1

Kejaksaan Agung Berduka atas Wafatnya Jampidum Fadil Zumhana

Kabar6-Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana berpulang pada Sabtu,(11/5/2024) sebelum meninggal Almarhum menjalani perawatan di rumah sakit selama dua bulan karena sakit.

Berita duka itu dibenarkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumeda.

“Betul (meninggal dunia). Sudah dua bulan almarhum dirawat di RSCM,” kata Ketut, dilansir Antara, Sabtu (11/5/2024)

**Baca Juga:Ungkap Mayat Terbungkus Sarung di Pamulang, Polisi Menyisir CCTV

Terkait sakit yang diderita, Ketut menyampaikan pihaknya belum mendapatkan informasi dari keluarga. Saat ini, kata dia, jenazah sudah berada di rumah duka di Jalan Cenderawasih 2 No. 1A Cipete-Gandaria Selatan, Jakarta Selatan. Rencananya hari ini akan dimakamkan di TPU Poncol-Bekasi. “Akan dimakamkan hari ini di pemakaman Poncol-Bekasi,” kata Ketut.

Ketut menambahkan, Kejaksaan Agung berduka atas wafatnya insan terbaik Korps Adhyaksa.”Kami semua turut berduka dan kehilangan putra terbaik Adhyaksa meninggalkan kami,” kata Ketut.

Kabar duka itu pertama kalinya dibagikan dalam akun resmi Instagram milik Kejaksaan RI, siang tadi.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un telah berpulang Bapak Dr Fadil Zumhana (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum),” tulis akun Kejaksaan RI.

Di akun tersebut, atas nama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin beserta jajaran menyampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya putra terbaik Korps Adhyaksa tersebut.

“Semoga Allah SWT memberikan ampunan dan menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan,” tulis akun tersebut.

Almarhum Jampidum Fadil Zumhana dikenal dikalangan insan Adhyaksa sebagai sosok yang tegas.

Dia juga yang menangani kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua dengan tersangka Irjen Pol. Ferdy Sambo.

Sebelum menjabat sebagai Jampidum, Fadil Zumhana pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Barat (2015).

Sepak terjang Almarhum semasa menjabat sebagai Jampidum dalam catatan akhir tahun 2023, telah menyelesaikan 4.443 perkara melalui mekanisme Restorative Justice atau keadilan rstoratif.

Dengan rincian, tahun 2020 sebanyak 192 perkara disetujui, 44 perkara ditolak; tahun 2021 sebanyak 388 perkara disetujui san 34 ditolak; tahun 2022 sebanyak 1.456 perkara disetujui dan 65 ditolak; serta tahun 2023 sebanyak 2.407 perkara disetujui dan 38 ditolak.

Tidak hanya itu, juga telah dibentuk 4.784 Rumah Restorative Justice dan 111 Balai Rehabilitasi. “Almarhum adalah sosok yang sangat tegas,” ucap salah satu pegawai Kejaksaan Agung.(red)

 




Membangun Keadilan Restoratif Melalui Hukum Pidana 4.0 (Digital Transformation)

Oleh: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana

Kabar6-Hukum Pidana 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional.

Hukum Pidana 4.0 sebagai Hukum Pidana yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Pidana ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global memiliki relevansi substansial dan fundamental dengan konseptual Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. Di dalam sistem Hukum Indonesia, norma dasar negara atau state fundamental norm adalah Pancasila, oleh karenanya penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan Hati Nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu:

Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini sebagaimana pandangan dari seorang Hakim Agung di Inggris, Lord Denning yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Hati Nurani yang melandasi tujuan keadilan hukum ini adalah sebuah postulat bahwa tidak akan tercapainya keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani karena pada hakikatnya keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral dan sumber dari hukum itu sendiri adalah moral.

Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut utility teori dan meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number). Hati Nurani yang melandasi tujuan kemanfaatan hukum ini adalah manakala rasa keadilan mayoritas masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian dengan nominal rendah atau penganiayaan ringan yang nilai kerugiannya minim, untuk tidak dilakukan proses hukum hingga di pengadilan.

**Baca Juga: Kejari Tangsel Berikan ‘Restoratif Justice’ Ketiga Tersangka Gadaian Motor

Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.

Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global, namun hal yang kiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum. Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis. Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat. Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.

Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara, kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

Penerapan keadilan restoratif telah dilakukan institusi Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Semenjak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif sampai tanggal 3 Mei 2023, Kejaksaan RI telah menghentikan sedikitnya 2654 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Kedua peraturan tersebut menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana. Melalui Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini, akhirnya penerapan keadilan restoratif dapat menjangkau seluruh lapisan usia dan secara nyata telah menjadikan hukum untuk manusia. Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum. Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani.

Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.

Sebagai informasi, hingga 11 Juli 2023, sebanyak 3.121 perkara telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan sejak diterbitkannya Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.(*/Red)




3 Tersangka Pengguna Narkotika Direhabilitasi

Kabar6-Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 3 dari 5 permohonan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restorative.

Hal itu disampaikan JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana, melalui rilis resmi Kejaksaan Agung yang diterima Kabar6, Selasa (28/02/2023).

Adapun nama ketiga tersangka, yaitu:

  1. Tersangka Dedy Muhajir, ST alias Dedy bin H. Anshar dari Kejaksaan Negeri Barru yang disangka melanggar Pasal 114 Ayat (1) Subsidair Pasal 112 Ayat (1) Subsidair Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  2. Tersangka Ahmadirsad Pgl SI IR dari Kejaksaan Negeri Pasaman yang disangka melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  3. Tersangka Alfauzan Putra Pgl Fauzan dari Kejaksaan Negeri Pasaman yang disangka melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Fadil menjelaskan alasan JAM-Pidum menyetujui 3 pengajuan restorative Justice kasus narkotika, antara lain karena tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user).

“Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, ketiga tersangka tersebut positif menggunakan narkotika. Selanjutnya, berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir,” kata Fadil.

Fadil menjelaskan bahwa ketiga Tersangka ditangkap atau tertangkap tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu hari. Berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalah guna narkotika.

“Ketiga Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali, yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang.  Ada surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya,” papar Fadil.

**Baca Juga: Dua Saksi Peredaran Narkoba Diperiksa

Sementara berkas perkara atas nama 2 orang Tersangka lainnya tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan sebab tindak pidana yang telah dilakukan oleh kedua Tersangka bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa, yakni keduanya pernah dihukum (residivis).

Nama kedua tersangka yaitu:

  1. Tersangka Ilham Hidayat Pgl Dayat alias Koyaik dari Kejaksaan Negeri Pasaman yang disangka melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  2. Tersangka Boyke Mahendra Pgl Boy dari Kejaksaan Negeri Pasaman yang disangka melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

“Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif berdasarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa,” tutup Fadil. (Red)