oleh

Shito, Petani Jepang yang Bercocok Tanam di Tengah Bandara Narita

image_pdfimage_print

Kabar6-Jika biasanya sawah serta ladang berada di hamparan tanah luas jauh dari hiruk pikuk atau keramaian, seorang petani di Jepang bernama Takao Shito justru mempunyai sawah di tengah bandara terbesar kedua Jepang.

Takao hidup dengan bercocok tanam di lahan keluarga yang sama selama 100 tahun lamanya, profesi itu dirintis oleh sang kakek dan turun ke ayahnya. Hal yang unik, melansir BBC, Takao juga menggunakan pakaian kebesaran yang dipakai sejak zaman kakeknya. Takao masih menjaga tradisi keluarga hingga saat ini.

Namun, kondisi yang dialaminya saat ini cukup berbeda dengan leluhurnya. Dahulu, sawah keluarganya merupakan satu dari bagian desa yang dihuni oleh 30 keluarga petani. Kini, sawah milik Takao menjadi satu-satunya yang bertahan di tengah Bandara Narita.

Ya, akibat pembangunan Bandara Narita, satu per satu keluarga petani di desa Takao mulai pergi. Hanya tersisa keluarga Takao yang tetap setia menjaga sawah keluarganya.

Meskipun tanah milik Takao sudah ditawar hingga Rp14,7 miliar, pria itu tetap teguh pada pendiriannya. Alhasil, sejumlah tantangan dihadapinya. Untuk mencapai sawah keluarga yang terletak di tengah Bandara Narita, Takao harus mengaksesnya melalui lorong bawah tanah yang berada di bawah landasan pesawat menuju sawahnya.

Belum lagi suara bising pesawat yang hilir mudik di kiri kanannya. “Ini adalah sawah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir 100 tahun, oleh kakek, ayah dan saya sendiri. Saya ingin tetap tinggal di sini dan bertani,” kata Takao.

Ayah Takao yang bernama Toichi, merupakan salah satu petani yang aktif menolak perpanjangan Bandara Narita sejak 1970 silam. Namun, mayoritas petani tetangganya berhasil diyakinkan untuk menjual lahan mereka.

Keteguhan ayahnya itu akhirnya menginspirasi Takao yang keluar dari pekerjaannya di restoran untuk kembali mengurus sawah keluarga dan meneruskan perjuangan sang ayah.

Semenjak memilih meneruskan perjuangan sang ayah, Takao telah berulangkali menghadapi ancaman pemindahan. Namun, tekad Takao tidak mengendur. Kehadirannya sendiri telah menjadi simbol dari masyarakat sipil yang mendapat dukungan dari banyak aktivis.

“Saya mendapat tawaran uang dengan syarat pergi meninggalkan sawahku. Mereka menawarkan 180 juta Yen atau setara dengan pendapatan petani selama 150 tahun. Saya tak tertarik dengan uang, saya ingin terus lanjut bertani. Saya tak pernah memilih pergi,” tegas Takao. ** Baca juga: Keberangkatan Kereta Tujuan London Tertunda Gara-gara Rambut Penumpang Terjepit di Pintu Masuk

Seperti diketahui, rute landasan pesawat bandara Narita tidak lurus, melainkan zig-zag menghindari sawah milik Takao. Dan hingga kini, Takao masih memilih bertahan serta menggarap sawahnya di tengah Bandara Narita. Takao sendiri hidup dengan menjual produk hasil sawah ke sekira 400 pelanggannya.(ilj/bbs)

Print Friendly, PDF & Email