1

Ombudsman Temukan Indikasi Maladministrasi Tumpang Tindih Regulasi Kelapa Sawit

Kabar6-Ombudsman RI menemukan indikasi potensi maladministrasi pada tata kelola industri kelapa sawit yang ditandai dengan adanya tumpang tindih regulasi. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya akan turun ke lapangan bersama-sama dengan para stakeholder terkait lainnya untuk melihat bagaimana implementasi regulasi pada Tata Kelola di industri Kelapa Sawit.

“Kita akan turun bareng-bareng, kita ajak para stakeholder terkait. Kita akan lihat samasama penerapan regulasi di lapangan bagaimana. Sejauh mana penyimpangan terjadi di lapangan,” ujarnya dalam Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan poda Senin (27/5/2024).

**Baca Juga:Pakar Kritisi Wewenang Kejaksaan sebagai Penyidik Tipikor

Yeka mengatakan ada beberapa regulasi yang membuat pelayanan publik pemerintah di industri kelapa sawit terganggu. “Adanya tumpang tindih ijin lahan. Misalnya lahan kelapa sawit yang dianggap masuk kawasan hutan. Mau sampai kapan masalah ini berlarut? Ini harus ditata tanpa ada pihak yang dirugikan,” tegas Yeka. Ombudsman juga mempertanyakan bagaimana kesejahteraan petani kelapa sawit selama ini.

Terkait persoalan tumpang tindih lahan dan kawasan hutan serta perizinan, Ombudsman melihat terdapat benturan regulasi antara rezim kawasan dan pemberlakuan UndangUndang Cipta Kerja (UUCK) yang membingungkan petani dan pelaku usaha mulai dari penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan.

Ombudsman dalam hal ini telah memetakan masalah dalam tata kelola industri kelapa sawit. Pertama, terkait lahan dan perizinan  seperti kepastian ijin lokasi lahan perkebunan sawit, terkendala isu antara lain overlapping kawasan (hutan, HGU, adat). Kedua, permasalahan tata niaga, meliputi produk sawit terkendala kebijakan DMO untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Selain itu, pengolahan produk sawit juga terkendala kemitraan antara petani rakyat dengan industri. Terkait harga, Ombudsman menemukan tidak dapat memberikan keuntungan bagi petani, masyarakat, bahkan pedagang minyak goreng sawit. Terkait teknologi, target peningkatan produktivitas per hektar belum terpenuhi.

Terkait jumlah aduan pada isu perkelapasawitan, Yeka menyebutkan data menunjukkan pada kurun waktu 2018-2024, setidaknya terdapat 239 aduan masyarakat yang disampaikan kepada Ombudsman RI. Adapun tiga substansi aduan Masyarakat tertinggi pada isu perkelapasawitan adalah substansi agraria (pertanahan dan tata ruang) sebanyak 69 aduan, substansi perkebunan, pertanian dan pangan sebanyak 36 aduan, dan substansi penegakan hukum sebanyak 24 aduan.

Tahun ini, Ombudsman akan melakukan kajian systemic review mengenai pencegahan maladministrasi pada layanan tata kelola industri kelapa sawit. “Pencegahan maladministrasi ini sebenarnya cara paling soft untuk perbaikan pelayanan publik karena bentuknya saran. Tapi kami bisa keluarkan produk yang sifatnya memaksa. Sehingga untuk permasalahan yang paling urgen, misal perlu pencabutan suatu regulasi, maka Ombudsman bisa memberikan tindakan korektif dan rekomendasi yang sifatnya lebih mengikat,” ucap Yeka.

Diskusi publik ini menghadirkan beberapa narasumber yakni, Ketua Pusat Riset Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Budi Mulyanto, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan. Dengan penanggap di antaranya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim dan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Puti Juli Ardika. (red)




Dikelola Swasta, DPUPR Banten Akui Ada Tumpang Tindih 16 Sertifikat di Situ Cipondoh Tangerang

Kabar6-Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten membenarkan di lahan Situ Cipondoh ada tumpang tindih sertifikat selama di kelola oleh pihak swasta.

PT Griya Tritunggal Paksi selaku pihak ketiga memiliki sertifikat HGB Nomor 6587/Cipondoh dengan luas 1.261.757 meter persegi.

“Ada tumpang tindih sertifikat di area situ ada yang berbentuk sertifikat, SHM dan HGB, dan itu ada 16,”kata Kepala DPUPR Banten Arlan Marzan, Jumat (22/9/2023).

**Berita Terkait: Buset! Warga Ungkap ada 16 SHM Terbit Diatas HPL Situ Cipondoh Tangerang

PT Griya Tritunggal Paksi dianggap gagal mengelola aset Pemprov Banten, lantaran tidak menjalankan kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerjasama (PKS).

Kegagalan PT Griya Tritunggal Paksi dibuktikan dengan adanya penguasaan lahan orang pihak lain dengan munculnya sertifikasi perorangan dan tidak adanya pelestarian untuk menjaga kawasan situ.

“Buktinya ada penguasa lahan oleh pihak lain, artinya kontrol dari pihak swasta belum ada. Kemudian dari konteks pelestariannya tidak ada, banyak bangunan liar dan sedimentasi,”katanya.

