1

Menilai Ulang Pelemahan Rupiah: Antara Fundamental Ekonomi dan Opini Publik

Kabar6-Dalam situasi ekonomi global yang fluktuatif, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan bahwa pelemahan rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Thailand, Korea, dan Turki membutuhkan tinjauan kritis.

Memang, secara nominal, rupiah mungkin tidak terdepresiasi seburuk mata uang negara lain, tetapi pernyataan ini cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia.

*Misleading Menteri Keuangan*

Menilai kinerja mata uang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar forex bisa menyesatkan. Mengklaim bahwa “lebih baik” dibandingkan negara lain adalah pendekatan yang reduktif yang mengabaikan faktor-faktor kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara.

Sementara pelemahan rupiah mungkin terlihat lebih minimal dibandingkan dengan mata uang negara lain, ini tidak necessarily berarti bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih stabil atau lebih baik.

*Dampak Kurang Serius Atasi Masalah Fundamental Ekonomi*

Ketidakseriusan dalam menanggapi angka-angka ini menyebabkan kegagalan dalam mengatasi masalah yang lebih mendalam, seperti ketergantungan berlebihan terhadap utang luar negeri, defisit transaksi berjalan, dan ketidakseimbangan neraca perdagangan.

Ekonomi Indonesia sendiri mengalami utang luar negeri yang terus meningkat, defisit transaksi berjalan yang membesar dan ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten. Ketiga faktor ini disebut faktor fundamental tersebut lah yang menyebabkan nilai tukar rupiah Rp16,200/USD bahkan bisa mencapai Rp16,900/USD diakhir tahun 2024

*ULN Meningkat*
Per akhir tahun 2023, total utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar 407,1 miliar USD atau atau Rp6597 triliun Rupiah (kurs Rp16,200/USD).

Peningkatan ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 2,7 persen dari tahun sebelumnya. Mengutip dari halaman ULN Indonesia, komposisi ULN ini terutama disebabkan oleh 23,7% berasal sektor Kesehatan dan Layanan Sosial paska Pandemi Covid (Rp1563 triliun), 18,9% dari sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (Rp1246 Triliun), 14,1% dari utang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur (Rp930 triliun).

Pelibatan APBN untuk proyek Infrastruktur seperti KA Cepat Jakarta-Bandung, IKN dan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya menambah berat beban utang LN Indonesia.

*Defisit Transaksi Berjalan Naik*
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 0.1% dari PDB. Defisit ini terjadi disebabkan penurunan harga komoditas global yang mempengaruhi ekspor negara.

Pada 2024, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi. Diperkirakan defisit ini akan berada dalam kisaran 0,1% hingga 0,9% dari PDB, menandakan manajemen keuangan negara memburuk.

*Neraca Perdagangan Tumbuh Tapi Kurang Berkesan*
Pada Januari 2024, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar $2.01 miliar. Ini menunjukkan penurunan dari $3.31 miliar yang dicatat pada Desember 2023. Pada periode yang sama, surplus diperoleh terutama dari komoditas non-minyak dan gas seperti bahan bakar mineral seperti nikel ore dan bauksit serta minyak lemak hewan dan nabati, juga besi dan baja.

*Kebutuhan Reformasi Ekonomi*
Fokusnya Menteri Keuangan kepada perbandingan yang sempit itu dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan untuk reformasi ekonomi yang lebih substantif.

** Baca Juga: DLH: Satu Ton Sampah Organik Setiap Hari Diolah jadi Pakan Ternak

Ketidakseriusan dalam menghadapi pelemahan rupiah mencerminkan kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi yang lebih kompleks.

Fokus yang sempit pada perbandingan nilai tukar dapat mengaburkan gambaran yang lebih besar, terutama masalah seperti ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri.

Utang ini membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar, membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik.

Demikian pula, defisit transaksi berjalan yang terus menerus mencerminkan ketidakseimbangan antara impor dan ekspor, yang menunjukkan kekurangan dalam daya saing produk domestik atau ketergantungan pada impor.

Ketidakseimbangan neraca perdagangan ini memperparah tekanan pada rupiah, membuat ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap guncangan eksternal. Sehingga, sangat penting untuk melakukan reformasi ekonomi yang lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya merespons fluktuasi nilai tukar semata. Kita perlu mendorong peningkatan produksi domestik dan diversifikasi ekspor untuk mencapai keseimbangan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.

*Melihat Konteks Ekonomi Secara Menyeluruh*
Sebagai ekonom, saya mengajak Ibu Sri Mulyani dan pengambil kebijakan ekonomi lain seperti Bank Indonesia dan OJK harus menganalisis konteks ekonomi lebih luas, termasuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah, kondisi pasar global, dan faktor internal yang mempengaruhi kekuatan ekonomi.

