oleh

Kritik Politisasi Birokrasi di Pandeglang

image_pdfimage_print

Kabar6-Pernyataan Achmad Dimyati Natakusumah, mantan bupati Pandeglang dua periode yang juga suami Bupati Pandeglang saat ini Irna Narulita ketika menanggapi penggunaan mobil dinas Pemkab Pandeglang mengundang polemik.

Ada beberapa diksi yang digunakan Dimyati saat memberikan keterangan kepada wartawan, seperti sebagai ‘tokoh’, ‘suami bupati’, dan ‘apa juga boleh’.

Pernyataan tersebut menurut penulis ‘menggambarkan’ betapa sulitnya memisahkan posisi seorang publik figur antara sebagai suami kepala daerah dan sebagai DPR-RI, itulah sebenarnya hal-hal yang menyebabkan terjadinya prektek politisasi birokrasi.

Problem ini sebenarnya sudah ada sejak otonomi daerah pada 2005, figur sosok kepala daerah sulit dipisahkan antara posisinya sebagai kepala pemerintahan di daerah setempat dan juga posisi-posisinya yang lainnya.

Kalau saya menyebut, pernyataan Dimyati adalah perilaku subyektif. Perilaku subyektif tentu akan mendapat kritikan tajam dari publik. Misal: Dimyati sebagai “Tokoh” harusnya menunjukkan perilaku obyektif, namun kepentingan politik memaksa Dimyati untuk subyektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Dimyati telah terang-terangan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Dimyati menggunakan mobil dinas untuk menuju daerah kampanye “politik”nya. Dan pada saat itu, Dimyati didampingi oleh beberapa OPD terkait. Inilah yang disebut problem itu.

Perilaku subyektif juga akan mengindikasikan secara langsung mengarahkan massa dan kekuatan-kekuatan lain untuk mendukung kepentingan politik mereka masing-masing.

Bahkan di antara perilaku subyektif tidak segan-segan menginstruksikan birokrasi ASN, para Camat, para Lurah, dan Kepala Desa untuk mendukung penuh kepentingan politik mereka.

Perilaku subyektif adalah praktek politisasi birokrasi itu sendiri, menempatkan agenda politik sebagai agenda penting dari pada agenda profesional kelembagaannya. Perilaku subyektif lebih memikirkan kepentingan politik pribadi dan partai daripada kepentingan negara dan rakyat.

Politisasi birokrasi kerap dilakukan incumbent untuk mengintervensi birokrasi melalui program, kegiatan, dan mobilisasi ASN. Salah satunya melalui penempatan jabatan seperti mutasi, demosi, dan promosi.

Bentuk politisasi birokrasi lain yang sering digunakan adalah pemanfaatan program dan anggaran. Penggunaan dana publik melalui dana hibah dan bantuan sosial kerap dimanfaatkan incumbent untuk kampanye.

Politisasi birokrasi kerap juga dilakukan kepala daerah dalam menggunakan kekuasaannya yang ‘selalu’ mengetes loyalitas struktur di bawahnya.

Bila dinilai Sekda atau kepala dinas dinilai tidak loyal, kepala daerah bisa saja mencopot atau memutasi para pejabat tersebut.

Tak bisa dipungkiri, praktik memobilisasi massa atau ASN adalah melalui rangkaian kebijakan. Hal ini, yang terkadang tidak disadari sepenuhnya oleh sebagian ASN di daerah. Efek samping Pilkada meracuni cara pikir birokrat.

Fenomena perilaku subyektif juga semakin menguat dan sistematis dengan membentuk kebijakan anggaran APBD untuk mendukung program-program pembangunan yang berlabelkan ‘masyarakat’.

