1

Penjelasan Pemerintah soal Tapera Dinilai Kurang Intensif dan Menyeluruh, Sehingga Timbulkan Polemik

Kabar6-Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia akan memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto mengenai polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditolak pengusaha dan buruh.

Partai Gelora akan menyampaikan pemikiran terkait skema Tapera yang bisa diterima semua pihak berdasarkan literasi di beberapa negara.

“Menyediakan perumahan bagi rakyat memang kewajiban dan menjadi tugas pemerintah. Tapi skemanya ini yang memang harus dipikirkan. Yang ditolak ini sebenarnya soal skemanya, bukan Tapera-nya,” kata Ratu Ratna Damayani, Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga (Jasama) DPN Partai Gelora, Rabu (12/6/2024) sore. **Baca Juga: Ombudsman RI: Sebaiknya Iuran Tapera tak Libatkan Pengusaha

Hal itu disampaikan Ratu Ratna Damayani dalam Gelora Talks dengan tema ‘Tapera: Gaji Sudah Tipis Hidup Makin Miris, Kemana Mengadu?, yang ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Gelora TV, Rabu (12/6/2024).

Berdasarkan literasi di beberapa negara, menurut dia, memang ada pelibatan dari partisipasi masyarakat dalam penyediaan perumahan oleh negara bagi warganya.

Namun, hal itu dapat diterima karena pemerintahannya bisa menkomunikasikan secara intensif mengenai tujuan penyediaan perumahan tersebut bagi warganya, dengan sangat baik.

“Sehingga pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada publik secara komprehensif dan intensif. Libatkan DPR dan stakeholder lainnya untuk membahas soal Tapera ini,” kata Mia, sapaan akrab Ratu Ratna Damayani ini.

Bagi buruh, kata Mia, pungutan Tapera ini semakin membebani kemampuan ekonomi mereka, dan berdampak terhadap daya beli masyarakat pada umumnya.

“Ini menjadi catatan Partai Gelora, bahwa komunikasi yang dilakukan pemerintah dirasa tidak intensif, kurang menyeluruh, sehingga menjadi polemik dan kontraksi luar biasa di masyarakat,” katanya.

Mia mengatakan, polemik soal Tapera ini, menjadi pembahasan khusus di internal Partai Gelora. Rekomendasi dari pembahasan ini nantinya akan disampaikan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Ini tentu saja menjadi PR besar kita bersama. Kita akan menyusun pemikiran-pemikiran dari Partai Gelora. Kita banyak membaca literasi di banyak negara, kita akan memberikan masukan dan pertimbangan kepada Pak Prabowo untuk satu skema yang tepat, untuk menjawab kebutuhan penyediaan perumahan rakyat kita,” pungkas Mia.

Kurang Sosialisasi

Sementara itu, Ekonomi CORE Indonesia Etika Karyani mengatakan, penolakan ramai-ramai terhadap program Tapera ini, akibat sosialisasi program tersebut belum dilakukan dengan baik.

“Kementerian Keuangan bersama BP Tapera harus menjelaskan secara aktif kepada masyarakat, terutama pengusaha dan asosiasi pekerja. Mereka harus dilibatkan, karena mereka yang kena aturan ini,” kata Etika.

Akibat tidak adanya sosialisasi ini, lanjut Etika, menyebababkan program Tapera menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat Indonesia.

“Ini pengelolaan dananya bagaimana? Karena OJK juga meminta BP Tapera untuk menindaklanjuti temuan BPK yang menyebut124.960 pensiunan belum menerima pengembalian dana total sebesar Rp 567,5 miliar pada 2021. Jadi dananya tidak bisa diambil, rumahnya tidak ada, lokasinya juga tidak jelas dimana,” katanya.

Ekonom Core Indonesia ini mengatakan, pasca pengesahan UU CIpta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah, bahkan tak bisa mengimbangi inflasi dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun, ditambah kondisi global yang tidak menentu.

“Pak Jokowi (Jokowi) harus melihat kondisi ini. Kita berharap agar program Tapera ini tidak menjadi ladang korupsi baru seperti yang terjadi pada kasus Asabri, Jiwasraya dan Taspen atau digunakan untuk pembiayaan lain,” tegas Etika Karyani.

