1

Selama Pandemi COVID-19, Pengguna Softlens Disarankan Memakai Kacamata

Kabar6-Ahli kesehatan tidak menyarankan Anda menggunakan softlens selama pandemi COVID-19. American Academy of Ophthalmology (AAO) menyarankan para pengguna softlens untuk sementara waktu beralih memakai kacamata demi kesehatan.

“Pertimbangkan untuk menggunakan kacamata lebih sering, terutama jika Anda cenderung sering menyentuh mata,” jelas Sonal Tuli, M.D., ahli oftalmologi sekaligus juru bicara AAO.

Menurut Sonal, melansir tempo.co, beralih ke kacamata bisa mengurangi iritasi dan memaksa Anda untuk berhenti menyentuh mata.

Senada, ahli oftalmologi dari Golden Gate Eye Associates di Pacific Vision Eye Institute, Amerika Serikat, bernama Kevin Lee, M.D., mengatakan telah merekomendasikan pasien pengguna softlens untuk menghindari memakainya sesering mungkin saat ini.

Menurut ahli oftalmologi pediatrik, Rupa Wong, M.D., orang yang memakai softlens cenderung lebih banyak menyentuh mata mereka, dan ini bisa membuat mereka lebih berisiko terkena infeksi mata.

“Mereka berisiko lebih tinggi terkena infeksi kornea dan konjungtivitis karena bakteri, parasit, virus, dan jamur,” kata Wong. ** Baca juga: Perhatikan Cara Membuang Masker Bekas Pakai yang Benar

Anjuran ini terutama untuk mereka yang tidak mempraktikkan higienis seperti tidur masih memakai softlens, tidak membersihkan softlens dengan benar, tidak mencuci tangan atau tidak memperhatikan masa pakai softlens mereka.

Kacamata setidaknya bisa melindungi mata Anda dari droplet atau tetesan air dari bersin atau batuk orang yang terinfeksi SARS CoV-2. Walau memang, partikel virus masih bisa memasuki mata melalui sisi, bawah, atau atas kacamata.

“Itu sebabnya petugas kesehatan harus mengenakan pelindung wajah penuh saat merawat pasien COVID-19,” tambah Lee.(ilj/bbs)




Ini Dua Masa COVID-19 Paling Mudah Menular

Kabar6-Dunia saat ini tengah berduka. Hanya dalam hitungan bulan, pandemi COVID-19 telah menjangkiti 955.099 orang dengan 48.569 kasus kematian di 203 negara.

Seorang doktor di bidang biologi molekuler dari Harvard University bernama Daisy Robinton, melansir Republika, mengungkapkan bahwa ada dua masa di mana penderita COVID-19 paling mudah menularkan penyakitnya ke orang lain. Kedua masa itu adalah, ketika pasien terinfeksi belum menunjukkan gejala, dan pada saat satu pekan pertama penyakit terjadi. “Inilah kenapa jaga jarak fisik sangat penting,” jelas Robinton.

Diungkapkan, sepertiga dari total transmisi yang terjadi di Amerika Serikat berasal dari orang-orang pra-simptomatik, yaitu orang-orang yang sudah terinfeksi dan tak menunjukkan gejala pada saat menularkan penyakit ke orang lain. Mereka baru jatuh sakit dan mengalami gejala beberapa waktu kemudian.

Sebagian besar orang, disebutkan Robinton, baru mengalami gejala setelah lima hari pascaterinfeksi. Sebagian lainnya baru mengalami gejala setelah 14 hari setelah terinfeksi atau bahkan lebih lama lagi. “Tapi virus (SARS-CoV-2) terus mereplikasi diri dan orang yang terinfeksi menjadi mudah menularkan di masa ini,” katanya.

Kondisi ini justru berbahaya karena orang yang terinfeksi tidak sadar bahwa dia sedang menularkan virus ke orang lain atau mengontaminasi permukaan objek tertentu melalui droplet (percikan liurnya). Karena itulah dikatakan Robinton, akan jauh lebih aman bila setiap orang berasumsi bahwa dirinya pernah terpapar oleh virus penyebab COVID-19.

Karena dengan asumsi seperti ini, orang-orang akan lebih menjaga diri dalam berinteraksi untuk mencegah terjadinya penularan. Terlebih, penularan COVID-19 lebih banyak terjadi melalui penyebaran komunitas dan paling sering terjadi di rumah atau tempat-tempat seperti swalayan dan rumah sakit.

Diingatkan Robinton, bukan hanya lansia yang berisiko tertular COVID-19. Orang-orang berusia muda dan bugar juga bisa tertular. Robinton pun positif terinfeksi COVID-19 meski masih berusia 33 tahun dan memiliki fisik yang sehat serta bugar. ** Baca juga: Ada Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Berjemur di Bawah Sinar Matahari

Awalnya, dikatakan Robinton, dia hanya merasakan kelelahan ringan. Namun dalam 10 hari, kondisi ini lambat laun berkembang menjadi gejala yang lebih berat. Robinton mulai merasakan kesulitan untuk bernapas sebagai pertanda COVID-19. “Demam terjadi dan saya mulai merasakan sakit kepala dan nyeri di badan yang membuat saya merasa sangat tidak nyaman.”

Robinton mengatakan, di Amerika Serikat pasien berusia 20-29 tahun yang positif COVID-19 memang tidak banyak. Kisarannya tidak sampai satu persen. Namun ini menunjukkan bahwa kasus COVID-19 juga tetap ditemukan pada orang yang berusia muda. “Bukan angka yang besar, tapi ini juga bukan nol,” katanya lagi.(ilj/bbs)




Hati-hati, Semprotkan Disinfektan ke Seluruh Tubuh Bisa Bahayakan Kesehatan

Kabar6-Saat ini sudah banyak terdapat bilik disinfektan, baik yang disediakan oleh pemerintah setempat maupun sumbangan dari masyarakat. Cara penyemprotannya pun bermacam-macam, ada yang secara mandiri atau masuk ke kotak sebelum masuk ruangan.

Meskipun merupakan salah satu cara untuk menghindari penularan COVID-19, di satu sisi muncul pertanyaan, apakah disinfektan boleh disemprotkan ke sekujur tubuh manusia? Melansir Okezone, penyemprotan disinfektan pada tubuh manusia kemungkinan memiliki dampak negatif.

Rekomendasi yang diberikan oleh WHO adalah disinfektan dan kebersihan lingkungan, bukan disinfeksi pada orang secara langsung. Selain itu, penyemprotan disinfektan terlalu sering bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan harus dihindari.

Menyemprot alkohol atau klorin disebutkan tidak akan menghilangkan virus yang sudah masuk ke tubuh. Penyemprotan alkohol atau klorin berbahaya untuk mukosa mulut, hidung dan mata.

Sebaiknya, bahan ini digunakan untuk membersihkan permukaan peralatan benda-benda rumah tangga atau kantor yang rentan menjadi salah satu media sumber penularan.

Disebutkan, virus bisa tertular langsung dari orang yang bicara keras, batuk atau bersin di depan kita dalam jarak satu meter. ** Baca juga: Tidak Asal Cuci Tangan, Ada 7 Hal yang Harus Diperhatikan

Selain itu, secara tidak langsung jika droplet (percikan cairan tubuh yang keluar saat bersin atau batuk) yang mengandung virus tersebut jatuh ke meja, sakelar lampu, gagang telepon, gagang pintu atau, atau lokasi yang biasa disentuh orang, maka hal ini juga bisa jadi sumber penularan.(ilj/bbs)