Memasuki tahun politik misalnya, disusunlah kebijakan anggaran yang berpihak kepada program-program yang berlabelkan masyarakat dengan segala macam program lainnya. Sesungguhnya program-program tersebut semata-mata untuk kepentingan politik dirinya. Program-program itu hanya dibuat berdasarkan kepentingan politik. Karena itu, seringkali program-program tersebut dibuat tanpa didasari kajian yang mendalam sehingga tidak berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.

Menagih Janji

Janji-janji politik Bupati dan Wakil Bupati saat kampanye hanyalah janji. Bisa kita lihat berbagai macam sektor pembangunan berjalan lamban bahkan mangkrak.
Reformasi birokrasi di Pandeglang belum mencapai titik terbaiknya di mana laporan keuangan belum sepenuhnya dapat terbuka oleh publik.

Banyak transaksi keuangan yang sampai saat ini belum dapat diakses di Pandeglang. Birokrasi pemerintahan di Pandeglang seolah-olah ditawan oleh kekuatan politik yang memang menguasai “pengesahan anggaran”.

Bahkan jika janji kampanye diakumulasi, janji Bupati dan Wakil Bupati masih memiliki utang janji yang cukup besar. Juga janji menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat Pandeglang.

Jumlah pengangguran di Pandeglang masih sangat tinggi dari sebuah data BPS, ada sekitar 42 ribu penganggur dan yang mencari kerja baru 10.001.

Indikasi tersebut terdapat pada capaian-capaian pembangunan Pandeglang yang masih parsial. Contoh paling mudah, adalah indeks pembangunan manusia yang masih rendah, Indeks Pembangunan Manusia Pandeglang di Bawah Banten, tingkat kemiskinan dan angka harapan hidup warga Pandeglang sangat jauh di bawah rata-rata Provinsi Banten.

Sejak tahun 2014 tercatat angka harapan hidup di Pandeglang sebesar 62 persen. Angka itu di bawah angka rata-rata harapan hidup di Provinsi Banten, sebesar 69 persen. Sedangkan angka penduduk miskin di Pandeglang mencapai 9,5 persen. Angka itu jauh dibanding persentase penduduk miskin di Provinsi Banten yang 5,5 persen. padahal bertriliunan rupiah sudah digelontorkan oleh pemerintah daerah.

Apalagi Pandeglang bagian selatan yang sangat terkenal sebagai kawasan yang miskin dan tertinggal menjadi sangat rentan untuk dipolitisasi oleh keputusan-keputusan yang didasari bukan atas dasar teknokrasi tapi didasari oleh keputusan-keputusan politik kepentingan tertentu.

Saran:

Komitmen untuk menempatkan diri sebagai birokrasi professional itu penting. Jika saat ini birokrat menginginkan kehidupan bernegara bebas dari KKN, hendaknya mereka harus netral, profesional, dan mengedepankan kepentingan negara dan masyarakat, bukan kepentingan pribadi dan partai politik.

Semoga para pejabat negara pada pemilu 2019 ini segera memiliki political and good will untuk menempatkan diri mereka sebagai pejabat publik, dari publik, dan untuk publik, bukan untuk pribadi dan partai politik.

Sesuai aturan yang ada caleg tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye selama masa kampanye Pemilu tahun 2019. Ada dalam Undang-undang nomor 7 dan PKPU nomor 23 tidak diperbolehkan kampanye menggunakan fasilitas Negara. Birokrasi itu dilarang keras dipolitisasi.

Dan mutlak Tidak boleh. Logikanya, semakin banyaknya elemen yang terlibat politik praktis bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik. Padahal, dalam demokrasi, kepercayaan adalah fondasi utama.

Berkampanyelah dengan baik. Saya mengingatkan agar petahana tak pakai fasilitas negara untuk berkampanye. Saya berharap para calon lebih mengedepankan sosialisasi program dan gagasan untuk memajukan daerah.

(Oleh Eko Supriatno, M.Si, M.Pd, selaku Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik FISIP UNMA Banten)

Isi Berita Diluar Tanggungjawab Redaksi.

Print Friendly, PDF & Email