Penasihat Asosiasi Emiten Indonesia Gunawan Tjokro mengatakan, kenaikan gaji buruh di Indonesia sangat lamban dibanding dengan kenaikan harga properti, sehingga hal ini menimbulkan gap atau kesenjangan.

“Makanya sekarang jarang ada karyawan, kalau ada pameran perumahan berduyung-duyung meminta brosur. Ini masalahnya, apalagi kalau kita melihat karyawan di level bawah,” kata Gunawan Tjokro.

Sebagai pengusaha, Gunawan bisa memahami upaya pemerintah dalam mengatasi kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan perumahan bagi pekerja tersebut.

“Tapi dengan Tapera ini, banyak asosiasi-asosiasi pengusaha dan serikat pekerja menolak, karena pembuatannya kurang teliti, sehingga banyak dipertanyakan,” katanya.

Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Riden Hatam Aziz meminta agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat dicabut.

“Kita sudah banyak dipotong untuk BPJS Kesehatan, JHT, belum PPh. Itu potongan pajaknya saja bisa 1 jutaan, sementara gaji hanya upah kita sekitar 3,4, 5 jutaan. Jadi gaji kita bukan hanya tipis, tapi sudah habis dipotong, potong-potong lagi. Makanya buruh akan demo Kemenkeu agar pemerintah mencabut PP tersebut,” kata Riden Hatam Aziz. (Red)




Ombudsman RI: Sebaiknya Iuran Tapera tak Libatkan Pengusaha

Kabar6-Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Yeka Hendra Fatika menyampaikan iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebaiknya tidak melibatkan pengusaha, namun dengan kesadaran sendiri dari para pekerja untuk mengikuti program itu.

“Kalau memang kemudian yang pengusaha itu berat, maka saya yakin pemerintah akan mendengarkan itu, dan seyogianya iuran Tapera ini tidak melibatkan pengusaha. Jadi itu melibatkan kepada sebagai kesadaran dari pekerja untuk masuk sebagai kepesertaan dari Tapera,” kata dia di Jakarta, dilansir Anatara, dikutip Selasa (11/6/2024)

**Baca Juga:64 Kendaraan dan 533 Elektronik Milik Pemkot Serang Hilang, Total Aset Rp 10 M

Dirinya menilai pemerintah dalam hal ini Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) sedang melakukan simulasi skema penarikan iuran untuk tidak atau dengan melibatkan pengusaha.

“Masalahnya 3 persen itu seperti apa, sekarang kan sedang disimulasikan. Apakah nanti ini melibatkan pengusaha, pengusahanya nanti dicek dulu. Kalau pengusahanya masalah, apalagi ini nanti mengganggu cash flow-nya perusahaan, itu otomatis nggak akan. Saya yakin juga BP Tapera tidak akan berani memaksakan seperti ini,” kata dia.

Oleh karena itu menurut dia pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara baik, supaya masyarakat bisa memahami semangat dari program tersebut.

Selain itu, menanggapi soal penolakan penyelenggaraan iuran Tapera dari masyarakat, disampaikannya pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat sesuai dengan jalur hukum yang berlaku.

“Ya silakan, boleh. Kalau memang DPR mau mengubah undang-undang Tapera silakan. PP-nya pun diubah, ya silakan itu pemerintah. Itu kan berarti, kalau begitu proses penyusunan kemarin ada yang tidak prudent,” kata dia.

Sebelumnya Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho mengatakan, penarikan iuran sebesar 3 persen bagi pekerja swasta maupun segmen pekerja lainnya belum tentu diberlakukan 2027.

“Lalu terkait apakah di 2027, ya kita gak bisa pastikan, ada achievement- achievement yang harus kami tuju dulu sebelum kita mendapatkan trust untuk memulai penarikan,” kata dia di Jakarta, Senin.

Menurut dia, nantinya realisasi penarikan iuran Tapera setiap tanggal 10 itu dilakukan dalam skema bertahap (gradual). Hal itu karena masih terbatasnya sumber daya di institusi pengelola, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), maupun teknologi.(red)

 

 




PUPR: Tapera untuk Bantu MBR dan Warga Kurang Mampu Miliki Rumah

Kabar6- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga kurang mampu dalam memiliki rumah layak huni.

Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah mengatakan bahwa masih terdapat karyawan atau warga kurang mampu yang kesulitan mendapatkan dan mencicil untuk memiliki rumah dengan harga saat ini dan sulit mendapatkan pinjaman dari bank karena bunganya terlalu mahal.

**Baca Juga:DPR Kwatir Program Tapera jadi Sumber Korupsi Baru

“Kita cuma minta hold dana (Tapera) itu untuk digunakan menjadi dana murah yang akan dapat diakses oleh MBR dan masyarakat kurang mampu,” ujarnya di Jakarta, dilansir Antara Jumat (31/5/2024).

Menurut dia, ketika peserta Tapera masuk masa pensiun kemudian uangnya mau diambil, maka peserta bisa mengambilnya karena Tapera sifatnya adalah tabungan.

Zainal mengatakan bahwa para peserta Tapera saat ini pesertanya baru dari eks peserta Bapertarum yakni ASN.

Selain itu, kehadiran Tapera juga memperbaiki dan meningkatkan skema manfaat dalam Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) seperti bantuan renovasi rumah dan membantu warga yang ingin membayar uang muka.

Dengan demikian, apa yang dulu dilakukan di Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), diberikan juga nanti oleh Tapera dan ditambah yang lain-lain seperti tidak perlu lagi peserta membayar uang muka karena mereka sudah memiliki tabungan di Tapera.

“Kenapa masyarakat yang sudah memiliki rumah harus juga ikut iuran Tapera? Ini merupakan bagian dari tanggung renteng. Tanggung renteng atau menanggung secara bersama-sama, di mana uang iuran dari peserta Tapera nanti dikumpulkan, kemudian uangnya diputar dan digunakan untuk membantu MBR. Sebenarnya tujuan mulianya di situ,” kata Zainal.

Uang yang ditabungkan di Tapera, lanjutnya, tidak akan hilang.

“Tapera ini tujuannya untuk membantu masyarakat juga,” ujarnya.(red)




DPR Kwatir Program Tapera jadi Sumber Korupsi Baru

Kabar6-Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron khawatir Program Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memotong 2,5 persen gaji pekerja PNS hingga swasta per bulannya menjadi sumber korupsi baru.

Ia menyebut peluang korupsi muncul terkait pengelolaan uang yang dihimpun dari Tapera. Menurutnya, bisa saja uang tersebut sengaja diselewengkan demi meraup keuntungan. Hal ini bisa berbahaya bagi sistem keuangan negara ke depan bagi seluruh rakyat Indonesia.

**Baca Juga:Pakar UI: Putusan MA Batas Usia Calon Kepala Daerah tidak Bisa Diterapkan di Pilkada 2024

“Bagaimana dengan asuransi-asuransi investasi yang hari ini mogok semua, macet semua? Kasihan rakyat. Bagaimana dengan koperasi-koperasi yang menghimpun dana masyarakat? Seperti Indosurya yang misalkan kemudian tidak kembali uangnya kepada rakyat? Kan kasihan rakyat,” ucap Khaeron dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Menelisik Untung Rugi Tapera’ di Gedung DPR, Jakarta Pusat, diterima Jumat (31/5/2024).

“Kalau mau sudah lah, jangan terlalu banyak ini pengolah-pengolah keuangan ini. Nanti digunakannya kalau bukan mismanagement, korupsi ujung-ujungnya,” ujar dia lebih lanjut.

Khaeron menilai sebenarnya program Tapera adalah kebijakan yang bagus. Hanya saja, perlu banyaknya pertimbangan dari seluruh pihak sebelum program ini berjalan penuh.

Pasalnya, kebijakan ini berdampak kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini yang menurutnya perlu mendapatkan perhatian.

Pun cara mekanismenya. Menurut dia, jika program tersebut menjadi mandatori, perlu dijelaskan bagaimana dengan mereka yang tidak berutang. Apakah mereka juga wajib mendapatkan rumah, atau bisa diuangkan.

“Bisa saja, aturan itu juga dua pilihan. Bagi yang telah memiliki rumah, maka tabungan ini akan dikembalikan dalam bentuk rumah masyarakat. Bagi masyarakat yang belum memiliki rumah, maka akan diberikan dalam bentuk perumahan dengan pilihan-pilihan yang dekat dengan wilayah kerjaannya. Kan harusnya begitu,” tegas Khaeron.

