oleh

ASN di Smart City

image_pdfimage_print

Haha….haha….hahahaaa…., biar saya ketawa dulu. Karena saat mau menulis artikel ini, salah satu wartawan kami menceritakan tentang dialognya dengan seorang Aparatur Sipil Negara berpangkat (golongan) yang lumayan tinggi. Materi dialog mereka seputar media dan hubungan antara media dengan lembaga yang membidangi Komunikasi Informasi dan kehumasan di suatu kota yang dirancang menjadi Smart City.

Karena dialognya menurutku lumayan lucu, jadi normalnya memang harus ketawa, haa..haha…ha…..

Mengapa menjadi lucu, karena salah satu point terpenting dalam upaya terciptanya Smart City adalah Smart Living  dan Smart Governance . Lalu bagaimana kira-kira kalau orang yang ditempatkan di posisi penting seperti bidang komunikasi informasi serta kehumasan, justru orang yang sikapnya bertolak belakang dari kaidah Smart Living, yang kompentensinya juga mungkin perlu dipertanyakan.

Misalnya dia menjelaskan tentang media yang dianggapnya layak, sementara media yang aku pimpin justru dipertanyakannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelikan itu. Apa dia ini termasuk 1,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang low competence seperti yang dikatakan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi. Namanya kemungkinan, bisa iya dan bisa tidak.

Atau memang dia belum mengerti dan belum benar-benar faham, bagaimana mendeteksi media yang kredibel, bagaimana yang tidak kredibel, bagaimana mendeteksi pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, bagaimana ciri berita hoax, dan seterusnya.

Media yang dianggapnya layak itu, justru setelah ditelusuri, ternyata beberapa diantaranya tak memenuhi ketentuan Undang-undang No: 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 9 ayat 2 : Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Kemudian Pasal 12 : Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Untuk mengetahui media yang saya pimpin, gampang saja, buka kanal ‘Redaksi’, lihatlah disana, perusahaan media ini sudah memenuhi ketentuan dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Surat Edaran Dewan Pers No. 01/SE-DP/I/2014, serta Kode Etik Jurnalistik. Berbadan hukum PT, Nomor AHU, Nomor PKP, alamatnya jelas, penanggung jawabnya jelas. Yang begini sebetulnya tak perlu saya jelaskan lagi, karena materi ini adalah bahan anak kuliahan di semester 3.

Dalam feeling saya, jangan- jangan dia menganggap media yang layak itu adalah media yang isinya selalu sesuai persis dengan rilis dari lembaga yang dipimpinnya, atau yang manut dan bisa dicatut. Agaknya ada sesuatu yang perlu saya selidiki lebih lanjut, karena ada yang terasa rada aneh.

Toh soal-soal yang ‘rada aneh’ di semua lembaga publik, eksekutif, legislatif, yudikatif yang menggunakan APBN dan APBD, tetap bisa dikonfirmasi dan ditanyakan sejelas-jelasnya sesuai dengan Undang-undang yang sudah disebutkan diatas, ditambah dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Mungkin pertama yang akan saya minta pejelasan beberapa hal seperti yang tercantum pada Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2008 bunyinya: informasi kegiatan dan kinerja badan publik serta informasi laporan keuangan.

Dasarnya apa, selain menjalankan fungsi social control pers, juga amanat seperti yang tercantum di Pasal 4, bunyinya : Setiap  orang  berhak  memperoleh  Informasi  Publik  sesuai  dengan ketentuan  Undang- Undang ini. Setiap Orang berhak: melihat dan mengetahui Informasi Publik; menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; mendapatkan salinan  Informasi Publik sesuai dengan UU ini; menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan UU ini.

Mungkin untuk sementara segitu itu dulu yang akan saya ajukan nanti untuk menjawab hal-hal yang dirasa rada aneh tersebut. Tapi kalau masih kurang, akan saya mainkan lagi lewat pasal-pasal lain dan dengan ketentuan-ketentuan yang lain.

Mudah-mudahan pengalaman sebagai jurnalis telah mengasah feeling saya menjadi lebih tajam untuk melihat hal-hal yang belum terlihat jelas, bak permainan ‘petak umpat, dan membuka sesuatu yang masih tertutup atau yang ditutup-tutupi. Sebab (menurut teori), jurnalis handal itu adalah jurnalis yang sudah mampu menggunakan feeling dan memanfaatkan indera keenam serta secara personaliti merupakan kombinasi dari sastrawan dan intelijen. Mungkin perlu coba dijajal lagi, ngetes, apakah sebagai jurnalis saya memang masih handal menginvestigasi yang tertutup dan ditutupi.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

Print Friendly, PDF & Email