oleh

Dunia Belantara itu Bernama PJJ

image_pdfimage_print

oleh : Purnomohari Kuncoro, S.Pd , guru SDN LARANGAN 11 Kota Tangerang

Berbulan-bulan sudah kini Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berlangsung. Entah bagaimana mengukur hasil Kegiatan Belajar Mengajar. Apakah karakter bias dinilai? Agak susah memang, tapi itulah kenyataan yang harus dijalani.

Ya, tiga bulan pertama guru dan siswa cukup terkejut, terusir dari sekolah. Semua serba meraba dan berdoa agar tak berlangsung lama.

Guru dan siswa maklum. Mereka masih bertemu selama 9 bulan sebelum pandemi.

Waktu yang cukup menanamkan karakter yang diharapkan, walau tak optimal. Ketika itu mereka naik kelas, bahkan mereka lulus,semua maklum

Kini mereka liar tak terarah bagai di belantara. Orangtua siswa tak siap gantikan sosok guru walaupun sebenarnya keluarga adalah madrasah yang utama.

Sebagai Orangtua berbeda jenjang pendidikannya.Tak seperti guru di sekolah yang telah terdidik untuk mendidik siswa di jenjang masing-masing (SD,SMP,SMA).

Kini guru mereka adalah google yang belum teruji bisa mendidik karakter yang baik untuk siswa. Banyak peristiwa kekerasan di rumah terhadap anak.

Orang tua dilawan oleh anak, karena terlalu keras menjejali pelajaran sekolah tanpa ilmu yang tepat.

Saat ini saya teringat pepatah “Berburu ke padang datar, dapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”. Artinya bahwa jika belajar harus tuntas,tidak setengah-setengah.

Teringat pula peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya bahwa anak–anak itu meniru apa yang diajarkan. Bisa terbayang bila website yang menemani mereka berisikan konten negative?

Teringat juga pesan seorang ustad, bahwa belajar ilmu agama harus dengan guru yang benar agar tidak tersasar. Karena katanya membaca quran harus benar bacaannya.

Bagaimana bisa tahu cara baca benar atau tidak bila bertemu gurupun tidak.
Hari pertama masuk sekolah bagi kelas 1, 7, dan 10 mereka tak mengenal guru dan teman-temannya.

Mereka hanya bertatap muka di layar yang tak jelas apakah yang dilihat konten yang baik. Setiap hari siswa disuguhi pelajaran melalui daring. Bertatapan mata dengan gawai atau laptopnya, menjadikan mereka individual, yang tak dapat menjalankan kodratnya sebagai mahkluk sosial.

Padahal di qur’an surah Al Ashr tertulis manusia harus tolong menolong dalam kebaikan dan kesabaran. Andai Corona ini terjadi di zaman WIRO SABLENG 212, entah apa yang terjadi. Wiro tidak akan mendapat ilmu dari gurunya Sinto Gendeng. Tak mungkin melalui Daring. Mungkin Wiro tetap Sableng karena tak bertemu guru yang tepat.

Contoh di atas hanya sekedar ilustrasi. Ketika pembelajaran praktek Penjas tentang BOLA KECIL, Butuh beberapa orang dan tempat. Tak mungkin dapat dilakukan. Dan banyak lagi pelajaran yang butuh pendampingan guru.

Di tengah pandemi ini, Daring pun memaksa orang tua untuk menjadi guru dadakan. Bila anaknya lebih dari 2 anak yang bersekolah, mereka harus mengajarkan satu persatu anaknya sesuai dengan tingkat kelasnya.

Tidak semua orang tua mampu membimbing putra-putrinya menggantikan sosok guru. Banyak diantara mereka mengandalkan guru untuk membuat putra/putrinya pintar.

Pendidikan orang tua yang rendah menambah mereka tidak sanggup menggantikan sosok guru yang berpendidikan tinggipun terkadang tidak mampu mendampingi putra/putrinya belajar.

**Baca juga: Cakep, Anak SD di Kota Tangerang Kunjungi Komunitas Daur Ulang Sampah

Banyak diantara mereka yang bekerja dan mereka ditinggal di rumah dengan pembantunya. Orangtua siswa banyak yang berangkat kerja saat anaknya belum bangun dan sampai rumah anak mereka telah tidur. Gawai yang menggantikan guru dan orangtua mendidik akhlak. (*/gus)

Print Friendly, PDF & Email