oleh

Diskusi Dialektiga: Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Turunkan Angka Kemiskinan dan Pengangguran

image_pdfimage_print

Kabar6-Pertumbuhan ekonomi terbukti belum bisa ikut meurunkan angka kemiskinan dan pengangguran Target pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang ditetapkan pemerintah dan DPR merupakan target yang realistis, yakni berkisar di angka 5,1 hingga 5,3%. Bahkan target tersebut akan mudah dicapai.

Itu yang mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan judul Membedah Target Pertumbuhan ekonomi di Tengah Isu Resesi yang dilaksanakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI di kompel Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis sore (23/2/2023).

Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mengingatkan, yang menjadi pertanyaan besar adalah sejauh mana kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Sehingga kemudian bisa menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Apalagi megutip data BPS (Badan Pusat Statistik) angka kemiskinan naik siginifikan.

“Kalau kita bedah pertumbuhan ekonomi di 2022 yang lima koma sekian persen, dimana 50,8% digerakkan oleh konsumsi rumah tangga, ini yang menjadi pertanyaan besar, dimana peran signifikan program hilirrisasi industri, terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, berkualitasnya diukur dari mana?” ujar Kamrussamad saat menjadi salah seorang pembicara.

Banyak teori mengatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi 1% idealnya akan menciptakan 500 ribu lapangan kerja baru. Tapi faktanya angka kemiskinan ekstrem mengalami penambahan 0,3% menurut BPS di kuartal ke-4 Tahun 2022.

“Karena itu kita coba lihat lagi, beberapa provinsi mengalami pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional, maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, di atas pertumbuhan ekonomi nasional,” kutip Kamrussamad bersama pembicara lain Pimpinan MPR RI Syarif Hasan dan pengamat ekonomi Drajat Wibowo.

Namun, penurunan angka kemiskinan dan pengurangan angka penganggguran di sana belum signifikan, tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai. “Berarti transmisi kebijakan, hilirisasi industri, belum sepenuhnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” tutur Kamrussamad, politisi Partai Gerindra.

Pimpinan MPR RI Syarief Hasan mengatakan, memang pendekatan di dalam membangun ekonomi itu ada dua pendekatan. Ada yang mengatakan pembangunan untuk manusia dan manusia untuk pembangunan.

“Kalau saya sendiri, kami sendiri ya khususnya dari partai Demokrat, kami kan sudah pengalaman 10 tahun dengan hasil yang cukup lumayan, yang bisa diukur bahwa pembangunan yang kita lakukan adalah membangun yang betul-betul orientasi untuk manusia, sejauh mana manfaat dari pada pembangunan yang dilakukan pemerintah sejauh mana mendatangkan manfaat bagi rakyat,” tutur Syarief.

Ditambahkan Syarief, “Ukurannya, yaitu strateginya apa. Bahwa pembangunan yang dilakukan itu betul-betul yang merata dan berkeadilan, itu yang yang menjadi perhatian kami. Pembangunan yang sifatnya, yaitu orientasinya bagaimana untuk menurunkan kemiskinan. Pembangunan yang bagaimana orientasinya keberpihakan terhadap bagaimana untuk menurunkan tingkat pengangguran.”

Kalau ini dilakukan, terang Syarief, maka pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa rakyat kita itu akan mengalami perbaikan dari hari ke hari dan indikasinya adalah rakyat itu sejahtera. Rakyat yang sejahtera dalam memenuhi kebutuhannya, ukurannya adalah income per kapita.

“Jadi gampang saja kita melihat, kalau income per kapita naiknya luar biasa, maka dapat diperkirakan itu rakyatnya sudah menikmati pembangunan itu,” beber Syarief yang mantan Menteri Koperasi dan UKM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

**Baca Juga: Kajari Perempuan Pertama di Kabupaten Tangerang, Nova: Banyak Kesan di Sini

Sebelumnya tentu kita harus mengukur semuanya ini indikatornya. Tapi apa dampaknya, sindir Syarief, pembangunan sekarang pertumbuhannya rata-rata kurang lebih 5%. Padahal di zaman Presiden SBY pernah kontraksi 2% lebih.

“Jadi benar kata sahabat saya (Kamrussamad) bahwa pembangunan ini yang kurang atau bukan tidak berkualitas. Karena dengan APBN kita yang semakin membengkak sampai Rp3000 triliun, itu kalau dibandingkan dengan kami dulu, pasti peningkatannya luar biasa,” tuturnya.
Pengamat ekonomi Drajat Wibowo optimistis bahwa Indonesia tidak akan terkena resesi ekonomi global. “Itu sudah saya sampaikan agak lama, cuma memang waktu itu saya tidak ngomong luas, hanya di beberapa media yang membikin podcast saya sampaikan, tidak ada tanda-tanda kita di 2023 akan resesi,” ujar Drajat.

Apakah ada tanda-tanda global akan resesi? Drajat menjawab sendiri itu masih fifty-fifty. Beberapa negara mungkin akan ada yang terkena resesi, tapi secara global peluangnya tidak terjadiresesi juga. “Resesi itu kan definisinya, kalau dua periode berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif, baru terkena resesi,” paparnya.

Nah, sambung Drajat, Indonesia tidak ada tanda-tanda seperti itu. “Jadi trennya itu, waktu pandemic Covid-19 memang terjadi drop, tapi setelah pandemic terjadi lonjakan besar. Pertumbuhan ekonomi itu memang biasanya seperti itu. Pokoknya kalau ada shock, trennya turun bisa negatif, lalu ada lonjakan tinggi sekali, kemudian baru turun lagi sampai kembali ke normal. Itu sudah mirip sunnatullah ekonomi mungkin,” ujarnya. (her)

Print Friendly, PDF & Email