1

Pidato Pembukaan Presiden Jokowi di KTT ASEAN Sangat Bagus

Oleh: Hikmahanto Juwana, Pakar Hukum Internasional

Kabar6-Presiden Jokowi mampu menangkap fenomena geopoltik yang berlangsung dan mengingatkan dampaknya bila menjadi proxy kekuataan besar bahkan sekedar mengekor.

Jadi Presiden Jokowi perlu meneguhkan agar negara-negara ASEAN tdk terombang ambing dengan berbagai kekuatan dunia. Meski tidak disebut oleh Presiden Jokowi, yang dimaksud utamanya tentu AS dan China.

Negara-negara anggota ASEAN diingatkan agar tidak menjadi proxy bagi negara-negara yang berkompetisi di kawasan. Ini tentu untuk mengingatkan agar negara-negara di ASEAN tidak hanya mengekor kekuatan besar.

Oleh karenannya wajar bila Presiden mengingatkan hal ini agar kapal ASEAN tidak pecah.

Ini semua kan fenomena yang terjadi pada saat ini.

**Baca Juga: Keroyok Pelanggan Alfamidi hingga Terluka, Polsek Pondok Aren Buru Tiga Tukang Parkir

ASEAN belakangan sulit mengambil keputusan yang didasarkan pada konsensusa karena tangan-tangan negara besar ada.

AS menggunakan beberapa negara ASEAN utk mempunyai alasan berseteru dengan China. Sebaliknya China memanfaatkan kedekatan dengan negara-negara ASEAN utk kepentingannya, terutama terkait sengketa teritorial.

ASEAN harusnya seperti Indonesia yang menerapkan polurgi (Politik Luar Negeri) bebas aktif. Kita bisa bekerjasama dengan siapa pun kekuatan besar sepanjang untuk kepentingan nasional kita.

Harusnya ASEAN pun demikian. ASEAN bekerjasama dengan siapa pun negara demi kepentingan ASEAN yaitu mensejahterakan rakyat dan menjaga kestabilan dan keamanan kawasan.(*/Red)




Uni Eropa Tidak Fair dan Langgar Hukum

Oleh: Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI
Rektor Universitas Jenderal A. Yani

Kabar-Komisi Uni Eropa telah meluncurkan konsultasi tentang kemungkinan penggunaan Peraturan Penegakan atau Enforcement Regulation terkait banding Indonesia terkait perkara nikel dalam penyelesaian sengketa di Dispute Settlement Body (DSB), WTO.

Dikutip dari situs resminya, Kamis (13/7/2023) kemarin, Peraturan Penegakan Uni Eropa memungkinkan Uni Eropa untuk menegakkan kewajiban internasional yang telah disetujui oleh sesama anggota WTO.

Tindakan Uni Eropa merupakan tindakan tidak fair dan melanggar hukum mengingat putusan DSB belum berkekuatan hukum tetap.

Artinya Indonesia belum dinyatakan kalah oleh DSB mengingat Indonesia sedang mengajukan banding ke Appellate Review, DSB.

Tindakan Uni Eropa ini tidak sesuai dengan Annex 2 dari WTO Agreement yang mengatur hukum acara di DSB. Uni Eropa harusnya menunggu sampai ada putusan Appellate Review yang kemudian putusan tersebut ditetapkan oleh DSB.

**Baca Juga: Peluang Partai Gelora Lolos ke Senayan Terbuka Lebar, Ini Penjelasannya!

Disini terlihat arogan negara-negara Eropa saat kepentingan nasional mereka terancam. Padah negara-negara Eropa yang selalu memberi ceramah kepada banyak negara-negara Asia dan Afrika untuk mematuhi hukum, khususnya hukum internasional.

Ternyata Uni Eropa telah mengembalikan peradaban manusia kembali ke hukum rimba: siapa yang kuat dia yang menang.

Bagi Indonesia tidak ada kata lain selain ‘lawan’ kesemena-menaan Uni Eropa dengan menghentikan segala negosiasi perjanjian perdagangan internasional.

