oleh

Kisah Putri Ong, Sunan Gunung Jati dan Vihara Avalokitesvara

image_pdfimage_print

Kabar6-Tahun Baru Imlek jadi moment paling penting bagi warga etnis Tionghoa. Imlek atau dalam bahasa Tiongkok Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi, merupakan moment untuk memanjatkan harapan.

Harapan untuk mendapatkan rezeki berlimpah dan hidup yang lebih baik di tahun yang baru atau masa mendatang.

Makanya, setiap moment Imlek, vihara atau kelenteng selalu kebanjiran jemaat yang hendak bersembahyang sekaligus memanjatkan doa.

Biasanya, kegiatan persembahyangan saat Imlek akan terus berlanjut hingga perayaan penutupan Imlek atau yang biasa disebut Cap Go Meh tanggal 4 Maret 2015 (15 hari setelah Imlek).

Di Banten, salah satu vihara yang ramai dikunjungi warga etnis Tionghoa saat Imlek adalah Vihara Avalokiteswara, tepatnya di Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Sedianya, ada kisah menarik dibalik sejarah keberadaan Vihara Avalokiteswara yang kini menjadi simbol kerukunan antar umat beragama di Banten tersebut. 

Humas Vihara Avalokitesvara, Asaji Manggala Putra mengisahkan, keberadaan etnis Tionghoa di Banten tak lepas dari kemajuan perdagangan di Kesultanan Banten, dengan Pelabuhan Karangantu yang cukup terkenal.

Kondisi itupun tak urung menarik minat para saudagar dari berbagai negara, seperti Tionghoa, Arab, dan Eropa, untuk datang ke Banten.

Salah satunya adalah Putri Ong Tien Nio, puteri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming.

“Kala itu, putri Ong Tin Nio bersama anak buah kapalnya memutuskan bermalam di Pamarican, Kampung Pamarican, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Karena saat itu daerah sini banyak merica,” kata Asaji, Kamis (19/2/2015).

Alasan Putri Ong Tin Nio bermalam Pamarican karena persediaan di kapal yang semakin menipis, guna melanjutkan perjalanan dari Tiongkok menuju Surabaya.

Beberapa hari menginap, siapa sangka bila ternyata sang putri merasa betah di Pamarican. Hingga, sang putri memutuskan untuk menetap.

Tapi, kedatangan Putri Ong membuat warga sekitar resah. Mereka merasa terganggu. Keberadaan sang putri dianggap sebagai ancaman yang bisa merusak tradisi dan kepercayaan masyarakat sekitar.

Terlebih, Putri Ong, juga membangun vihara yang pada awalnya berada di bekas kantor bea (douane) yang digunakan untuk sembahyang warga Tionghoa.

Alhasil, masyarakat di Banten kala itu sempat ingin mengusir warga Tionghoa, karena dikhawatirkan bakal merusak keimanan masyarakat Islam di Banten.

“Saat itulah figur Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati muncul mengambil peran. Dia berinisiatif memediasi ketegangan antara warga Banten dengan sang putri,” jelasnya.

Sunan Gunung Jati sempat menegur masyarakat Banten, karena memaksa warga pendatang harus memeluk Islam. Itu mengingat hakikatnya tidak ada paksaan dalam beragama.

Meski demikian, Sunan Gunung Jati juga menawarkan kepada Putri Ong Tin Nio dan rombongannya, untuk memeluk Islam tanpa paksaan.

Dan, salah seorang pengawal Sunan Gunung Jati menyarankan agar Putri Ong menjadi mualaf dan menikah dengan Sunan Gunuing Jati, agar masyarakat setempat bisa menghormati sang Putri.

Pertemuan itu sempat membuat Putri Ong ‘galau’. Apakah akan menerima tawaran Sunan Gunung Jati untuk memeluk agama baru dan menikah dengannya, atau tidak.

“Karena ternyata, diam-diam Putri Ong juga menaruh hati pada Sunan Gunung Jati,” ujar Asaji lagi. **Baca juga: Malam Imlek, Jemaat Padati Kelenteng Boen San Bio.

Hingga pada suatu hari, Putri Ong dan rombongannya memutuskan untuk memeluk Islam. Moment itu pun disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati, sebelum akhirnya Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong.

Guna menyimbolkan persatuan antara dua agama dan dua kebudayaan yang berbeda, maka Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Banten Lama dan Vihara Avalokitesvara secara berdampingan pada tahun 1952 masehi.

“Posisinya yang dekat (Vihara dan Masjid) menandakan hubungan harmonis antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat yang memeluk Islam,” ujar Asaji.(tmn/din/agm)

Print Friendly, PDF & Email