Bersifat Opsinal

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansah menyarankan agar iuran Tapera bersifat opsional. Kewajiban iuran dinilai akan memberatkan masyarakat, khususnya pekerja di bidang swasta.

“Gimana kalau Tapera ini sifatnya opsional saja, yang wajib memang ada yaitu ASN, TNI-Polri, tapi kalau kepada pekerja?,” ujar Trubus.

Trubus mengatakan, akan ada kerepotan yang dirasakan oleh pekerja swasta. Khususnya ketika pekerja swasta harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau pekerja swasta repotnya apa? Kalau dia tiba-tiba PHK, maka dia otomatis jadi (pengangsur) mandiri, bertanggung jawab karena tidak ditanggung perusahaan,” tuturnya.

Menurut Trubus, negara harus memikirkan dampak yang terjadi dari kebijakan kewajiban iuran Tapera tersebut.

“Lainnya terkait ini, PP 21 (terkait Tapera) menurut saya, seolah-olah negara mengumpulkan pundi-pundi dana masyarakat, dengan tak jelas apakah bisa mempunyai rumah,” ucapnya.

Belum lagi dengan penolakan yang terjadi, jika iuran tersebut bersifat wajib, apakah ada sanksi bagi masyarakat akan menolak.

“Kalau masyarakat menolak gimana? Apa masyarakat harus dipaksa? Kan enggak mungkin juga. Arti memang idealnya khusus untuk pekerja swasta atau mandiri itu sifatnya opsional atau mandatori supaya tidak menimbulkan kegaduhan,” tandasnya.

Namun, Anggota Komisi XI DPR RI fraksi Partai Gerindra Kamrussamad menilai, aturan mengenai potongan gaji karyawan untuk iuran Tapera.

Aturan tersebut, seharusnya disosialisasikan secara masif oleh pemerintah. “Saya melihat PP (Peraturan Pemerintah) ini tidak perlu dibatalkan, cukup disosialisasikan,” kata Kamrussamad.

Selain disosialisasikan, kata Kamrussamad, pemerintah perlu menerbitkan turunan dari peraturan tersebut.

Nantinya, Badan Pengelola Tapera juga perlu menyerap aspirasi para pekerja yang menilai aturan itu membebani.

“Kemudian dibuat turunan peraturannya oleh Badan Pengelola Tapera, lalu kemudian di situlah aspirasi diserap supaya bisa diakomodir dalam aturan turunan. Sehingga masalah keadilan publik itu merasa terwadahi melalui peraturan turunan itu yang akan diberlakukan,” tandasnya.

Sebelumnya, pada 20 Mei 2024 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Dalam Pasal 7 PP mengenai Tapera tersebut, jenis pekerja yang wajib menjadi peserta mencakup pekerja atau karyawan swasta, bukan hanya ASN, pegawai BUMN dan aparat TNI-Polri.

Dalam PP tersebut, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya yakni 3 persen dari gaji atau upah pekerja.

Setoran dana Tapera tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri.

Adapun pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke Rekening Dana Tapera. Hal yang sama juga berlaku bagi freelancer.

Pemerintah memberikan waktu bagi para pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020.(red)




Meninjau Kembali Kebijakan TAPERA: Mekanisme, Efektivitas, dan Pilihan Terbaik

Kabar6-Belum ada kebijakan layanan publik untuk perumahan rakyat yang mendapatkan penolakan begitu luas baik dari kalangan pekerja dan pengusaha selain Kebijakan TAPERA PP 21/2024.

Penolakan baik pengusaha dan pekerja tersebut beralasan karena mewajibkan potongan untuk tabungan perumahan disaat kondisi ekonomi berat sangatlah tidak bijak.

Mekanisme dan Perhitungan TAPERA

Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, yang mewajibkan potongan gaji sebesar 3 persen bagi pekerja. Iuran ini dibagi menjadi 2,5 persen yang ditanggung oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja.

**Baca Juga:TAPERA PP No. 21/2024 Harus Ditolak, Ini Alasannya

Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan untuk pengembangan dana perumahan yang akan digunakan untuk membiayai kepemilikan, pembangunan, atau perbaikan rumah pertama bagi peserta.