Indonesia harus menyuarakan ketidak-adilan yang ditunjukkan oleh Uni Eropa. Ini merupakan catatan kelam Uni Eropa dalam berhukum. Kepentingan negara telah mengalahkan keberadaan hukum.(*/Red)




Hikmahanto Juwana: Penolakan Timnas Israel Patut Disayangkan 

Kabar6.com

Kabar6-Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, menyampaikan bahwa penolakan Timnas Israel oleh sebagian masyarakat di Indonesia, sejumlah Kepala Daerah maupun politisi patut disayangkan. Penolakan tersebut seolah memandang warga Israel ataupun negara yang diwakilinya sebagai sesuatu yang haram untuk hadir di Indonesia.

“Padahal yang ditentang oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia seharusnya adalah kebijakan pemerintah zionis Israel yang mengambil paksa dan menduduki tanah rakyat Palestina dan mempertahankannya dengan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Itulah yang diamanatkan oleh pembukaan Konstitusi Indonesia bahwa penjajahan harus dihapus dari muka bumi.,” kata Hikmahanto Juwana yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal A. Yani, dalam keterangannya, Senin (27/03/2023).

Menurutnya, bila suatu saat pemerintah Israel sudah mengakui kemerdekaan Negara Palestina dan mengembalikan tanah Palestina kepada rakyat Palestina maka Indonesia pun tidak bisa tidak untuk mengakui negara Israel dan menjalin hubungan diplomatik. Ini karena Israel sudah tidak lagi melakukan penjajahan. Namun bila persepsi mengharamkan negara Israel dan warganya yang dibenarkan berarti sampai kiamat pun Indonesia akan menolak hal yang berbau Israel.

Bila demikian, sambung Hikmahanto Juwana, apakah Indonesia tidak dapat dipersamakan dengan Hitler dengan Nazinya yang hendak menghapus ras Yahudi? Suatu hal yang justru bertentangan dengan hak asasi manusia yang seharusnya tidak berkembang di bumi Indonesia.

**Baca Juga: Selama Ramadan, Mata Pelajaran di Kabupaten Tangerang Dikurangi 10 Menit

“Penolakan timnas Israel untuk bertanding di Indonesia seolah membuat Indonesia lebih Palestina daripada Palestina. Ini mengingat Dubes Palestina untuk Indonesia yang mewakili rakyat dan pemerintah Palestina di Indonesia telah mengatakan tidak mempunyai keberatan bila timnas Israel bertanding di Indonesia. Terlebih lagi penolakan semakin tidak berdasar mengingat tahun lalu (Maret 2022) telah diselenggarakan Sidang Majelis Uni Inter Parlemen (Inter-Parliamentary Union) ke 144 di Nusa Dua Bali yang salah satu delegasi yang hadir adalah Parlemen Israel Knesset,” papar Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana.

Hikmahanto Juwana mempertanyakan, “Lalu apa yang membedakan antara Timnas Israel saat sekarang dengan Parlemen Israel saat itu? Bukankan Indonesia sebagai tuan rumah tidak memiliki kendali atas siapa yang diundang oleh penyelenggara (organizer) event internasional, seperti FIFA ataupun IPU?”

Sepanjang Indonesia telah menyatakan diri bersedia menjadi tuan rumah, kata Hikmahanto Juwana, maka Indonesia harus mengambil risiko untuk tidak menolak siapapun anggota dari penyelenggara event internasional. (Red)




Ini 4 Skenario Pasca Setahun Perang Ukraina

Kabar6-Hikmahanto Juwana yang merupakan Guru Besar Hukum Internasional UI menyebutkan ada empat skenario pasca 1 tahun perang di Ukraina.

“Skenario pertama yaitu salah satu negara kalah dan pimpinan negara menyatakan menyerah. Skenario ini yang membuat Rusia atau Ukraina dengan bantuan NATO akan agresif melakukan serangan besar. Tentu masing-masing pihak akan bertahan sekuat tenaga. Skenario ini membuat perang di Ukraina semakin bereskalasi dan berpotensi meluas,” kata Hikmahanto Juwana yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal A. Yani, melalui rilisnya, Kamis (23/02/2023).

