Sri Mulyani dan Tim Ekonominya Belum Hasilkan Lompatan Pertumbuhan, Perlu Sosok yang Lebih Kreatif dan Out of the Box

Sri Mulyani

Kabar6 – Sri Mulyani Indrawati telah menjadi salah satu sosok ekonom selebritis di dalam pengelolaan ekonomi Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir. Pengalamannya yang mendalam di dunia internasional, termasuk di Bank Dunia, sering kali dijadikan alasan kuat untuk mempertahankannya sebagai Menteri Keuangan.

Meskipun berhasil menjaga stabilitas ekonomi selama masa-masa sulit, seperti krisis keuangan global dan pandemi COVID-19, kinerja Sri Mulyani dan tim ekonominya tidak menunjukkan keberhasilan dalam mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dekade terakhir berkisar pada rata-rata 5%, jauh di bawah target ambisius yang dibutuhkan untuk membawa Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Lebih dari itu, kebijakan fiskal yang diterapkan di bawah Sri Mulyani seringkali terlalu fokus pada stabilitas dan infrastruktur besar-besaran, tetapi gagal menghasilkan imbal hasil tinggi. Proyek-proyek besar seperti pemindahan ibu kota negara (IKN) justru menciptakan beban keuangan yang berat, dengan utang yang terus meningkat tanpa diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Infrastruktur Besar-Besaran dengan Imbal Hasil Rendah

Salah satu kritik terbesar terhadap kepemimpinan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan adalah kebijakan fiskal yang terlalu fokus pada proyek infrastruktur besar-besaran, namun tidak menghasilkan imbal hasil yang memadai. Sebagai contoh, proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) telah menyerap anggaran yang sangat besar.

** Baca Juga: Datang ke Panongan, Maesyal Rasyid Bersama Dimyati Paparkan Program Prioritas

Meski diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan daya saing, sampai saat ini proyek tersebut belum menunjukkan tanda-tanda memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Selain itu, berbagai proyek infrastruktur lainnya, seperti jalan tol dan bandara, meskipun meningkatkan konektivitas, masih belum memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Masalah ini diperparah dengan beban utang yang terus meningkat untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur ini.

Dalam jangka panjang, utang yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan dan pendapatan negara hanya akan memperburuk kondisi fiskal. Beban pembayaran utang yang besar akan mengurangi kemampuan negara untuk berinvestasi di sektor-sektor lain yang mungkin lebih produktif, seperti teknologi, pendidikan, dan kesehatan.

Kurangnya Fokus pada Investasi yang Produktif

Di era disrupsi teknologi dan transformasi ekonomi global, negara-negara yang ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus mampu menggerakkan sektor-sektor inovatif seperti teknologi informasi, ekonomi digital, dan energi terbarukan.

Namun, kebijakan fiskal Sri Mulyani selama ini cenderung kurang fokus pada sektor-sektor tersebut. Investasi besar-besaran pada infrastruktur fisik belum mampu mendorong produktivitas ekonomi secara signifikan.

** Baca Juga: Nasaruddin Umar: Masjid Istiqlal Menuju Mercusuar Islam di Asia Tenggara

Transformasi digital, misalnya, sangat diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan produktivitas dan inovasi di berbagai sektor. Ekonomi digital bisa menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan di masa depan, namun tanpa kebijakan fiskal yang mendukung, potensi sektor ini akan sulit terealisasi.

Kebijakan Sri Mulyani yang lebih fokus pada penyeimbangan anggaran dan stabilitas fiskal justru menghambat ekspansi yang lebih besar di bidang pengembangan SDM, inovasi dan teknologi.

Selain itu, sektor energi terbarukan yang dapat menjadi motor pertumbuhan baru di tengah transisi global menuju ekonomi rendah karbon juga belum mendapatkan perhatian yang memadai. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum ini dengan mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi besar-besaran di sektor energi terbarukan.

Sayangnya, hingga kini, kebijakan fiskal di sektor ini masih terbatas, dan belum ada strategi yang jelas untuk mengintegrasikan transisi energi ke dalam perekonomian nasional.