Namun, kebijakan harus ditolak karena kebijakan Tapera menambah beban finansial di tengah berbagai iuran lain yang sudah harus ditanggung, seperti PPh 21, PPN, dan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Pengurangan gaji 3 persen dianggap membebani pekerja dan pengusaha, terutama di kondisi ekonomi yang belum stabil.

Efektivitas dan Preferensi Masyarakat

Beberapa masyarakat berpendapat bahwa kebijakan TAPERA tidak efektif. Alasan utamanya adalah banyak individu yang sudah memiliki rumah, baik melalui KPR atau warisan. Selain itu, preferensi perumahan setiap orang berbeda-beda, dan rumah yang disediakan TAPERA mungkin tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Hal ini menimbulkan usulan agar kebijakan TAPERA bersifat optional atau pilihan saja, sehingga hanya mereka yang membutuhkan dan menginginkan dapat berpartisipasi.

Fokus pada Kemudahan Pembelian Rumah untuk Generasi Muda

Ada pula pandangan bahwa pemerintah sebaiknya mempermudah pembelian rumah saat peserta TAPERA masih bekerja, bukan saat mereka sudah pensiun.

Berdasarkan estimasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebanyak 81 juta Generasi Milenial dan Gen Z diperkirakan belum memiliki rumah. Memfokuskan bantuan perumahan pada kelompok muda ini akan lebih efektif mengingat kebutuhan mendesak mereka untuk memiliki hunian sendiri di usia produktif.

Tabungan Perumahan Rakyat Seharusnya Sukarela Bukan Wajib

Secara keseluruhan, kebijakan TAPERA memerlukan penyesuaian agar lebih tepat sasaran dan tidak membebani pekerja serta pengusaha. Pertimbangan untuk menjadikan kebijakan ini sebagai opsi, serta memfokuskan bantuan pada generasi muda yang masih bekerja, dapat meningkatkan efektivitas dan penerimaannya di masyarakat. Kebijakan perumahan harus mempertimbangkan preferensi dan kebutuhan nyata masyarakat agar benar-benar memberikan manfaat yang maksimal. Tulisa kedua dari Achmad Nur Hidayat MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

 




TAPERA PP No. 21/2024 Harus Ditolak, Ini Alasannya

Kabar6-Pada 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Peraturan ini mewajibkan pemotongan gaji sebesar 3 persen bagi para pekerja. Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), buruh, dan pekerja swasta dengan tegas menolak pemberlakuan UU tersebut. Kini, dengan adanya PP No. 21/2024, penolakan tersebut semakin kuat. Berikut adalah alasan-alasan penolakannya:

Alasan Pertama, Beban Ganda Publik dan Redundansi Program Perumahan MLT JHT BPJS Ketenagakerjaan

Dengan adanya TAPERA, pekerja dan pemberi kerja akan menghadapi beban ganda. Saat ini, pemberi kerja sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja untuk berbagai program jaminan sosial. Tambahan 3 persen dari gaji melalui TAPERA akan semakin membebani kondisi keuangan perusahaan dan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi dan tekanan ekonomi global.

**Baca Juga:Per 1 Juni 2024 Pertamina Wajibkan Pembelian LPG 3 Kg Pakai KTP

Program perumahan rakyat melalui TAPERA menjadi redundan dengan program perumahan yang sudah ada, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Melalui MLT, pekerja yang menjadi peserta JHT dapat memanfaatkan fasilitas perumahan seperti pinjaman Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO), Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP), dan Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK). Mengapa tidak dioptimalkan saja dana MLT BPJS Ketenagakerjaan yang sudah tersedia?

Alasan Kedua,Keuntungan Bagi BP Tapera dan Pemerintah

TAPERA dinilai lebih menguntungkan BP Tapera dan pemerintah daripada publik. Kurangnya pengalaman BP Tapera dalam mengelola dana besar dan potensi rendahnya imbal hasil menimbulkan kekhawatiran bahwa manfaat yang diharapkan tidak akan tercapai. Dengan demikian, alih-alih meningkatkan kesejahteraan pekerja, TAPERA justru berisiko menguntungkan pejabat BP Tapera dan akhirnya menjadi beban tambahan bagi pekerja.