Skenario kedua, sambungnya, terjadi pergantian kepemimpinan apakah di Rusia atau Ukraina dimana pemimpin baru membuat kebijakan utk menghentikan perang. Pergantian ini bisa terjadi secara konstitusional bisa juga inkonstitusional yang melibatkan operasi intelijen.

Selanjutnya skenario ketiga, Zero sum game yg artinya tdk ada negara yg menang. Dalam skenario ini senjata nuklir sangat mungkin berbicara. Dunia secara keseluruhan pun akan terdampak.

**Baca Juga: Partai Gelora akan Sebarkan Semangat Perdagangan Jadi Tradisi di Tengah Masyarakat

Terakhir, skenario keempat adalah upaya menghentikan perang oleh pihak ketiga tanpa membenarkan atau menyalahkan Ukraina atau Rusia. Upaya ini dilakukan oleh negara ketiga demi kemanusiaan dan demi menghindari krisis multidimensional yang akan dihadapi oleh dunia.

“Indonesia sebagai Ketua ASEAN masih relevan untuk berperan dalam skenario ini,” pungkas Hikmahanto Juwana. (Red)




Pengamat Hukum Internasional Tentang Keras Pernyataan PBB terkait KUHP Melanggar HAM

Kabar6-Perwakilan PBB di Indonesia membuat pernyataan terkait disahkannya KUHP baru oleh DPR (Statement on the new Indonesian Criminal Code).

Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, pihaknya menentang keras pernyataan Perwakilan PBB di Indonesia.

Menurutnya pernyataan itu tak patut dikeluarkan oleh perwakilan lembaga tingkat dunia tersebut.

“Pernyataan ini tidak patut dikeluarkan oleh Perwakilan PBB di Indonesia,” ungkap Guru Besar Hukum Internasional UI, melalui keterangan pers yang dikirim ke redaksi Kabar6.com, Jumat (09/12/2022).

**Bac Juga: Jampidum Kejagung Sebut RKUHP Berikan Pengakuan dan Penghormatan untuk Hukum Adat

Ketidakpatutan pernyataan Perwakilan PBB itu, kata dia, cukup beralasan yakni pertama suara PBB yang dapat disuarakan oleh perwakilannya adalah suara dari organ- organ utama PBB seperti Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan HAM, Sekjen PBB, dan organ- organ tambahan.

Hal ini sama sekali bukan suara dari pejabat Perwakilan PBB di Indonesia. Menjadi permasalah apakah pendapat Perwakilan PBB di Indonesia didasarkan pada organ- organ utama atau organ tambahan PBB?.

Kedua, apakah pernyataan dari Perwakilan PBB di Indonesia sudah melalui kajian yang mendalam atas perintah dari Organ Utama dan Organ Tambahan?, seperti misalnya ada special rapporteur (pelapor khusus) yang mendapat mandat dari Organ Utama?.

“Dan ketiga, pernyataan yang disampaikan oleh Perwakilan PBB di Indonesia jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB,” katanya.

Rektor Universitas Jenderal Acymad Yani ini menjelaskan, dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa “Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state”, (Tidak ada hal yang terkandung dalam Piagam ini yang memberikan kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik setiap negara).

Pernyataan Perwakilan PBB terkait KUHP baru seolah memberi kewenangan PBB untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya masuk dalam yurisdiksi domestik negara Indonesia.

“Perwakilan PBB di Indonesia seharusnya menghormati proses demokrasi atas KUHP baru di Indonesia. Perwakilan PBB di Indonesia tidak perlu mengajari apa yang benar dan tidak benar terkait HAM yang cenderung HAM perspektif negara barat,” tegasnya.

Perwakilan PBB di Indonesia, lanjutnya seharusnya memberi ruang yang luas agar publik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yang beropini bila KUHP baru tidak selaras dengan HAM.

Atas pernyataan Perwakilan PBB ini, Kemlu sepatutnya memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia dan bila perlu melakukan persona non grata (pengusiran) pejabat tersebut dari Indonesia.

“Jangan sampai individu yang menduduki jabatan di Perwakilan PBB Indonesia yang sebenarnya petualang politik menciderai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam PBB,” tandasnya.(Tim K6)