Kabar6-Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A mengatakan, fenomena maraknya calon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada 2024, tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga sudah terjadi pada Pilkada sebelumnya.
Diketahui, pada Pilkada 2024 terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal. Terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten dan lima kota.
“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas itu sebenarnya melegakan dan mengurangi calon tunggal, meskipun masih ada sekitar 40-an yang melawan kotak kosong. Saya pastikan jumlahnya akan melonjak tajam, kalau tidak ada amar putusan tersebut,” kata Siti Zuhro, Rabu (11/9/2024) sore.
**Baca Juga: Bawaslu Lebak Rekrut 2.062 Orang untuk Awasi TPS Pilkada 2024
Dalam diskusi dengan tema ‘Fenomena Pilkada 2024; Bersama atau Melawan Kotak Kosong?’ yang ditayangkan di Gelora TV tersebut, Siti Zuhro mengungkapkan, hal itu terjadi karena adanya himbauan koalisi besar di tingkat provinsi, kabupaten/kota dari elite partai politik (parpol) ditingkat nasional.
Tentu saja hal ini menjadi ironi, bahkan anomali dalam demokrasi Indonesia yang multi partai. Dimana semua parpol justru bergabung dalam satu koalisi besar atau gemuk, karena adanya kepentingan pragmatis yang sama.
“Itu bisa kita lihat di Pilkada Jawa Timur dan Jakarta, diamana sebagian besar parpol mengusung Ibu Khofifah dan Pak Ridwan Kamil. Kalau yang memenuhi ambang batas, bisa mencalonkan, tapi kalau tidak bisa, maka akan melawan kotak kosong,” katanya.
Situasi memprihantikan ini, menurut dia, merupakan dampak dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), serta berlanjut di Pilkada sekarang.
“Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” katanya.
Padahal, kata dia, demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman yang cukup serius, karena Pilkada 2024 tidak menghasilkan kompetisi dan calon yang layak. Ada kecenderungan untuk aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik.
“Ini semacam warning terhadap kualitas demokrasi kita, demokrasi kita semakin mundur. Pembenahannya harus dimulai dari partai politik itu sendiri, dan tentunya kita mengapresiasi Partai Gelora yang telah mengangkat tema ini dalam diskusi, ” tandas Peneliti Utama BRIN ini.
Siti Zuhro berpendapat, keberadaan sistem multi partai seperti sekarang, perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan, karena menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
“Kita harus mendorong perbaikan Paket Undang-undang (UU) Politik, karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspon partai politik dan dipayungi undang-undang,” katanya.
Paket UU Politik saat ini, menurutnya, perlu dilakukan reformasi total agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural. Yakni antara lain dengan merevisi UU Parpol, UU Pilpres, UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), UU Pemilu dan UU Pilkada.
“Kita ini mau take off menjadi negara yang kokoh, Indonesia Emas 2045. Maka harus dimulai sekarang agar kita tidak gagal, sehingga perlu ada kompetisi. Tetapi kompetisi sekarang ini, kelihatan hambar,” paparnya.
“Masa sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalahpun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,” tegas Siti Zuhro.
Bukan Hal Positif
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Dr Junef Ismailiyanto menilai fenomena calon tunggal melawan kotak kosong bukan hal positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia.
“Partai Gelora memandang ini bukan hal yang positif buat kami, apalagi demokrasi kita. Karena tidak sesuai dengan proses atau model pembangunan nasional ke depan, yang berbasis otonomi daerah,” kata Junef Ismailiyanto.
Apalagi Presiden terpilih Prabowo Subianto juga sudah menyatakan, akan mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah dalam program pembangunan nasionalnya.
Artinya kepemimpinan di daerah diharapkan akan menjadi ujung tombak bagi pembangunan di daerahnya masing-masing
“Kalau kita lihat jumlah kotak kosong yang semakin naik, hal ini tentunya akan menjadi evaluasi kita bersama. Sekali lagi ini bukan hal positif buat parpol mapun buat demokrasi kita, sehingga perlu ada solusinya,” katanya.
