1

Pria di Lebak Ngaku Bisa Loloskan CPNS, Raup Ratusan Juta dari Korbannya

Kabar6-Seorang pria berinisial ASD (51) warga Desa Maja, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak harus berurusan dengan pihak kepolisian Polres Lebak.

Pria paruh baya tersebut diduga melakukan penipuan dengan mengaku bisa meloloskan tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Ratusan juta rupiah berhasil diraup ASD hanya dari satu orang korban yang masih satu desa dengannya.

“Pelaku menawarkan untuk membantu korban agar lolos dalam tes CPNS. Tetapi, sementara korban baru bisa diterima masuk sebagai honor daerah sambil menunggu pembukaan tes CPNS 2019,” kata Kasat Reskrim Polres Lebak, Iptu Indik Rusmono, Senin (5/4/202).

Agar bisa masuk menjadi honorer daerah, ASD meminta uang sebesar Rp16 juta dengan cara tunai. Korban pun menyanggupi permintaan ASD.

“Pelaku lalu kembali meminta uang kepada korban dengan alasan untuk administrasi kelancaran masuk PNS sebesar Rp20 juta,” ujar Indik.

**Baca juga: Tempat Wisata di Lebak Akan Dipasang GeNose, Pengelola Khawatir soal Tarif.

Indik menyebut, total uang yang berhasil diraup tersangka dari korban jumlahnya mencapai Rp321 juta. Ratusan juta itu diberikan korban kepada tersangka pada tahun 2018 dan 2019.

“Pelaku melakukan tindak pidana tersebut dengan cara meyakinkan korbannya bahwa dapat memasukkan orang sebagai PNS dan pelaku mengaku kepada korban memiliki jatah 1 orang untuk dimasukkan menjadi PNS,” terang Indik.(Nda)

 




Misscommunication di Balaikota

Kabar6-Proses komunikasi terjadi jika ada pesan berupa isi pernyataan disampaikan oleh penyampai pesan (komunikator) dan diterima oleh penerima pesan (komunikan). Dalam Pengantar Ilmu Komunikasi, Drs. A. M. Hoeta Soehoet mengatakan di kehidupan sosial, ada kalanya manusia mengalami kegagalan dalam proses komunikasi. Kegagalan ini dibagi menjadi dua yakni Misscommunication dan Missunderstanding.

Misscommunication merupakan kegagalan komunikasi yang terjadi karena faktor jasmaniah yang terdiri dari panca indra, organ tubuh dan anggota tubuh. Biasanya misscomunication terjadi bila komunikan sebagai penerima pesan tidak menerima pesan dengan baik lantaran faktor jasmaniah.

Kalau definisi missunderstanding nanti dulu ya, karena sebenarnya saya bukan mau membahas panjang lebar soal ilmu komunikasi di sini. Butuh kuliah lima tahun lebih bagi saya untuk membahas teori ilmu komunikasi dari A sampai Z di Kampus Tercinta, IISIP Jakarta. Tapi, saya lebih tertarik dengan istilah misscommunication yang ramai diperbincangkan baru-baru ini. Kabar yang ramai diberitakan, misscommunication ini berujung pada perusakan fasilitas negara di Kota Tangsel.

Apa hubungannya misscommunication dengan perusakan fasilitas negara? Bisa ada, bisa juga enggak ada hubungan yang relevan. Lantaran disinyalir ada ‘faktor lain’ di balik kemarahan pelaku hingga berujung pada perusakan fasilitas negara, bahasa misscommunication jadi statement berkelas di isi berita. Padahal pemahamannya mungkin enggak jauh beda sama istilah ‘gagal paham’.

Jika berkaca ke belakang, pada Mei 2015 lalu, pelaku perusakan fasiltas umum yakni bangku baru di Jalan Asia Afrika, Bandung dihukum oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil. Hukumannya menurut saya terbilang unik. Kedua pelaku yakni Fadillah Simeray dan Kusnadi dihukum push up 60 kali, ngepel trotoar di sekitar Jalan Asia Afrika dan diminta memposting foto atau tulisan dengan tema cinta Bandung selama 30 hari berturut-turut.