DPUPR Banten sudah melayangkan somasi terkait hal itu. Namun somasi tersebut hingga saat belum ada respon oleh PT Griya Tritunggal Paksi.

“Kaitan dengan bahwa di PKS itu ada hak dan kewajiban yang harus di laksanakan oleh swasta dan itu tidak dilaksanakan dengan baik,”terangnya.

Pemprov Banten saat ini sudah menggandeng Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten untuk menyelesaikan aset-aset bermasalah, termasuk situ.

Situ yang berlokasi di Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang di kelola PT Griya Tritunggal Paksi selama 30 tahun saat Banten menjadi bagian Provinsi Jawa Barat.

Setelah Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat, aset tersebut diserahkan ke Pemprov Banten.

Menurutnya PKS dengan PT Griya Tritunggal Paksi akan berakhir pada bulan Oktober 2023 mendatang. Nantinya, Situ Cipondoh akan di kelola oleh Pemprov dengan menggandeng pihak ketiga kembali.

“Kedepannya nanti akan di kelola oleh Pemprov dan ada strategi-strategi kaitan dengan pihak swasta, jadi nanti beban APBD tidak terlalu berat,”pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten tengah menelusuri keberadaan situ di seluruh wilayah Provinsi Banten yang beralih fungsi.

Berdasarkan yang dimiliki Kejati Banten dari 137 diperkirakan 36 situ aset Pemprov Banten menjadi daratan, pabrik, perumahan, bahkan Kejati menyebut ada yang dijual oleh pihak tertentu.

Dari 36 situ yang bermasalah salah satunya Situ Cipondoh yang beralamat di Jl. KH Hasyim Ashari, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.

Hal itu dibenarkan oleh warga Kota Tangerang yang bernama Budi usai melakukan audiensi dengan Komisi III DPRD Banten, Kamis (21/9/2023).

Warga menyebut ada 16 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang overlap dengan Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) situ Cipondoh. Padahal Situ Cipondoh tercatat sebagi aset Pemprov Banten.

Budi menegaskan, Pemprov Banten harus mengembalikan fungsi situ Cipondoh sesuai ketentuan, karena permasalahan di dalamnya sangat fatal.

“Ini salah, fatal gak bisa di kompromikan dan tidak bisa di toleransi dan harus dibatalkan itu target saya ke sini. 16 sertifikat diatas HPL situ Cipondoh terbit atas nama perorangan,”tegas Budi.(Aep)




Penerima Manfaat Iuran BPJS Kesehatan di Banten Rawan Tumpang Tindih

Kabar6.com

Kabar6-Wakil Ketua Komisi V DPRD Banten, Yerimia Mandrofa mengatakan, alokasi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS kesehatan masyarakat di Provinsi Banten rawan tumpang tindih.

“Karena selain APBD Banten, ada juga kepesertaan PBI yang dibiayai oleh pemerintah pusat dan Kabupaten/kota,” terang Yeremi, kepada Kabar6.com, Selasa (4/2/2020).

Hal itu terbukti dari penerimaba PBI yang dibiayai oleh Pemprov Banten, mencapai 633 ribu orang. Sementara jika mengacu pada data hasil survei BPS, jumlah penduduk miskin dan kurang mampu di Provinsi Banten hanya berkisar 5 persennya saja. Hitungan ini dengan mengkalkulasi 600 ribu orang dari total penduduk 1,2 juta jiwa.

“Yang dibiayai APBD Banten saja ada 600 ribu lebih. Itupun sudah dikurangi dari sebelumnya direncanakan sebanyak 950 ribu orang. Kalau penduduk miskin di Banten pada angka lima persennya saja, itu sudah pas dengan yang dibiayai Pemprov, tapi kenyataannya kan ada alokasi lain dari pusat dan Kabupaten/kota,” ujarnya.

Oleh karena itu, Komisi V akan meminta kepada yang melakukan pendataan penerimaan iuran PBI agar bisa bekerja sunggu-sungguh dalam melakukan kroscek dilapangan untuk menghindari tumpang tindih anggaran.

Ketua Komisi V DPRD Banten, M. Nizar mengatakan, tahun ini, Pemprov Banten akan memangkas jumlah penerima iuran PBI yang dibiayai Pemprov Banten, dari sebelumnya direncanakan kepada 950 ribu warga miskin dan kurang mampu, turun menjadi 623 ribu orang.

“Turun dari sebelumnya 950 turun menjadi 623 ribu orang,” terang Nizar.**Baca juga: Basarnas Banten Tangani Dua Orang Hilang Terseret Air.

Menurutnya, penurunan tersebut menyesuaikan data survey BPS Banten, yang menyebutkan total warga kurang mampu di Banten turun. Pada periode September 2019 berada pada posisi 4,94 persen atau 641,42 ribu jiwa, lebih rendah dibanding Maret 2019 sebesar 5,09 persen atau 654,46 ribu jiwa.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Banten Ati Pramudji Hastuti menolak memberikan penjelasan ketika ditanya awak media usai rapat dengan Komisi V DPRD Banten. “Saya sedang buru-buru nih, mau ke Bandara, mau jemput Mahasiswa yang pulang dari Cina,” katanya seraya meninggalkan gedung DPRD Banten. (Den)