Alasan Ketiga, Pemindahan Tanggung Jawab Pemerintah

TAPERA memindahkan tanggung jawab pemenuhan hak atas perumahan dari pemerintah kepada para pekerja. Program ini mewajibkan pekerja menyisihkan dana dari gaji mereka, yang secara efektif mengurangi daya beli mereka, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Konstitusi Indonesia mengamanatkan bahwa hak atas perumahan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, TAPERA justru mengalihkan beban tersebut kepada pekerja, sementara pemerintah hanya berperan sebagai pengumpul dana tanpa memberikan kontrol atau otoritas penuh kepada publik dalam pengelolaan dana tersebut.

Alasan Keempat, Memberatkan Kelas Pekerja

Penolakan terhadap TAPERA semakin kuat karena program ini dianggap memberatkan kelas pekerja dan pengusaha. Pengurangan gaji sebesar 3% untuk iuran TAPERA menambah beban tambahan yang signifikan bagi pekerja dan pengusaha. Pekerja sudah dibebani dengan berbagai iuran seperti PPh 21, PPN yang akan naik menjadi 12%, iuran BPJS Kesehatan, dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, pengusaha juga sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja. Tambahan 0,5% dari iuran TAPERA semakin memberatkan beban keuangan mereka.

Alasan Kelima, Perbedaan Konsep dengan BPJS Kesehatan

Presiden Jokowi mencontohkan saat diberlakukan BPJS Kesehatan di luar skema gratis yang sempat menjadi sorotan. “Tapi setelah berjalan saya kira bisa merasakan manfaatnya rumah sakit tidak dipungut biaya, hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra. Padahal terdapat perbedaan fundamental dalam cara kerja dan manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan BPJS Kesehatan.

TAPERA berbeda konsep dengan BPJS Kesehatan. Iuran TAPERA dihitung sebagai persentase dari gaji peserta dan kemudian diinvestasikan untuk pengembangan dana perumahan. Hal ini berbeda dengan BPJS Kesehatan, di mana iuran dihitung berdasarkan kelas pelayanan peserta dan digunakan langsung untuk membiayai layanan kesehatan. Pada BPJS Kesehatan, iuran yang dibayar oleh peserta langsung digunakan untuk membiayai layanan kesehatan yang dapat diakses oleh peserta sesuai dengan kelas pelayanan yang dipilih. Sedangkan pada TAPERA, iuran yang dipotong dari gaji peserta diinvestasikan terlebih dahulu dengan tujuan pengembangan dana perumahan. Proses ini berarti bahwa manfaat yang dirasakan oleh peserta tidak langsung dan sangat tergantung pada efektivitas pengelolaan investasi tersebut. Akibatnya, rumah yang diperoleh para pekerja tidak mungkin seragam karena besarnya iuran berbeda-beda dan tergantung pada keberhasilan investasi.

Selain itu, TAPERA dapat dikatakan hanya menguntungkan Badan Pengelola dengan remunerasi yang tinggi. Dana yang dikelola juga meningkatkan cadangan dana pemerintah. Namun, pengelolaan keuangan negara sering kali terkesan kurang efektif dan tidak efisien, menimbulkan kekhawatiran bahwa dana TAPERA tidak akan dikelola dengan baik dan optimal untuk kesejahteraan peserta. Pengalaman dengan berbagai program sebelumnya menunjukkan bahwa dana besar yang dikelola oleh pemerintah sering kali tidak memberikan hasil yang maksimal bagi publik.

Kesimpulan:
TAPERA PP No. 21/2024 harus ditolak karena berbagai alasan yang kuat. Pertama, adanya beban ganda bagi pekerja dan pemberi kerja serta redundansi dengan program perumahan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, TAPERA lebih menguntungkan BP Tapera dan pemerintah, bukan publik. Ketiga, TAPERA memindahkan tanggung jawab pemenuhan hak perumahan dari pemerintah kepada pekerja, mengurangi daya beli mereka. Keempat, TAPERA memberatkan kelas pekerja dan pengusaha dengan tambahan beban finansial. Kelima, TAPERA berbeda konsep dengan BPJS Kesehatan, di mana manfaat perumahan tidak seragam dan pengelolaan dana yang tidak efisien berpotensi merugikan peserta. (Achmad Nur Hidayat MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)