oleh

Kawal Gugatan Sengketa Pileg Dapil 6 Ciputat Timur, Erick: Ada Yang Ganjil Dengan MK

image_pdfimage_print

Kabar6-Direktur Eksekutif Jaringan Suara Rakyat (JSR) nilai Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung semena-mena dalam menangani gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2019.

Bagaimana tidak, banyaknya gugatan yang ditolak dengan beberapa alasan yang menurutnya irasional membuat kesan bahwa MK seperti “Malas Kerja” dan “Malas Koreksi”.

“Saya anggap MK malas kerja karena sebenarnya banyak gugatan PHPU yang tergolong layak dilanjutkan baik untuk ketetapan putusan akhir, dan atau sidang pembuktian. Tapi faktanya MK justru mengeluarkan putusan tidak dapat menerima gugatan yang layak lanjut tersebut pada dismissal process,” ujar Erick.

Menurutnya, justru ada gugatan yang terkesan tidak layak malah dilanjut ke sidang pembuktian seperti sengketa DPD di NTB atas gugatan edit photo dalam kertas surat suara karena dianggap melebihi kecantikan aslinya. Bukan hanya saya, banyak masyarakat yang menganggap ini konyol,” tambah Erick.

Erick juga mencermati, gugatan PHPU yang dilayangkan Hanura Kota Tangerang Selatan untuk Dapil Kota Tangsel 6 (Kecamatan Ciputat Timur). Secara tiba-tiba Hakim MK menolak gugatan PHPU Hanura karena dianggap ada kesalahan penyebutan dapil yang hanya satu kata.

“Saya mengikuti perkembangan gugatan tersebut. Sejak awal saya tidak pernah mendengar ada kesalahan redaksi dalam permohonan tersebut. Bahkan Hakim MK juga tidak pernah menyinggung adanya kesalahan redaksi permohonan Hanura baik disidang pendahuluan maupun sidang lanjutan untuk mendengar sanggahan termohon dan pihak terkait. Tapi secara tiba-tiba Hakim MK menolak gugatan PHPU Hanura karena dianggap ada kesalahan penyebutan dapil yang hanya satu kata. Apakah jangan-jangan permohonan tersebut berubah secara mendadak?,” tegas mantan aktivis HMI tersebut.

Ia menilai, kecurigaannya tersebut didasari adanya informasi, frontliner MK juga memiliki softcopy dalam format Microsoft Word dari isi permohonan tersebut dalam 1 (satu) buah unit flashdisk yang diserahkan Pemohon kepada MK.

“Menurutnya jika MK sudah memegang permohonan PHPU dari pemohon dalam bentuk hardcopy (materi gugatan dan daftar alat bukti), untuk apalagi MK meminta permohonan PHPU tersebut dalam bentuk softcopy file. Tentu ini ada yang ganjil nampaknya,” sebut Erick.

Meski begitu, Erick tidak mau mengambil sikap lebih jauh karena menurutnya Hakim MK ibarat tokoh Al Capone. “Al Capone itu punya julukan The Untouchables, Nah, sama seperti MK, mereka ini tidak tersentuh.

“Bagaimana tidak, hanya Hakim di MK saja yang notabenenya sebagai pemutus perkara tapi tanpa pengawasan karena MK menolak diawasi lembaga eksternal seperti Komisi Yudisial (KY),” tambahnya, Senin (12/8/2019).

Ia juga mengatakan, dahulu KY memang memiliki otoritas dalam mengawasi MK atas dasar UU Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Tapi kemudian UU tersebut diuji materi atau judicial review, dan sudah tentu MK memutuskan mengabulkan seluruh permohonan judicial review tersebut yang membuat MK tidak ada yang mengawasi. Padahal dulu UU Nomor 4 Tahun 2014 tersebut dilahirkan untuk menjaga wibawa MK yang saat itu carut marut pasca kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Ketua MK yaitu M. Akil Mochtar oleh KPK atas dugaan menerima suap sengketa Pilkada.

**Baca juga: 50 Caleg Terpilih Melenggang ke DPRD Kabupaten Tangerang.

“Jadi MK ini seperti ibarat sudah pernah diterpa hujan badai, tapi justru tidak mau diberikan payung penyelamat. Seharusnya lembaga independen seperti MK digawangi oleh dasar-dasar hukum yang kuat. Mengingat Hakim MK justru sangat dekat dengan politik. Dari 9 (sembilan) Hakim MK, hanya 3 (tiga) Hakim yang direkomendasikan oleh Mahkamah Agung (MA), 3 (tiga) Hakim MK dipilih anggota DPR RI dan tiga lainnya ditunjuk Presiden. Tapi MK justru menolak diawasi. Bukankah ini ada yang ganjil,” tutup Direktur Eksekutif JSR.(adt)

Print Friendly, PDF & Email