oleh

Jadilah Wartawan yang Menyebalkan

image_pdfimage_print

Teman baikku, wartawan Kompas, Jodi Yudono beberapa pekan lalu menulis begini: Jika seseorang mau menjadi wartawan hebat dan dikenang sejarah, harus menjadi wartawan yang menyebalkan.

Dan tulisan ini terus berputar-putar mengitari ingatanku dalam beberapa hari terakhir, dan bahkan melebar kemana-mana sampai teringat ucapan seorang wartawan Amerika yang juga permah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Time, Henry Anatole Grunwald yang menulis pada edisi ulang tahun ke 60 majalah Time : ‘’Jurnalisme tidak pernah bisa diam: itulah kebajikan terbesar dan kesalahan terbesarnya. Ia harus berbicara, dan segera berbicara, meski kekuatan dan ancaman serta tanda-tanda horor masih ada di udara.”

Saat ini wartawan berkategori menyebalkan jumlahnya memang semakin sedikit, karena menjadi wartawan yang menyebalkan berarti menjadi orang yang tidak disukai para pemegang jabatan yang curang atau para pemilik kekuasaan yang bergelimang uang haram. Dan menjadi wartawan yang menyebalkan malah terkadang dianggap sebagai ‘kebodohan’, karena hanya akan semakin menjauhkan diri dari ketawa- ketiwi beriring ‘salam tempel’, dan hal-hal lain yang menyenangkan.

Meski menjadi wartawan yang menyebalkan itu bukan berarti menerapkan etika rendah, mengabaikan kesopanan di depan narasumber, apalagi melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, bukan begitu. Tetapi menjadi wartawan yang menyebalkan selalu punya keberanian mengupas data fakta yang membuat narasumber kehabisan kata-kata, tak bisa mengelak untuk bicara terbuka terkait hal yang ditanyakan, dan terkadang bisa merubah rona wajah narasumber menjadi merah padam, serta memancing rasa tidak senang sekaligus amarah yang tak terkendali.

Aku sendiri merasa beberapa kali dianggap narasumber sebagai wartawan yang menyebalkan, salah satunya oleh seorang anggota DPR RI yang kini menjabat Duta Besar RI. Karena pertanyaan dan pernyataanku, beberapa kali dia terpaksa memanggilku, pertama ke Hotel Mulia, kemudian ke Hotel Hilton, kemudian ke sebuah Café, meminta agar menarik pertanyaan dan pernyataanku, serta tidak menuliskannya di koran’ Rakyat Merdeka’ tempatku bekerja waktu itu.Tapi tetap tak tercapai kata’kompromi’.

Ketika aku tanya, apakah tindakanku melanggar etika moral, kesopanan, kode Etik Jurnalistik atau pelanggaran hukum, dijawabnya tidak sama sekali, dia hanya meminta pengertianku saja, sebab hala yang aku sampaikan bisa mengganggu ‘proyek’ yang sedang ditanganinya.Karena aku tidak memenuhi permintaannya, dan tidak menawarkan kata’kompromi’, sejak itu hingga sekarang ‘hubungan’ kami tidak baik, atau istilah orang Medan ‘eskete’, padahal sebelumnya terbilang sangat akrab.

Menjadi wartawan yang “menyebalkan” itu memang pilihan, sebab, banyak pula wartawan yang memilih menjadi wartawan yang ‘ menyenangkan’, atau lebih keliru dari itu. 

Lihatlah di Bengkulu misalnya, ada ‘oknum’ yang berani menobatkan gubernurnya sebagai Gubernur Akhlakul Karimah meskipun bau busuk di provinsi ini sudah lama tercium. Tapi tak lama kemudian fakta berbicara, si gubernur bahkan bersama isterinya dicokok KPK, lalu dia mengundurkan diri sebagai gubernur dan juga ketua partai. Di daerah lain ada juga gubenur yang dijuluki sebagai ibu gubernur religius oleh ‘oknum’, tapi kemudian juga dicokok KPK. 

Sejatinya menjadi wartawan haruslah menjadi wartawan yang menyebalkan, karena bila memilih menjadi wartawan yang menyenangkan, itu artinya cuma 11-12 saja dengan staf kominfo dan mengabaikan tugas koreksi. Bila ada wartawan menganggap semua pejabat baik-baik saja, berarti dia juga mengabaikan apa yang harus dimiliki wartawan, yakni skeptis, doubt (ragu), discern (kritis) serta demand (arus informasi bebas), sekaligus mengabaikan fungsinya sebagai investigator.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 

Print Friendly, PDF & Email