1

Kasus Kecelakaan Mahasiswa UI, Polisi Terbitkan SP3 Sudah Tepat

Kabar6.com

Kabar6-Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Syaputra yang meninggal dunia akibat kecelakaan ditetapkan sebagai tersangka. Hasya meninggal dunia ditabrak mobil yang dikendarai pensiunan polisi AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono di Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Polisi menyebut, Hasya meninggal dunia akibat kecelakaan di Jagakarta, Jakarta Selatan karena kelalaiannya sendiri. Bukan karena kelalain pengemudi pajero yang juga terlibat dalam kecelakaan yang terjadi 6 Oktober 2022.

Penetapan tersangka oleh polisi terhadap korban itu, menurut pengamat transportasi Ki Darmaningtyas, logis. Sebab kecelakaan itu berawal dari kelalaian korban sendiri.

“Kalau berdasarkan yang saya baca dari kronologi dan kesaksian para saksi, persoalan itu terjadi pada pengendara sepeda motor, yang mengendarai motor dengan kencang, dan mungkin knalpotnya diubah. Kalau melihat kronologi yang ada, saya kira penetapan tersangka itu logis,” kata Darmaningtyas kepada wartawan, Sabtu (28/1/2023).

Darmaningtyas mengatakan, korban itu tidak selalu benar. Kebanyakan yang terjadi, kecelakaan sepeda motor itu terjadi karena kelalaian pengendara, ada yang melawan arus dan ada yang zig-zag.

“Kalau kita melihat kasus yang di Srengseng Sawah ini, itu kan motor jatuh duluan, baru tertabrak mobil. Publik harus disadarkan bahwa pengendara mobil tidak selalu salah dan pengendara motor tidak selalu benar. Pada situasi tertentu pengendara mobil bisa benar. Kalau yang terjadi mobilnya ngebut dan menyerempet motor dan jatuh, itu baru mobil yang salah,” katanya.

Tapi dalam kasus ini, kata Darmaningtyas, motornya melaju dengan kencang, mengerem mendadak dan pengendara jatuh terpelanting dan terkena mobil.

“Keduanya saya tidak kenal, baik korban maupun saksi pengendara mobil. Komentar saya berdasarkan pertimbangan rasionalitas,” ujarnya.

Terkait pertanyaan korban yang sudah meninggal ditetapkan sebagai tersangka, menurut Darmaningtyas tidak menjadi masalah. Karena ketika korban yang ditetapkan tersangka itu meninggal, maka penyidikan berakhir.

“Pertanyaannya, kenapa kok ditetapkan tersangka? Dengan ditetapkan menjadi tersangka, dan korban meninggal berarti penyidikan berakhir secara otomatis,” jelasnya.

Darmaningtyas juga mendukung saran dari kepolisian agar pihak keluarga korban kalau tidak merasa puas bisa menempuh langkah hukum praperadilan.

“Saya mendukung langkah praperadilan tersebut untuk membuktikan apakah mobil atau motor yang salah,” ungkapnya.

**Baca Juga: Satlantas Polresta Serkot Tegur Pelanggar Lalu Lintas

Dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), tidak selalu penabrak menjadi tersangka. Harus dilihat sebab-akibat. Seperti melihat posisi kejadian, merunut peristiwa, serta mencari keterangan saksi mata. Dilihat posisinya antara pelaku atau korban, kalau memang salah korban bisa ditetapkan sebagai tersangka. Lantaran tersangka telah meninggal dunia, perkara ini memang wajib dihentikan atau diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh kepolisian.

Sementara itu, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Marcus Priyo Gunarto, masalah tidak dipidananya pengendara mobil adalah masalah lain, karena harus mendasarkan pada kesalahan, yaitu kepatutan pengendara mobil saat kejadian, apakah sudah berhati-hati dalam mengendarai mobil dalam kondisi hujan, jalan licin, keadaan gelap apakah lampu mobil memberi penerangan yang cukup, kecepatan wajar dan fungsi rem berjalan baik.

“Kalau keadaan ini terpenuhi, maka pengendara mobil tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena tidak ada unsur kesalahan”, ujarnya

Lanjutnya, untuk itulah, kalau SP3 yang diterbitkan Ditlantas Polda Metro Jaya terhadap pengemudi mobil karena tidak cukup bukti sebetulnya tidak masalah. Sebab tujuan SP3 untuk memberikan kepastian hukum. (Red)




Pakar Hukum Pidana Kecewa Vonis Perkara Minyak Goreng

Pakar hukum pidana, Suparji Achmad

Kabar6-Putusan sidang kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya, termasuk minyak goreng, tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Demikian penyataan Pakar hukum pidana, Suparji Achmad, Kamis (05/01/2023).

“Saya meminta jaksa penuntut umum untuk mengajukan banding karena  masyarakat merasa ada ketidakadilan,” kata Suparji.

Seperti diberitakan Kabar6 sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (4/1/2023), menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa kasus minyak goreng lebih rendah dari tuntutan jaksa, karena kerugian negara tidak terbukti dalam persidangan.

Lebih lanjut Suparji menjelaskan bahwa putusan para terdakwa yakni, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indra Sari Wisnu Wardhana divonis 3 (tiga) tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan. Sementara Jaksa menuntut 7 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis satu setengah tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan. Sementara Jaksa menuntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma divonis satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan. Sementara Jaksa menuntut 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kemudian, terdakwa Lin Chie Wei alias Weibinanto Halimdjati, mantan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian divonis satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan. Sementara Jaksa menuntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang divonis satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan. Sementara Jaksa menuntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kelimanya diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

“Saya kecewa dengan vonis tersebut karena ini menjadi bukti bahwa Pasal 3 UU Tipikor terkait menyalahgunakan wewenang dan menjadikan perekonomian rakyat menjadi kacau balau. Hukumannya kok tiga tahun bagi pejabat negara, bagi swastanya hanya satu setengah tahun, dan lain-lain satu tahun,” sesal Suparji.

Pasal 3 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

**Baca Juga: Dugaan Pencucian Uang Perkara BAKTI Kementerian Kominfo, 3 Direktur Diperiksa

Suparji menghormati putusan hakim tersebut, karena hakim adalah yang terbaik sebagai bentuk sarana penyelenggara negara hukum. Meski demikian, ia mengibaratkan putusan tersebut kepada para terdakwa dikenakan Pasal 3 tetapi dihukum dengan Pasal 5 tentang suap yang divonis lima tahun.

“Ini jadi sangat ironis. Dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tentang penyalahgunaan wewenang, menimbulkan kerugian negara dan perekonomian negara, tapi hukumannya yang ringan sebagaimana diatur Pasal 5 tentang suap,” jelasnya.

Menurut Suparji, putusan ini tidak sebanding dengan apa yang telah terjadi di masyarakat saat minyak goreng hilang di pasaran, harus berdesak-desakan, mengantre berjam-jam, tetapi pada sisi lain diduga ada pengusaha yang bisa menjual CPO ke luar negeri mendapat untung besar, memperkaya diri, dan diduga atas bantuan oknum pejabat.

“Jadi harus melakukan upaya banding untuk mendapatkan keadilan yang lebih tinggi,” tegasnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini berharap lewat sarana banding, hakim di tingkat banding bisa menghukum berat kasus minyak goreng tersebut, sehingga terpenuhi rasa keadilan di masyarakat.

“Mudah-mudahan hakim pengadilan banding menyatakan bersalah dan bisa memberikan hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup,” harap Suparji. (Red)