Evaluasi ini harus melampaui angka depresiasi mata uang dan memasukkan pertimbangan terhadap indikator ekonomi makro, stabilitas politik, dan kebijakan fiskal dan moneter. Jangan sekedar membandingkan nominal pelemahan nilai tukar saja.

*Rekomendasi Memperkuat Nilai Tukar dengan Pendekatan Fundamental Ekonomi*

Untuk memperkuat nilai tukar rupiah secara berkelanjutan dan menyentuh aspek fundamental ekonomi, Indonesia memerlukan serangkaian reformasi yang mendalam.

Upaya ini harus dengan serius dilakukan, karena jika tidak, cadangan devisa Indonesia tidak akan mencukupi untuk mengintervensi USD yang sudden flight. Menyikapi Pelemahan rupiah 1 minggu terakhir, devisa Indoensia diprediksi sudah tergerus 2,6 miliar USD sehingga cadev menjadi 137,8 miliar USD per akhir April 2024.

Mengutip data Bank Indonesia (BI), posisi cadangan devisa Indonesia di akhir Maret 2024 sebesar 140,4 miliar dollar AS.

Rekomendasi yang harus dilakukan antara lain:

Pertama, Diversifikasi Pembiayaan Pembangunan Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada Utang Luar Negeri baik jangka pendek maupun jangka panjang

Kedua, Reformasi Kebijakan Fiskal: Kebijakan fiskal saat ini belum mengoptimalkan struktur pajak untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani sektor produktif.

Ketiga, Kebijakan Moneter yang Proaktif: Koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar. Kadang BI terkesan sendirian menjadi guardian of Rupiah, padahal seharusnya koordinasi dapat memperkuat rupiah tanpa kehilangan devisa Indonesia yang signifikan.

Melalui pendekatan yang lebih holistik dan fokus pada kekuatan internal ekonomi, Indonesia dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan.

Memperkuat nilai tukar rupiah bukan hanya melalui intervensi pasar, tetapi melalui pembenahan struktural yang akan memperbaiki ekonomi dari dalam.
(Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta dan CEO) Kebijakan Publik Narasi Institute_




FITRA Pertanyakan Pembenahan oleh Sri Mulyani Lakukan Terkait Rangkap Jabatan 39 Pejabat Kemenkeu

Kabar6-Wakil Sekretaris Jenderal FITRA, Ervyn Kaffah, meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melaporkan kepada publik upaya pembenahan yang telah dilakukannya untuk mengurangi risiko besarnya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat rangkap jabatan pejabat Kemenkeu pada sejumlah BUMN.

Sekitar delapan bulan lalu pada awal Maret 2023, Seknas FITRA telah mempertanyakan praktek rangkap jabatan 39 pejabat Kemenkeu pada sejumlah BUMN, yang semestinya mendapatkan supervisi dari kementerian tersebut.

FITRA menyebut bahwa pendapatan para pejabat Kemenkeu yang menjadi Komisaris BUMN mencapai 20 kali lipat dari gaji mereka setiap bulannya sebagai staf kementerian.

“Sudah delapan bulan sejak kami umumkan temuan tersebut. Kami berharap ada akuntabilitas. Tentunya publik ingin tahu, apa kebijakan yang sudah diambil Ibu Sri untuk menangani situasi tersebut. Apalagi, sebelumnya kami pantau Ibu Sri juga telah mengumpulkan dan memperoleh masukan dari sejumlah kalangan dengan integritas teruji merespon situasi munculnya banyak pertanyaan mengenai aliran dana Rp 400 triliun, termasuk soal rangkap jabatan tersebut,” ujar Ervyn Kaffah, dalam keterangan tertulis kepada kabar6, Minggu (10/12/2023).

“Apa sudah ada pembenahan? Kalau pejabat yang bergaji Rp 90-100 juta setiap bulan dibolehkan menjadi komisaris dan mendapat gaji lebih dari dua miliar sebulan. Itu menabrak rasa keadilan, dan tugas Ibu Menteri memperbaiki situasi tersebut,” sambung pria yang dikenal sebagai pegiat anti korupsi tersebut.

Menurut Ervyn, dalam masa kampanye Pemilu sekarang ini dan Hari H Pilpres yang tidak lebih dari 60 hari lagi, supervisi dan pengawasan terhadap kerja BUMN harus lebih diperketat.