Utang yang Meningkat Tanpa Imbal Hasil yang Setara

Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, utang pemerintah terus meningkat. Meskipun utang ini diklaim sebagai langkah strategis untuk membiayai pembangunan, kenyataannya peningkatan utang ini tidak diiringi dengan peningkatan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi atau penerimaan negara.

Bahkan, banyak proyek infrastruktur besar yang tidak memberikan imbal hasil yang sepadan, sehingga meningkatkan risiko fiskal jangka panjang. Nilai ICOR yang meningkat menunjukan setiap investasi asing masuk tidak begitu menggembirakan dalam menopang pertumbuhan ekonomi.

** Baca Juga: Ombudsman Banten Temukan SMA Kelebihan Kapasitas pada PPDB 2024

Utang yang diambil untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur seperti IKN dan proyek jalan tol, meskipun dianggap sebagai investasi masa depan, belum terbukti mampu meningkatkan produktivitas ekonomi dalam jangka pendek. Imbal hasil rendah dari proyek-proyek ini menjadi catatan besar terhadap kebijakan fiskal yang diambil oleh Sri Mulyani.

Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan tidak sepenuhnya efektif dalam mendorong pertumbuhan yang lebih cepat dan inklusif.

Sementara itu, pembayaran bunga utang yang terus meningkat menjadi beban besar bagi anggaran negara. Dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, utang ini hanya akan menambah tekanan fiskal dan mengurangi fleksibilitas pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis lainnya.

Kesenjangan Sosial yang Kian Melebar

Di samping masalah utang dan infrastruktur, kesenjangan sosial yang terus melebar juga menjadi masalah besar di bawah kepemimpinan Sri Mulyani. Meskipun berbagai program sosial telah diluncurkan, faktanya kesenjangan pendapatan dan ketimpangan akses terhadap layanan publik masih sangat nyata di Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan belum mampu menciptakan pertumbuhan yang inklusif.

Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, kebijakan fiskal harus dirancang agar lebih inklusif, dengan menempatkan redistribusi kekayaan dan akses yang lebih luas ke layanan dasar sebagai prioritas.

Sri Mulyani belum mampu menghadirkan kebijakan yang bisa menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan secara efektif. Program-program sosial yang ada saat ini hanya bersifat tambal sulam, tanpa ada strategi jangka panjang yang jelas untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan.

Perlu Sosok yang Lebih Kreatif dan Berani

Indonesia saat ini berada pada titik krusial, di mana tantangan ekonomi semakin kompleks dan membutuhkan solusi yang out of the box. Untuk mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi yang kreatif, berani mengambil risiko, dan mampu melihat peluang di tengah tantangan. Kebijakan fiskal yang hanya berfokus pada stabilitas dan pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa hasil yang jelas tidak akan cukup.

Sosok baru di posisi Menteri Keuangan harus mampu merombak kebijakan fiskal dengan lebih berani, fokus pada investasi di sektor-sektor masa depan seperti ekonomi digital, energi terbarukan, dan inovasi teknologi.

Reformasi fiskal yang progresif, yang tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan yang lebih cepat dan inklusif, adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

Selain itu, pemimpin baru juga harus mampu mendesain kebijakan yang lebih mendukung transformasi ekonomi hijau dan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Ini adalah kesempatan besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi global yang semakin berfokus pada keberlanjutan.

Untuk itu, dibutuhkan kebijakan fiskal yang agresif dalam mendorong investasi di sektor ini, bukan hanya mengandalkan stabilitas yang sudah ada.

Sri Mulyani mungkin telah berhasil menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di masa-masa sulit, tetapi dalam konteks kebutuhan untuk mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi 8%, pendekatan konservatif yang ia terapkan tidak lagi memadai. Infrastruktur besar-besaran yang diinisiasinya, seperti IKN, hanya menambah beban utang tanpa imbal hasil yang tinggi. Indonesia membutuhkan sosok baru yang lebih kreatif, berani mengambil risiko, dan mampu merancang kebijakan fiskal yang inovatif dan proaktif.

Dengan demikian, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan merata, sudah saatnya memberikan kesempatan kepada pemimpin ekonomi baru yang bisa membawa Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.(Achmad Nur Hidayat,Ekonom UPN Veteran Jakarta)