oleh

Dua Abad Multatuli, FSM 2021 Gali Khasanah Kebudayaan Masa Lampau

image_pdfimage_print

Kabar6-Festival Seni Multatuli (FSM) kembali diselenggarakan di Kabupaten Lebak. Dilaksanakan mulai tanggal 4 hingga 10 Oktober 2021, FSM 2021 bakal menggelar berbagai kegiatan dalam bentuk pengkajian, penciptaan, dan pertunjukan.

Festival Seni Multatuli (FSM) merupakan festival yang mengangkat ekosistem sastra. FSM menjadi bagian dari platform gotong royong kebudayaan Indonesiana yang berada di Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek.

Tentu saja, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga kunjung selesai, penyelenggaran FSM 2021 akan
berbeda dengan FSM di tahun-tahun sebelumnya yang berbagai kegiatannya mengundang banyak keramaian seperti
karnaval kerbau, festival film, festival teater, pameran seni rupa dan lain-lain. Hampir 90 persen kegiatan akan dilaksanakan secara daring dan disiarkan melalui kanal Youtube.

Dalam memperingati 2 abad Multatuli, FSM Multatuli 2021 akan fokus menggali khasanah kebudayaan masa lampau yang yang menjadi objek pemajuan kebudayaan di Kabupaten Lebak.

Tahun ini, FSM yang melibatkan sebanyak 60 komunitas akan mengambil tema Tunggul Buhun. Tema Tunggul Buhun dimaknai sebagai upaya menggali khasanah masa lampau yang mengandung nilai-nilai luhur dari berbagai peninggalan kebudayaan yang terwujud dalam berbagai bentuk ekspresi dan estetika.

“Lewat tema ini kita ingin mengangkat kembali kearifan lokal Lebak. Tunggul Buhun ini kita maknai sebagai kekayaan yang tersimpan lama, Lebak ini kan punya aset banyak sekali, Lebak punya dua masyarakat adat besar yakni Badui dan masyarakat adat kasepuhan. Kita coba angkat kembali Tunggul Buhun itu supaya tidak lapuk, kita hidupkan lagi,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar.

Selain tema Tunggul Buhun, FSM 2021 juga mengangkat objek pemajuan kebudayaan (OPK) Angklung Buhun.
Pendukungan mulai dari riset, pendokumentasian hingga penciptaan karya inovatif.

“Pemutaran film dokumenter Angklung Buhun dengan judul Marengo: Sora Buhun Keur Pohaci! Kemudian lokakarya dan konser musik Buhuna Sora yang dimainkan oleh 25 musisi Lebak hasil lokakarya,” ujar Ubaidillah.

Kabar6.com
Warga berfoto di instalasi bambu berupa Bubu raksasa (Perangkap ikan) yang dipamerkan di Museum Multatuli, Rangkasbitung.(Nda)

Kemudian terdapat program sastra berupa simposium “Manis Tapi Tragis” yang merupakan hasil pembacaan terhadap fragmen Saidjah-Adinda dalam novel Max Havelaar dengan menghadirkan 15 pemakalah dan 4 pembicara yakni Saut Situmorang, Dr Ari Jogaiswara Adipurwawidajana, Okky Madasari, dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

“Semua pembicara akan membahas Saidjah-Adinda dari berbagai perspektif. Saidjah-Adinda dari perspektif pariwisata, dari perspektif kebudayaan dan sebagainya,” ucapnya.

Lalu penerbitan, peluncuran dan diskusi buku cerita anak ‘Harta Karun dari Karuhun’ memuat 20 cerita anak
berbentuk fabel, legenda, dan sage Lebak yang dikuratori oleh Siti Zahrah dan Minhatul Ma’arif.

“Tahun ini terkumpul 106 naskah yang latarnya tentang Lebak dari seluruh Indonesia yang kita kerucutkan menjadi 20 naskah untuk kita bukukan,” sambung Ubay.

Ada juga Program Seni dengan mempertunjukkan seni media baru dalam berbagai ekspresi dan estetika persembahan 12 seniman Banten. Mulai dari Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ), Teater Guriang, Taufik Pria Pamungkas, Beranda Rumah, Putra Panglipur dan lain-lain.

Ubay melanjutkan, pada Program Sejarah dengan menyusuri jejak peninggalan masa kolonial di Rangkasbitung, khususnya berkaitan dengan Multatuli.

“Kalau sebelum pandemi kita lakukan dengan konsep city tour, sekarang kita kemas dengan film dokumenter untuk
melihat tempat-tempat itu seperti Museum Multatuli, Jalan Multatuli, Jembatan Ciujung eks rumah Asisten Residen Lebak dan lain-lain,” papar Ubay.

**Baca juga: Pokja Wartawan Lebak Mancing Bareng, Pererat Silaturahmi dan Peringati HUT ke-2

Tak lupa ada diskusi buku mengenai “Seputar Wabah dan Masyarakat Kita” dengan menghadirkan narasumber seperti Syefri Luwis, Atep Kurnia, Rovanda, Titah AW dan Afrizal Malna.

Terakhir yakni Program Pendukung memamerkan instalasi bambu berbentuk Bubu (Perangkap ikan). Bubu yang dipamerkan menjadi simbol dari perangkap zaman, mengingat pada era pandemi masuk ke suatu masa di mana
kita dipaksa untuk beradaptasi dengan segala kondisi yang ada tanpa bisa kembali ke belakang.(ADV)

Print Friendly, PDF & Email