Yang patut diapresiasi dari kasus bangku ini bukan hukuman yang dijalani kedua pelaku. Tapi, keberanian kedua pelaku untuk meminta maaf sekaligus mengaku sebagai pelaku perusak bangku baru di Asia Afrika Carnival. Fadillah dan Kusnadi sadar ikut merusak bangku yang merupakan fasilitas umum di Jalan Asia Afrika. Kedua pelaku terdorong untuk minta maaf setelah muncul komentar negatif dari para netizen saat pelaku memposting foto sedang ‘selfie’ sambil berdiri di bangku baru tersebut. Walau notabenenya tidak sengaja melakukan perusakan, langkah Fadillah dan Kusnadi untuk meminta maaf merupakan contoh warga yang cinta kotanya sendiri.

Itu salahsatu kasus bahwa perusakan fasilitas negara tidak hanya berujung pada ancaman pidana. Walau kita sama-sama melihat bahwa motif Fadilah dan Kusnadi ini berbeda dengan motif pelaku perusak fasilitas negara di Kota Tangsel. Motif Fadilah yang ingin ‘selfie’ dengan kasus perusakan fasilitas negara di Tangsel yang indikasinya ada ‘faktor lain’ ya jelas beda lah guys.

Perusakan fasilitas negara dan fasilitas umum tentu ada konsekuensinya. Konsekuensi itu sudah dijalani oleh Fadillah dan Kusnadi. Soal konsekuensi yang arahnya ke ancaman pidana biarlah diurus oleh aparat penegak hukum. Ada pasalnya juga yang bakal menjerat pelaku perusakan. Namun, di sisi lain, musyawarah jadi jalan yang diharapkan sebagian masyarakat dalam menyikapi masalah perusakan fasilitas negara di Tangsel. Dukungan ke arah musyawarah pun sudah digalang. 

Demokrasi di Indonesia selalu setuju dengan konsep musyawarah untuk mufakat. Cocok dengan nilai kearifan lokal yang sudah jadi bagian dari budaya masyarakat Tangsel. Ya harus digarisbawahi juga, berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Karena, kearifan lokal budaya masyarakat di Kota Tangsel ini bakal lengkap jika keberanian yang ditunjukan Fadillah dan Kusnadi jadi satu contoh bagi warga di kota yang baru berusia delapan tahun ini.(Azhar Ferdian)




Kesempatan Dalam Kesempitan

Kabar6-Kesempatan Dalam Kesempitan, itu judul film Warkop Dono Kasino Indro (DKI) yang dirilis Punjabi bersaudara pada tahun 1985. Film bergenre drama komedi ini sempat tenar hingga akhir era 90-an. Lantaran aksi lucu plus kocak pemerannya selalu menghibur penonton setia Warkop DKI pada kala itu.

Aksi Kesempatan dalam Kesempitan mungkin juga ada di benak para korban promosi jabatan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Kalau ini kisahnya jauh dari alur cerita di Film Kesempatan dalam Kesempitan Warkop DKI. Para korban awalnya merasa punya kesempatan untuk dapat jabatan. Diiming-imingi naik jabatan, para korban yang rata-rata Aparatur Sipil Negara (ASN) ini menyetorkan sejumlah uang melalui rekening ke penipu. Bukannya jabatan yang didapat, uangnya pun dibawa lari pelaku. Nah, jauh beda kan dengan cerita film Kesempatan dalam Kesempitan. Mungkin lebih cocoknya dengan judul lagu Kisah Sedih di Hari Minggu.**Baca Juga: BKPP Tangsel: Awas Penipuan Berkedok Naik Pangkat

Di obrolan kelas warung kopi di pinggir jalan, kisah korban penipuan promosi jabatan di Kota Tangsel bisa jadi bahan olok-olokan. Sekelas pejabat bisa kena tipu gitu loh. Di tataran kelas obrolan cafe dan restoran, kisah ini bisa jadi obrolan lucu, bisa juga jadi obrolan serius soal bisik-bisik dugaan maraknya jualbeli jabatan di Kota Tangsel.**Baca Juga: Ini Kisah Korban Penipuan Promosi Jabatan di Tangsel

