oleh

Misscommunication di Balaikota

image_pdfimage_print

Kabar6-Proses komunikasi terjadi jika ada pesan berupa isi pernyataan disampaikan oleh penyampai pesan (komunikator) dan diterima oleh penerima pesan (komunikan). Dalam Pengantar Ilmu Komunikasi, Drs. A. M. Hoeta Soehoet mengatakan di kehidupan sosial, ada kalanya manusia mengalami kegagalan dalam proses komunikasi. Kegagalan ini dibagi menjadi dua yakni Misscommunication dan Missunderstanding.

Misscommunication merupakan kegagalan komunikasi yang terjadi karena faktor jasmaniah yang terdiri dari panca indra, organ tubuh dan anggota tubuh. Biasanya misscomunication terjadi bila komunikan sebagai penerima pesan tidak menerima pesan dengan baik lantaran faktor jasmaniah.

Kalau definisi missunderstanding nanti dulu ya, karena sebenarnya saya bukan mau membahas panjang lebar soal ilmu komunikasi di sini. Butuh kuliah lima tahun lebih bagi saya untuk membahas teori ilmu komunikasi dari A sampai Z di Kampus Tercinta, IISIP Jakarta. Tapi, saya lebih tertarik dengan istilah misscommunication yang ramai diperbincangkan baru-baru ini. Kabar yang ramai diberitakan, misscommunication ini berujung pada perusakan fasilitas negara di Kota Tangsel.

Apa hubungannya misscommunication dengan perusakan fasilitas negara? Bisa ada, bisa juga enggak ada hubungan yang relevan. Lantaran disinyalir ada ‘faktor lain’ di balik kemarahan pelaku hingga berujung pada perusakan fasilitas negara, bahasa misscommunication jadi statement berkelas di isi berita. Padahal pemahamannya mungkin enggak jauh beda sama istilah ‘gagal paham’.

Jika berkaca ke belakang, pada Mei 2015 lalu, pelaku perusakan fasiltas umum yakni bangku baru di Jalan Asia Afrika, Bandung dihukum oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil. Hukumannya menurut saya terbilang unik. Kedua pelaku yakni Fadillah Simeray dan Kusnadi dihukum push up 60 kali, ngepel trotoar di sekitar Jalan Asia Afrika dan diminta memposting foto atau tulisan dengan tema cinta Bandung selama 30 hari berturut-turut.

Yang patut diapresiasi dari kasus bangku ini bukan hukuman yang dijalani kedua pelaku. Tapi, keberanian kedua pelaku untuk meminta maaf sekaligus mengaku sebagai pelaku perusak bangku baru di Asia Afrika Carnival. Fadillah dan Kusnadi sadar ikut merusak bangku yang merupakan fasilitas umum di Jalan Asia Afrika. Kedua pelaku terdorong untuk minta maaf setelah muncul komentar negatif dari para netizen saat pelaku memposting foto sedang ‘selfie’ sambil berdiri di bangku baru tersebut. Walau notabenenya tidak sengaja melakukan perusakan, langkah Fadillah dan Kusnadi untuk meminta maaf merupakan contoh warga yang cinta kotanya sendiri.

Itu salahsatu kasus bahwa perusakan fasilitas negara tidak hanya berujung pada ancaman pidana. Walau kita sama-sama melihat bahwa motif Fadilah dan Kusnadi ini berbeda dengan motif pelaku perusak fasilitas negara di Kota Tangsel. Motif Fadilah yang ingin ‘selfie’ dengan kasus perusakan fasilitas negara di Tangsel yang indikasinya ada ‘faktor lain’ ya jelas beda lah guys.

Perusakan fasilitas negara dan fasilitas umum tentu ada konsekuensinya. Konsekuensi itu sudah dijalani oleh Fadillah dan Kusnadi. Soal konsekuensi yang arahnya ke ancaman pidana biarlah diurus oleh aparat penegak hukum. Ada pasalnya juga yang bakal menjerat pelaku perusakan. Namun, di sisi lain, musyawarah jadi jalan yang diharapkan sebagian masyarakat dalam menyikapi masalah perusakan fasilitas negara di Tangsel. Dukungan ke arah musyawarah pun sudah digalang. 

Demokrasi di Indonesia selalu setuju dengan konsep musyawarah untuk mufakat. Cocok dengan nilai kearifan lokal yang sudah jadi bagian dari budaya masyarakat Tangsel. Ya harus digarisbawahi juga, berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Karena, kearifan lokal budaya masyarakat di Kota Tangsel ini bakal lengkap jika keberanian yang ditunjukan Fadillah dan Kusnadi jadi satu contoh bagi warga di kota yang baru berusia delapan tahun ini.(Azhar Ferdian)

Print Friendly, PDF & Email