oleh

Konflik Agraria di Pulau Sangiang, Berjuang Pertahankan Tanah Ulayat

image_pdfimage_print

Kabar6-Ratusan masyarakat Pulau Sangiang sedang berjuang mempertahankan status tanah ulayatnya yang terancam hilang karena terus coba di serobot oleh oknum tertentu.

Mereka telah menempati Pulau Sangiang sejak zaman Kesultanan Banten dan Kerajaan Lampung berdiri.

Status tanahnya yang merupakan tanah Ulayat dari Kerajaan Lampung, tiba-tiba berubah memiliki sertifikat dan sudah terbagi-bagi.

“Yang kita tahu tanah Ulayat diberikan oleh kerajaan Lampung. (Surat Ulayat) aslinya ada tulisan Lampung, dihibahkan ke masyarakat,” kata Nurwahdini, Kades Cikoneng, Pulau Sangiang, saat ditemui di Anyer, Kabupaten Serang, Banten, Sabtu (25/8/2018).

Dengan luas pulau 768 hektare, Pulau di perairan Selat Sunda itu memiliki catatan panjang konflik agraria.

Pada 1983, status Pulau Sangiang berubah menjadi Cagar Alam. Kemudian 1991 hingga 1992, terjadi pembebasan lahan di Pulau Sangiang seluas 251 hektare untuk dijadikan sebuah penginapan yang dikelola oleh Pondok Kalimaya Putih (PKP).

Lalu 1993, muncul surat keputusan Menhut bahwa pengelolaan Pulau Sangiang dilakukan oleh BKSDA bersama PKP tanpa melibatkan masyarakat setempat.

Masyarakat yang tinggal di empat kampung Desa Cikoneng yakni kampung Bojong, bubur, Tegal dan Cikoneng sudah berkali-kali mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemkab Serang, Pemprov Banten hingga Kemenhut untuk meminta solusi. Namun kehadirannya seperti tidak diladeni.

Warga Pulau Sangiang yang sehari-harinya sebagai petani dan nelayan kini sudah kesulitan bercocok tanam. Lantaran, pulau yang sudah ditempatnya sejak ratusan tahun itu tiba-tiba dihuni oleh babi hutan, rusa, musang, monyet dan binatang liar lainnya yang sebelumnya tak ada.

“Nah itu yang menanami babi hutan itu kehutanan (Kemenhut) yang bekerjasama dengan perusahaan yang menguasai pulau tersebut,” ujarnya.**Baca Juga: Pemadaman Api di BJ Home Terkendala Keterbatasan Air.

Aksi teater mahasiswa dengan nyanyian “tong potong roti, dicampur mentega, Belanda sudah pergi kini datang gantinya. Tong potong roti, dicampur mentega, siapa beli pulaunya” yang terus diucapkan berkali-kali, menjadi pembuka aksi solidaritas warga Pulau Sangiang mempertahankan status tanah ulayatnya menjadi sertifikat dan penguasaan pihak swasta.(Tim K6/Dhi)

Print Friendly, PDF & Email