Seharusnya putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah, kata Junef, dimanfaatkan secara maksimal oleh parpol untuk memajukan kadernya sebagai calon kepala daerah (cakada) di Pilkada 2024, bukan justru adanya mendukung calon tunggal.
Partai Gelora sendiri telah menerbitkan 429 Surat Keputusan (SK) rekomendasi, dimana 285 SK diantaranya yang didaftarkan di aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) Pilkada disetujui. Terdapat di 27 Pemilihan Gubernur, 213 Pemilihan Bupati dan 45 Pemilihan Walikota.
“Sehingga kita punya cakada dari kader kami. Kita ada Pak Hadi Mulyadi, pendiri partai, Ketua DPW Kalimantan Timur menjadi calon Wakil Gubernur Kalimantan Timur. Pak Hadi Mulyadi ini juga dicalonkan PDIP,” jelasnya.
Lalu, ada Ketua DPW Partai Gelora Sulawesi Selatan Syamsari Kitta yang maju sebagai calon bupati di Pilkada Takalar. Kemudian Ketua DPD Partai Gelora Polewali Mandar, Sulawesi Barat Pak Zainal Abidin sebagai calon wakil bupati di Pilkada Polman.
“Selanjutnya ada cakada kader kita di Boalemo, Luwu Utara, Bone Bolango, Balikpapan, Bontang dan Sumbawa. Lalu, di Jayapura ada Pak Daniel Mebri, orang Papua asli. Kemudian di Tabalong, serta terakhir di Yogyakara,” jelasnya.
Sedangkan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan. fenomena calon tunggal dan kotak kosong adalah konsekuensi dari pembatasan hak kepersetaan Pemilu, termasuk di Pilkada.
“Hak pilih Hak Asasi Manusia. Di dalamnya ada hak dipilih, hak mencalonkan dan hak memilih. Hak dipilih ini, hak menjadi peserta Pemilu dan Pilkada dari pasca reformasi hingga sekarang semakin dibatasi persyaratannya,” kata Usep Hasan Sadikin.
Misalkan adanya ambang pencalonan dari Pilpres, kemudian diterapkan di Pilkada. Lalu, adanya syarat pencalonan jalur perseorangan yang semakin sulit, sehingga bukan syarat dukungan saja, tapi juga verifkasi faktualnya diubah dari sampling menjadi sensus.
“Jadi konsekuensi dari syarat yang amat berat, bukan hanya mendorong praktik ilegal seperti memanipulasi, tetapi juga berakibat pada hak politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang utama dalam demokrasi. Di saat yang sama parpol sebagai lembaga utama demokrasi, itu juga dipersulit,” ujarnya.
Karena itu, Perludem bersyukur melihat gebrakan Partai Gelora yang bisa membangun partainya dengan prinsip-prinsip HAM, termasuk dalam mencalonkan kadernya sendiri di Pilkada.
“Gelora ini relatif berdaya, ketika partai lain, terutama partai baru sulit melakukan untuk memenuhi syarat ini. Sebab, syarat pendirian partai politik, Pemilu dan Pilkada di Indonesia, adalah syarat yang terberat di dunia,” katanya.
Akibatnya, hak politik masyarakat untuk dipilih atau dicalonkan menjadi terhambat dan semakin ekstrem di Pilkada 2024. Sehingga calon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada 2024 ini semakin banyak.
“Kita berharap DPR tidak menyepakati adanya Pilkada ulang di 2025, tetapi juga harus melarang calon tunggal yang kalah lawan kotak kosong untuk maju lagi. Kalau sekarang kan tidak jelas, dibolehkan dan mau sampai kapan, kalau calon tunggal kalah lagi lawan kotak kosong di Pilkada ulang,” pungkasnya.(Red)