1

Kejaksaaan Agung Dipercaya Publik, Masyarakat adalah Spirit Baru Penegakan Hukum

Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti dan Sekjend Mahupiki

Oleh: Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti dan Sekjend Mahupiki (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia)

Kabar6-Kejaksaan Agung mampu mengungguli lembaga penegak hukum lain sehingga Kejaksaan memperlihatkan kenyataan yang tidak dapat ditolak dan dimaknai berhasil menjaga wajah kepastian dan kualitas penegakan hukum sampai saat ini. Ini bukti dari rangkaian proses panjang terhitung sejak janji beliau sebagai Jaksa Agung pada saat pelantikannya yang akan mengembalikan marwah Kejaksaan dan quick respons atas keinginan masyarakat benar adanya yang kini telah terwujud.

ST Burhanuddin memberikan dobrakan dalam fighter penegakan hukum dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya serta membuktikan hasil kerja keras, kerja cepat dan kerja tuntas serta transparan. Sikap tegasnya membawa perubahan kinerja institusi Kejaksaan kini memberikan sumbangsih luar biasa, membawa misi kepentingan banyak orang dan membuat masyarakat percaya dan bangga. Masyarakat melihat dari kinerja selama ini, laporan kinerja kejaksaan yang dibuktikan dengan kenyataan di lapangan.

Faktor yang membuat Kejaksaan mendapat kepercayaan publik selain reformasi internal termasuk strategi pamungkas Jaksa Agung menyangkut hal taktis, operasional serta kebijakan strategis yang dilakukan menjadi acuan antara lain Perintah Harian Jaksa Agung, 7 program kerja prioritas Jaksa Agung, rekomenadasi Korps Adhyaksa termasuk Kejaksaan yang hadir ditengah masyarakat termasuk pula penerapan restorative justice (RJ) semakin efektif yang menekankan makna dan tujuan hukum menemukan titik keseimbangan peran pencari keadilan dan masyarakat dalam penegakan hukum serta Kejaksaan yang tegas, tidak segan segan mencopot jaksa, “sikap berani” memberikan sanksi pada oknum jaksa yang nakal melanggar kewajiban wewenangnya ini juga jadi kunci keberhasilan.

**Baca Juga: Kaesang Konsolidasi Satu Putaran Prabowo-Gibran di Serang

Selain reformasi di internal terlihat dari jumlah penyelamatan uang negara berjumlah Rp74,733 triliun, serta berani melawan arus dengan cerdas (keluar dari kondisi lama), tidak terjebak pada konflik kepentingan , terbukti berani memeriksa kasus-kasus besar yang ditangani yang menjadi sorotan publik termasuk mengerjakan kasus -kasus yang mangkrak perlahan dituntaskan.

Hal hal inilah yang menjadi public trust dan disambut luas peran kejaksaan oleh masyarakat , sekaligus jadi semangat baru serta harapan kedepan kejaksaan semakin diposisikan diberikan tempat sebagai lembaga penegak hukum yang lebih baik termasuk kedudukan dan fungsi kejaksaan yang lebih luas mendorong implementasi negara hukum Indonesia guna tujuan pembangunan berkelanjutan.(*/Red)




Membangun Keadilan Restoratif Melalui Hukum Pidana 4.0 (Digital Transformation)

Oleh: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana

Kabar6-Hukum Pidana 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional.

Hukum Pidana 4.0 sebagai Hukum Pidana yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Pidana ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global memiliki relevansi substansial dan fundamental dengan konseptual Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. Di dalam sistem Hukum Indonesia, norma dasar negara atau state fundamental norm adalah Pancasila, oleh karenanya penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan Hati Nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu:

Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini sebagaimana pandangan dari seorang Hakim Agung di Inggris, Lord Denning yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Hati Nurani yang melandasi tujuan keadilan hukum ini adalah sebuah postulat bahwa tidak akan tercapainya keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani karena pada hakikatnya keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral dan sumber dari hukum itu sendiri adalah moral.

Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut utility teori dan meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number). Hati Nurani yang melandasi tujuan kemanfaatan hukum ini adalah manakala rasa keadilan mayoritas masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian dengan nominal rendah atau penganiayaan ringan yang nilai kerugiannya minim, untuk tidak dilakukan proses hukum hingga di pengadilan.

**Baca Juga: Kejari Tangsel Berikan ‘Restoratif Justice’ Ketiga Tersangka Gadaian Motor

Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.

Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global, namun hal yang kiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum. Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis. Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat. Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.

Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara, kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

Penerapan keadilan restoratif telah dilakukan institusi Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Semenjak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif sampai tanggal 3 Mei 2023, Kejaksaan RI telah menghentikan sedikitnya 2654 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Kedua peraturan tersebut menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana. Melalui Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini, akhirnya penerapan keadilan restoratif dapat menjangkau seluruh lapisan usia dan secara nyata telah menjadikan hukum untuk manusia. Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum. Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani.

Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.

Sebagai informasi, hingga 11 Juli 2023, sebanyak 3.121 perkara telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan sejak diterbitkannya Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.(*/Red)




Jaksa Harus Terapkan Delik Pencucian Uang Kasus Korupsi BTS Kominfo

Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti

Kabar6-Jaksa harus semakin memperluas penyidikan, fungsi penyidikan jaksa dalam tindak pidana efektif dan terukur selanjutnya jaksa harus berani terapkan delik tindak pidana pencucian uang dalam kasus korupsi menara BTS Kominfo.

Kualitas penegakan hukum melalui penyidikan kejaksaan menunjukkan peran nyata keberhasilan jaksa dalam sistem peradilan pidana lebih khusus fungsinya dalam penyidikan, dimana diketahui setelah menetapkan enam tersangka kasus dugaan korupsi menara BTS Kominfo, Kejaksaan Agung kini tetapkan kembali seorang tersangka, yaitu Yusriki, Direktur Utama PT Basis Utama Prima, yang juga salah satu ketua komite di Kadin.

Terkait hal ini jaksa perlu terus didorong untuk meluaskan penyidikannya , termasuk pelacakan asal usul uang dan aliran uang guna mengetahui tipologi kejahatannya apakah ada di sembunyikan pada kelompok bisnis tertentu, atau menggunakan identitas palsu , mengunakan perantara maupun penghimpunan aset tanpa nama guna mengetahui siapa orang yang menikmati hasil korupsi nya termasuk pihak pihak yang menikmati hasil korupsi tersebut.

**Baca Juga: Senior KAHMI Kabupaten Tangerang Eny Suhaeni Wafat

Sehingga dari pelecakan asal usul dan aliran uang terlihat rumusan delik tindak pidana pencucian uang termasuk pengimemntasian peran nyata dan urgensi jaksa dalam sistem peradilan pidana, terkait kemampuan penyidikan jaksa untuk menarik peristiwa ini dalam TPPU, termasuk dalam hal ini keberanian jaksa yang telah berhasil melakukan penetapan para tersangka yang di kualifikasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang harus dinyatakan sebagai kejahatan asal.

selanjutnya adalah penting dan diharapkan Jaksa dapat menemukan peristiwa tindak pidana pencucian uang mengingat nilai uang yang dikorupsi sangat besar, karena dengan diterapkan Undang undang pencucian uang tentu akan ” melumpuhkan pelaku kejahatan bagi siapapun yang terlibat atau membantu terjadinya korupsi di korupsi Bakti Kominfo.(*/Red)




Positif Narkoba, Pencopotan Kajari oleh Kejati Patut Diapresiasi

Kabar6-Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menyebut pencopotan Kajari Madiun oleh Kejati patut diapresiasi. Hal ini merupakan sikap tegas dan bukti keberhasilan pimpinan Kejaksaan.

“Keberanian dan ketegasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur Mia Amiati terkait pencopotan jabatan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Madiun, Andi Irfan Syafruddin, layak diapresiasi sekaligus keberhasilan. Ini nyata langkah konkrit. Fokus pada tindakan tegas terhadap jaksa yang tidak berintegritas di jajarannya. Begitu ada bukti klarifikasi dan fakta hasil pemeriksaan urin bahwa Kepala Kejaksaan Negeri Madiun melakukan pungli dan positif narkoba langsung dicopot dari jabatannya,” kata Azmi Syahputra, Minggu (11/6/20230).

Lanjut Azmi, ini menjadi bukti bahwa pimpinan kejaksaan terus melakukan pengawasan, independent, profesional, dan objekti. Keputusan yang diambil terukur berdasarkan fakta dan bukti atas perbuatan pelaku.

**Baca Juga: Puluhan Anak Muda Adu Vokal di Panggung Singing Contest Indoteen Explore

“Ini kok penegak hukum tidak mau belajar dari kejadian yang pernah terjadi, tidak kapok-kapok. Kepala kejaksaan Negeri Madiun yang baru 4 bulan jabatannya ini melakukan perbuatan yang menyalahgunakan jabatannya. Melakukan hal yang bertentangan dan menciderai nilai luhur Tri Krama Adhyaksa Kejaksaan dimana ia diduga melakukan pungli dan diperparah positif narkoba,” ungkap Azmi.

Azmi bilang, atas perbuatannya tersebut diperlukan tindakan tegas.

“Perilakunya nyata telah berbuat curang termasuk melakukan tindak pidana. Sehingga Pencopotan dan proses pidana tepat dilakukan maka terapkan delik tindak pidana korupsi pemerasan bagi pejabat kejaksaan ini . Hal ini ditujukkan tidak hanya sebagai efek jera, efek edukasi, melainkan juga bertujuan untuk menciptakan aparatur kejaksaan yang bersih serta terjaganya integritas korp adhyaksa dari kejahatan pungli termasuk kejahatan narkotika,” pungkasnya.(Red)