaan jaringan di partai, ormas keagamaan, ormas kepemudaan, LSM Abdi Dalem, Yayasan Odong-odong, “aktor bayang-bayang”, dan simpul-simpul politik lain, yang kesemuanya tentu  membutuhkan dana besar. Lagi-lagi muncul pertanyaan, dapat darimana uangnya Cing. 

Itulah kenapa banyak negara memerangi politik dinasti, karena hanya akan melahirkan korupsi, dan filsuf Plato dalam The Laws mengatakan bahwa, korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga membusukkan peradaban.

Dengan naiknya figur yang berasal dari lingkaran politik dinasti menjadi pejabat daerah, korupsi akan tumbuh subur .Atau masih tetap ada yang percaya bahwa mereka akan bekerja dengan setulus hati demi kepentingan rakyat selama menjabat.?.Harapannya mudah-mudahan begitu. Tapi nyatanya yang ditangkapin KPK itu, dulu juga ngomongnya begitu bray.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




Mengirim Pejabat BLH ke Penjara

Membaca buku yang ditulis Emil Salim berjudul  Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi rasanya sedih berbaur dengan perih tak terperi, karena memang ratusan bangsa saat ini sedang melakukan penghancuran bumi yang cuma satu-satunya, tempat tinggal semua makhluk ciptaan Allah SWT, mulai dari manusia, tumbuhan dan hewan.

Penghancur bumi yang paling handal, selain pertambangan yang dikelola secara serampangan, juga yang tak kalah dasyat adalah pabrik-pabrik yang secara semena-mena membuang limbah B3  (Bahan Berbahaya dan Beracun), mencemari pemukiman warga, persawahan, perkampungan dan sungai.

Sebelum revolusi industri, pelepasan Gas Rumah Kaca (GRK) hanya 280 ppm, kini menjadi lebih dari 380 ppm. Akibatnya suhu bumi meninggi, bumi terasa makin panas dan sekaligus menjadi biang keladi terjadinya pemanasan global (global warming).GRK juga menyebabkan musim hujan atau musim panas menjadi tak beraturan.

Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C(1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional.

Jenis-jenis GRK adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), sulfurheksafluorida (SFx),perfluorokarbon (PFC) dan idrofluorokarbon (HFC)(Naylor,2011)

Pemerintah Indonesia sendiri sudah berkomitmen menurunkan emisi GRK secara nasional hingga 26% pada tahun 2020, dengan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan dari international dalam aksi mitigasi. 

Tapi fakta di lapangan, komitmen tersebut tidak tercermin. Minimal yang terlihat di kabupaten Tangerang, wilayah yang masih membanggakan diri sebagai Kota Seribu Industri yang memiliki sekitar 4000 industri. 

Industri-industri yang ada di wilayah ini adalah industri penghasil limbah B3 kategori Primary sludge, Chemical sludge, Excess activated sludge, atau jenis-jenis lainnya yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan sekaligus menghancurkan kesuburan tanah.Dan bahan-bahan yang bukan berasal dari senyawa biologis,  memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable), sehingga membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun baru dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna di dalam tanah.

Pejabat yang berwenang menangani limbah B3 di Kabupaten Tangerang kelihatannya mudah sekali diajak ‘koordinasi’, sehingga kasus-kusus pembuangan limbah B3 secara sembarangan sangat banyak terjadi, dan industri-industri penghasil limbah dimaksud tetap bisa berjalan dengan damai.

Tapi kondisi ini tak akan bisa berjalan terus, bila para pengamat, aktivis lingkungan hidup, LSM lingkungan hidup mulai bergerak dengan target menghentikan aktivitas industri bersangkutan sekaligus juga mengirim pejabat terkait ke penjara.

Dasarnya apa ?. dasarnya adalah UU No 32 Tahun 1999 pasal 111 yang menyatakan bahwa :

(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 112 : Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Jelas nggak.

Dalam pasal berikutnya disebutkan: Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Jadi pejabatnya tidak bisa enak-enakan terus menerus ‘koordinasi’.” Belum kita geber aja, kalau udah kita geber pada masuk penjara semua tuh” kata seorang teman yang aktif di Green Peace Indonesia ketika diberitahu soal ini.

Kalau untuk pengusaha nakal, aturannya sudah jelas:” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

Kemudian “Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Jadi tinggal kita tunggu gerakan yang bakal dilancarkan para pencita lingkungan hidup.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)