Kabar6 – Kasus nenek Minah pada 2009 menjadi pemantik diterapkannya keadilan restoratif. Perempuan berusia 55 tahun asal Banyumas, Jawa Tengah, itu dijatuhi hukuman kurungan selama 1 bulan 15 hari gara-gara memetik tanpa izin tiga butir cokelat di perkebunan PT Rumpun Sari Antan.
Kasus itu menjadi perhatian masyarakat luas karena barang yang diambil oleh nenek Minah nilainya kecil, bahkan kalau dihitung kerugian perusahaan hanya Rp30 ribu. Hakim yang memimpin sidang sempat meneteskan air mata tatkala menjatuhkan vonis kepada nenek Minah.
Hingga pada tahun 2012 terbitlah nota kesepakatan bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Nota kesepakatan bersama itu berisi pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat, serta penerapan keadilan restoratif.
**Baca Juga:Membongkar Rumah Pabrik Narkoba yang Dijalankan Keluarga di Serang
Kasus serupa menimpa Samirin (69). Pada tahun 2020, Samirin dijatuhi hukuman 2 bulan 4 hari karena terbukti mencuri sisa getah karet di perkebunan milik PT Bridgestone SRE, Sumatera Utara. Pencurian itu disebut mengakibatkan kerugian hanya Rp17.450.
Vonis hakim memang lebih rendah dari tuntutan jaksa yang mencapai 10 bulan penjara. Kendati kemudian Samirin dibebaskan karena durasi hukuman hakim sudah sama dengan masa penahanannya.
Lembaga pertama
Kejaksaan Agung menjadi lembaga pertama Pemerintahan Joko Widodo yang menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Pada peraturan tersebut yang ingin dicapai yaitu memberi rasa keadilan bagi masyarakat yang sedang mencari keadilan hukum.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin mengakui bahwa penerapan keadilan restoratif memang diilhami dari kasus nenek Minah dan kakek Sarimin. Keduanya merupakan contoh kasus legendaris tentang penerapan hukum terlalu kaku.
Keadilan restoratif dapat mengatasi kekakuan hukum positif, khususnya ketika kejaksaan memandang hukum positif gagal menghadirkan keadilan bagi masyarakat.
Hasil dari kebijakan keadilan restoratif pada masa Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin menuai apresiasi dari masyarakat karena penerapannya tidak hanya memberi keadilan dan kepastian hukum saja, tetapi juga memberikan kemanfaatan kepada masyarakat luas.
Dari awal diterapkannya keadilan restoratif di lingkungan Kejagung tercatat sudah ada 5.600 lebih kasus telah diselesaikan tanpa harus ke pengadilan dan jumlah itu akan terus bertambah.
Namun demikian, tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan sistem keadilan restoratif karena ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi di antaranya, telah dilaksanakan proses perdamaian, belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
Selain itu ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Sementara syarat keadilan restoratif khusus penyalahgunaan narkotika adalah berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, para tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir.
Persyaratan lainnya yaitu tidak pernah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO), dan berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalahguna narkotika dan lainnya.
Lembaga ini juga masih memegang kendali apakah putusan permohonan keadilan restoratif diterima atau tidak terpusat dan dikomandoi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum).
Ini semua dilakukan untuk memastikan pengawasan program keadilan restoratif berjalan sesuai dengan tujuan awal, tidak dimanfaatkan oleh oknum jaksa di daerah.
Keadilan restoratif di tubuh Polri
Penerapan keadilan restoratif secara peraturan di tubuh Bhayangkara melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 memang lebih muda daripada di Kejagung.
Akan tetapi, secara kuantitas kasus yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif sudah mencapai 48.118 perkara dari mulai diberlakukannya pada 2021 hingga akhir 2023, atau sekitar 5,8 persen dari total tindak kejahatan dalam periode itu sebanyak 822.722 kasus.
Ini menunjukkan terdapat permasalahan hukum yang bisa diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Sebagai lembaga yang memiliki anggota hingga pelosok desa memang wajar jika penerapan keadilan restoratif dapat terlaksana dengan baik dan mencakup puluhan ribu perkara yang diselesaikan. Apalagi konsep ini menjadi program prioritas Polri untuk mewujudkan reformasi kepolisian yang humanis dan berkeadilan.
Keadilan restoratif dinilai memiliki konsep yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia, yakni musyawarah dan mufakat sehingga diharapkan dapat menghasilkan penghukuman yang bukan berorientasi pada “pembalasan” melainkan “pemulihan hak”. Penegakan hukum hanya upaya terakhir dalam penyelesaian masalah tertentu manakala proses itu mengalami kebuntuan.
Salah satu penerapan keadilan restoratif yang mendapat perhatian masyarakat adalah kasus yang menimpa Munir Alamsyah (53), mantan guru honorer di Kabupaten Garut pada tahun 2022. Munir membakar bangunan SMPN 1 Cikelet tempat mengajarnya dulu lantaran sakit hati lantaran gajinya selama mengajar tidak kunjung dibayarkan. Munir Alamsyah merupakan guru honorer mata pelajaran Fisika di SMPN 1 Cikelet tahun 1996 sampai 1998 yang memiliki kecerdasan dan menjadi kebanggaan.
Kasus pembakaran tersebut kemudian dihentikan oleh Polres Garut melalui keadilan restoratif karena antara pelaku dan korban sudah sepakat berdamai serta semua persyaratan telah terpenuhi.
Salah satu hal yang perlu diwaspadai oleh kepolisian adalah munculnya praktik jual beli untuk memperoleh keadilan restoratif.
Polri sudah memiliki sistem Dumas atau pengaduan masyarakat yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menyampaikan aduan atas pelayanan Polri, termasuk dalam mencegah dugaan jual beli penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif.
Layanan pengaduan yang diluncurkan pada September 2021 ini bisa langsung diakses oleh masyarakat selama 24 jam, di mana saja, tanpa perlu datang ke kantor polisi terdekat. Aplikasi Dumas Presisi bisa diunduh melalui Playstore.
Begitu pula bagi masyarakat yang mengetahui tindakan polisi melanggar hukum dapat melapor lewat aplikasi Propam Presisi. Lahirnya kedua aplikasi ini agar kerja polisi dapat diawasi tidak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal sesuai dengan era keterbukaan saat ini.
Disamping itu, perlu diwaspadai munculnya distorsi dari spirit keadilan restoratif jika tidak ada kontrol dan pengawasan ketat dalam penerapannya. Kasus kecil tidak menggunakan mekanisme keadilan restoratif, justeru kasus-kasus besar malah menggunakan keadilan restoratif.
Solusi atasi kelebihan penghuni
Keadilan restoratif juga dapat menjadi salah satu solusi dalam menghadapi masalah kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang ada di Indonesia.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebutkan jumlah lapas dan rutan di Indonesia mencapai 526 dengan kapasitas hunian 140.424 orang, sementara jumlah penghuni lapas dan rutan pada tahun 2023 mencapai 269.263 orang.
Jumlah tersebut tentu menjadikan lapas maupun rutan di Indonesia sudah kelebihan beban penghuni hingga 92 persen.
Keadilan restoratif yang merupakan terobosan di masa Pemerintahan Jokowi, yang selain memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia juga dapat membantu untuk mengurangi jumlah penghuni lapas dan rutan yang memang sudah tidak layak lagi.
Ini membuktikan bahwa negara terus berupaya membenahi sistem peradilan di Indonesia ke arah yang lebih humanis dengan segala inovasi yang dikembangkan.(ANTARA)
Artikel ini merupakan kerjasama diseminasi LKBN Antara dengan Kabar6.com