Jika tertangkap, pelaku penipuan berkedok promosi jabatan ini jelas bakal dijerat dengan Pasal 378 KUHP dengan hukuman empat tahun penjara. Nah, korban si penipu ini merupakan ASN. Jika kita kaji Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Pemberi gratifikasi dijerat Pasal 5 UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.**Baca Juga: Rekening Pelaku Penipuan PNS Tangsel Diblokir

Melihat UU Tipikor tersebut saya enggan menafsirkan lebih jauh. Karena bidang studi kuliah saya Jurusan Jurnalistik, gelarnya pun Sarjana Sosial. Mungkin bagi yang bergelar Sarjana Hukum lebih mengerti korelasi antara UU Tipikor ini dengan status korban penipuan berkedok promosi jabatan yang merupakan ASN.

Tapi, jika tafsir UU Tipikor ini mengarahkan para korban menjadi pelaku gratifikasi atau suap, kisah ini tentu jauh dari cerita lucu di film Kesempatan Dalam Kesempitan Warkop DKI. Bikinin film ‘aja’ lah, judulnya Sudah Jatuh Tertimpa Tangga. Toh sudah ada juga pejabat tinggi di Kota Tangsel yang statement soal itu di Kabar6.com. Tinggal nunggu sepak terjang penegak hukum saja untuk menyelidiki kasus penipuan berkedok promosi jabatan di Kota Tangsel ini.(Azhar Ferdian)




Manisnya Bisnis Garam

Di hampir seluruh wilayah Indonesia dalam sebulan terakhir ini dibuat heboh dengan kelangkaan garam, atau heboh dengan mahalnya harga garam. Padahal semua ini tak harus terjadi, karena pada hakikatnya rasa garam itu asin dan binis garam itu manis.

Ya, heboh ini tak akan terjadi, bila pemerintah secara konsekwen dan konsisten tidak memberi izin kepada siapapun dan pihak manapun untuk mengimpor garam, kecuali Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Garam (Persero) yang dulu bernama PN Garam.

Sebagai contoh, tahun 2016 produksi garam dalam negeri 3,1 juta ton, sementara kebutuhan 3,4 juta ton, selisihnya hanya sekitar 300 ribu ton. Pertanyaannya, emang nggak bisa diimpor oleh PT. Garam ( Persero), perusahaan milik negara lho, kenapa harus memberi izin pada sejumlah perusahaan swasta untuk mengimpor garam cuma segitu. Dan hasilnya ternyata impor garam Indonesia mencapai 2,2 juta ton, melebihi kapasitas kebutuhan. Lalu sisa impornya dikemanain dan diapain.

Skema pemberian izin impor pada perusahaan swasta inilah yang merupakan hulu dari semua persoalan garam di negeri ini, karena ini sama juga artinya mengadu domba antara petani garam dengan perusahaan garam milik negara, sekaligus membuka peluang terjadi permainan dalam tata niaga garam, karena stok garam, termasuk sisa impor, berada di tangan importir swasta yang bisa mengendalikan kapan garam akan dilepas ke pasaran dan kapan harus disimpan di gudang, kapan harus ‘menghantam’ garam petani, dan ‘mempermainkan’ garam sesuka hatinya.

Informasi-informasi yang dilansir ke masyarakat untuk ‘mengelabui permainan ‘ para cukong / kartel garam, dilansirlah berita, ini karena persoalan cuaca, atau karena kualitas garam petani kadar Natrium Chlorida (NaCl) nya rendah, kotor (impuritis tinggi) dan macam-macam. Padahal, untuk meningkatkan kualitas garam petani menjadi kadar NaCL minimal 97 persen, menurunkan kadar Ca dan Mg menjadi lebih rendah, membersihkan impuritis, semua bisa diberesin dengan mudah oleh PT.Garam (Persero) milik negara, termasuk proses kristalisasi.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah mengatakan begini: kalau cuma impor saja itu mudah, berikan saja pada PT Garam (Persero) biar untungnya dimakan PT Garam separuh. Beli garam petani Rp.600, dijual sama distributor 1200. PT Garam untung Rp600, toh?, dan Rp600 ini bisa untuk subsidi petani.  Mosok dimakan kartel semua? Pemerintah juga harus untung. Pemerintah untungnya untuk subsidi petani. Kan, garam petani jelek, mesti diproses lagi. Kalau kita beli Rp600, harganya bisa jadi Rp1.000 kalau (garamnya petani) dibersihin dulu. Kartel itu untungnya banyak, dia beli Rp600, jual Rp2000, tiap 2 juta ton saja itu sudah Rp3 triliun.

