oleh

Muslim Artifisial

image_pdfimage_print

Sejak pulang menunaikan ibadah haji, si pegawai kelas menengah yang kariernya tergolong sukses, tak pernah mau lagi dipanggil oleh teman sekantor dan tetangganya dengan panggilan nama seperti biasanya, Pak Bro.Tapi semua orang diminta untuk menyapa dirinya dengan panggilan ‘Pak Haji’.

Dengan panggilan seperti itu Pak Bro merasa berbunga-bunga, karena paling tidak dengan panggilan baru itu, citra dan kapasitasnya sebagai seorang muslim meningkat secara otomatis beberapa kali lipat.

Karena sudah menyandang gelar Pak Haji, maka setiap sore setelah pulang kantor, dia selalu merapikan diri dengan mengenakan baju koko dilengkapi dengan peci bunder berwarna putih di bahagian kepala, sedang di bahagian leher dibalutkan sorban khas Palestina. 

Tampilan seperti ini menurutnya penting, minimal untuk menjelaskan secara eksplisit kepada tetangga atau siapa saja yang berpapasan dengannya, bahwa dia adalah muslim taat, dan muslim taat itu penampilannya harus begini. Meskipun dia tak tahu bahwa baju koko itu tak ada hubungannya muslim, karena nama aslinya tuikim yang biasa dikenakan si engkoh, dan hingga sekarang baju kok itu belum pernah menyatakan diri masuk Islam.

Penampilan fisik memang menjadi bahagian penting dari pencitraan diri, meskipun dari lima rukan Islam yang dikerjakan baru dua saja, yakni rukan pertama mengucap dua kalimat shadat dan rukun kelima pergi haji. Rukun-rukun yang lain, lewat semua, toh orang lain tidak bisa melihat, minimal secara kasat mata. Dalam kebudayaan kontemporer yang begini ini disebut sebagai pseudo reality.

Dalam hal tindak tanduk pun sebenarnya tidak banyak menunjukkan perubahan dari ketika masih dipanggil dengan Pak Bro dengan sekarang. Di kantor kalau ada pekerjaan yang bisa dicaloin, tetap dicaloin seperti biasa.Kalau ada penyusunan anggaran yang nominalnya bisa di mark up tetap saja di mark up. Kalau ada lelang sedang digelar, masih tetap mencari orang yang mau kasih komisi, dan akan dijadikan pemenang.

Di rumah, bila ada pengemis yang mampir di pintu pagar rumahnya, masih tetap diberi jawaban:’’ maaf ya lain kali saja’’. Bahkan sekelas tromol masjid yang selalu diiderin bila sholat Jum’at, si Pak Haji tetap merasa cukup menebar senyum, alasannya :’’ kan senyum itu sedekah, jadi sudah oke kan.

Jadi apa bedanya ketika kamu dipanggil Pak Bro dengan saat ini dipanggil Pak Haji,” Kan saya jadi lebih sering pake baju koko, pakai peci putih dan sorban.(*)

Print Friendly, PDF & Email