**Baca Juga: Arief-Sachrudin Kerja Bakti Barsama Masyarakat

Alasannya, karena dalam momentum politik pemilihan, kinerja fiskal biasanya melambat, sehingga peran BUMN untuk ikut mendukung pertumbuhan ekonomi dalam masa-masa tersebut sangat penting.

“Momentum politik selalu berbanding terbalik dengan kinerja fiskal, itu terjadi paling sering di daerah. Kualitas belanja kita sampai saat ini masih buruk karena pengendalian kegiatan APBN/APBD masih belum berjalan baik. Selain membutuhkan konsentrasi dari para pejabat Kemenkeu mengenai hal ini, Ibu Sri dan pejabat Kemenkeu kami harapkan bisa lebih fokus dan ketat dalam mendorong dan mensupervisi kinerja BUMN agar bisa mendukung kelemahan kontribusi belanja pemerintah kepada pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

Menurut FITRA, berdasar data Kemenkeu sendiri, hingga 31 Oktober 2023, penyerapan belanja pemerintah baru mencapai angka sekitar 73 persen lebih.

“Artinya, dalam dua bulan pemerintah dipaksa untuk membelanjakan anggaran senilai 30 persen dari total APBN 2023 sebesar Rp 3.016 T,” katanya.

Ervyn mengatakan itu pekerjaan berat, dan membutuhkan konsentrasi dari pejabat kementerian keuangan. Karena praktis waktu untuk belanja pemerintah pusat dan daerah cuma 45 hari. tandasnya. (Oke)




Menteri Keuangan Terbitkan Aturan Baru Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Kabar6-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, peraturan ini mulai berlaku 60 hari sejak tanggal diundangkan pada 5 Desember 2022 yakni pada 3 Februari 2023.

Untuk melaksanakan Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) agar lebih berkepastian hukum, perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

“Di dalam peraturan tersebut, beberapa ketentuan bersifat menambahkan ketentuan yang sudah ada. Ketentuan tersebut antara lain, ketentuan pemberitahuan Hasil Pemeriksaan bukti permulaan disampaikan paling lama satu bulan sebelum jangka waktu Pemeriksaan bukti permulaan berakhir. Ketentuan ini sebelumnya tidak ada,” kata Neilmaldrin dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kabar6, Jumat (23/12/2022).

Selanjutnya, dalam rangka upaya ultimum remedium untuk memulihkan kerugian negara, meskipun telah terbit Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, wajib pajak tetap dapat mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan syarat mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum, dan terhadap pengungkapan tersebut diterbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukper.

Lalu, menambahkan pada ketentuan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang harus melampirkan Surat Setoran Pajak atau sarana lain, keterangan sanksi berupa denda sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP, yakni 100% dari jumlah pajak kurang dibayar atau lebih kecil dari aturan sebelumnya, yaitu 150% dari pajak kurang dibayar.

Ketentuan lainnya menegaskan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan dan/atau dibetulkan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukper disampaikan, SPT tersebut dianggap tidak disampaikan.

Terakhir menegaskan pendelegasian wewenang dari Direktur Jenderal Pajak kepada Unit Pelaksana Penegakan Hukum atau Pejabat Administrator untuk beberapa hal, seperti menerbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan, dan lain lain.

Selain menambahkan ketentuan baru, ada juga aturan yang sifatnya mengubah atau menyesuaikan ketentuan yang ada.

Ketentuan baru tersebut yaitu, pertama untuk efisiensi waktu, jangka waktu perpanjangan Pemeriksaan Bukper diubah menjadi paling lama 12 bulan, sebelumnya 24 bulan.

Kedua, menyesuaikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dapat dilakukan atas Pasal 38 atau 39 ayat (1) huruf c atau d UU KUP baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan seperti Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan d, Pasal 39 ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 UU KUP serta pasal 24 dan Pasal 25 UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

**Baca Juga: DJP Banten Ajak 25 Teman Tuli Ikuti Giat Pajak Berisyarat

Ketiga, Pemeriksaan Bukper dapat dilakukan berdasarkan pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain, yaitu kegiatan pengawasan, pemeriksaan, pengembangan Pemeriksaan Bukper, atau pengembangan penyidikan, dengan hasil berupa laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukper.

Keempat, pemberitahuan Pemeriksaan Bukper dan pemberitahuan terkait lainnya harus disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukper, bukan kuasa.

Kelima, untuk menyesuaikan perubahan sanksi administrasi pengungkapan ketidakbenaran menjadi 100%, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran yang tidak sesuai keadaan sebenarnya diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada saat penyidikan sebesar satu per dua bagian dari jumlah pembayaran. Di peraturan sebelumnya 2/5 (dua per lima) bagian. (Red)