oleh

Silent Tsunami Selat Sunda dan Evaluasinya

image_pdfimage_print

Kabar6-Runtuhnya sebagian besar tubuh Gunung Anak Krakatau (GAK), menimbulkan Tsunami Senyap pada 22 Desember 2018. Akibatnya, 351 jiwa meninggal dunia, 675 orang luka-luka, 7000 lebih warga harus mengungsi, serta meluluhlantakkan lebih dari seribu rumah dan ratusan fasilitas publik.

Tsunami senyap itu membuka mata masyarakat luas akan pentingnya mitigasi dan manajemen kebencanaan. Terlebih, potensi gempa Sunda Megatrush di Selatan Jawa, termasuk Banten. Penanganan pra, saat dan pasca bencana Tsunami Selat Sunda pun di evaluasi. Salah satu catatannya yakni komunikasi.

Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi kebencanaan pun dilakukan oleh Basarnas. Setidaknya, setiap individu bisa menyelamatkan diri sendiri, guna mengurangi korban jiwa.

“Ada yang mengatakan bahwa saat terjadi bencana masih bingung kemana harus melapor, komunikasi ini yang masih harus kita harus jalin lebih dalam lagi,” kata Zaenal Arifin, Kepala Basarnas Banten, ditemui usai evaluasi dan catatan penanganan Tsunami Selat Sunda di Kota Cilegon, Banten, Senin (2/9/2019).

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Banten M. Juhriyadi mengatakan pihaknya saat ini tengah membangun kesiapsiagaan masyarakat Banten, terlebih di daerah-daerah yang berpotensi besar terdampak bencana.

Sebagai upaya mengatasi potensi bencana tsunami terutama di Wilayah Pandeglang yang bisa saja terjadi entah karena pergeseran lempeng maupun erupsi Gunung Krakatau, pihaknya akan menggencarkan edukasi masyarakat untuk menyiapkan masyarakat pada potensi gempa yang hingga saat ini belum ada alat untuk memprediksi waktu kejadiannya secara tepat.

Bencana tsunami yang terjadi di wilayahnya pada tahun lalu, menurutnya membuka fakta yang telah lama diungkap banyak peneliti. Juhriyadi menjelaskan bahwa fenomena tsunami yang biasanya diawali oleh gempa, ternyata tsunami pada Desember lalu ini justru diakibatkan oleh erupsi gunung yang sebenarnya setelah dikaji, fenomena ini telah 12 kali terjadi yang dimulai pada tahun 461 masehi.

“Saat ini yang paling mendesak sebagai hasil evaluasi dari bencana tsunami kemarin, pertama adalah membangun kesiapsiagaan masyarakat atas bencana. Kedua, menyiapkan tempat evakuasi sementara dan membangun jalur evakuasi. Ketiga, membuat rambu-rambu evakuasi. Keempat, pemerintah daerah perlu memetakan zona rawan tsunami,” terang M. Juhriyadi usai melakukan paparan dalam kegiatan evaluasi pelaksanaan operasi SAR Tsunami Selat Sunda ditempat yang sama, Senin (2/9/2019).

Sementara Pakar Gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano mengatakan bahwa mitigasi bencana saat ini lebih fokus menjadikan masyarakat sebagai objek yang harus dievaluasi. Padahal, menurut Irwan Meilano, Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan saat ini masih minim terkait wawasan mitigasi bencana.

“Megathrust itu potensi rill, yang menjadi persoalan sekarang adalah terkait mitigasi bencananya. Sekarang ini lebih banyak menitik beratkan kepada masyarakat, padahal sebenarnya Pemerintah daerah juga masih minim edukasi terkait mitigasi bencana,” jels Pakar Gempa Intitut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, ditempat yang sama, Senin (2/9/2019).

**Baca juga: Mafia Narkoba Berharta Rp28,3 T, Bebas Gunakan Handphone di Lapas Cilegon.

Wawasan mitigasi bencana yang masih minim pada pemerintah daerah di banyak tempat saat ini menurutnya adalah terkait konsep tata ruang yang tahan terhadap bencana. Dirinya menilai saat ini banyak daerah yang belum serius mewujudkan tata ruang yang dapat mengurangi resiko bencana, seperti penegasan aturan bangunan di pesisir yang biasanya hanya menyalahkan masyarakat.

Pembangunan rumah yang mempunyai ketahanan khususnya pada bencana gempa juga dinilai belum menjadi perhatian Pemda. Lagi-lagi persoalan seperti ini menurutnya diserahkan kepada masyarakat.

“Masyarakat memang harus paham tentang mitigasi bencana, tapi yang saya tahu dimana-mana upaya pengurangan resiko itu sifatnya top-down atau dari pemangku kebijakan di atas kepada masyarakat di bawah. Jadi menempatkan masyarakat sebagai objek saja itu tidak tepat,” terangnya.(Dhi)

Print Friendly, PDF & Email