Jadi penyelesaian soal garam, hanya soal mau atau tidak pemerintah menyerahkan semua urusan garam ke perusahaan negara PT.Garam, mulai dari mengedukasi petani garam, pembelian garam rakyat, memasarkannya dan bila pasokan dalam negeri benar-benar kurang melakukan impor.Tapi apa iya negeri Gemah Ripah Loh Jinawi pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia bisa punya masalah dengan garam ?, rasanya merupakan hil-hil yang mustahil.(zolefauzilubis@yahoo.co.id)

 




Uang Sejuta Jadi Seribu

Belum lama ini kita sempat dihebohkan dengan isu soal rupiah tahun emisi 2016 yang dikatakan tidak diakui di sejumlah negara di luar negeri.Tapi namanya isu bisa berkembang liar jadi omongan macam-macam, dan belum tentu benar karena tidak diketahui pasti bagaimana dan dari mana asal usulnya.

Pengalamanku sendiri selama tinggal di luar negeri, uang rupiah rasanya tak pernah tak diakui oleh kalangan bisnis atau kalangan lainnya. Fakta yang terjadi adalah, bila ada transaksi bisnis dengan uang cash, rekan bisnis kita dari negara lain, bahkan di negara tetangga atau di daerah perbatasan, memang terkesan berusaha untuk ‘mengelak’ menerima bayaran dengan rupiah. Alasannya sederhanya saja, karena secara fisik jumlahnya terlalu banyak, dan kalimat seperti ini seringkali terdengar” Singapo dolar je atau ringgit tak ape”.Jadi bukan soal diakui atau tidak diakui, kesanku mereka hanya ingin yang praktis. Bayangkan uang Rp.7,5 juta bisa jadi cuma satu lembar dolar Singapura pecahan SGD 1000. Mungkin itu juga yang jadi pertimbangan para pejabat korup, kalau minta komisi proyek pakai SGD, biar simple dan gampang diumpetin.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sendiri mengatakan, soal itu karena lebih disebabkan minimnya ketersediaan rupiah di tempat penukaran (money changer) di negara-negara tersebut. Uang rupiah NKRI tahun emisi 2016 merupakan alat pembayaran resmi dan sah Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang dan Undang-Undang Bank Indonesia.

Pembicaraan hangat lainnya soal uang rupiah, tapi yang ini bukan isu, pemerintah berencana akan menghapus tiga nol pada uang rupiah yang beredar saat ini, artinya uang Rp.1000 akan jadi Rp.1, uang Rp.100.000 jadi Rp.100, sebagaimana dinyatakan Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Gubernur BI Agus Marto, pemerintah melalui RUU Redenominasi Rupiah ingin segera mengecilkan bilangan atau penyebutan rupiah, dan RUU Redenominasi Rupiah yang terdiri dari 17 pasal kini sedang digodok. 

Menurut Darmin, langkah ini bukan pemotongan uang atau revaluasi rupiah terhadap valas tetapi hanya penyederhanaan bilangan atau hitungan. 

Orang-orang yang sudah dewasa dan mengerti nilai uang pada 1966, pernah mengalami ‘mimpi buruk’ soal uang rupiah, ketika pemerintah melakukan pemotongan uang Rp 1000 menjadi Rp 1 atau disebut devaluasi. Kemudian Indonesia dilanda inflasi terus menerus sejak saat itu hingga sekarang.

Kalau yang dilakukan hanya redenominasi rupiah, kita semua memang tak perlu kaget atau merasakan pengulangan ‘mimpi buruk’ yang pernah dialami orang tua kita, maksudnya saat itu redenominasi rupiah, tetapi karena gagal, jadinya devaluasi.

Saat ini kita toh sudah mulai terbiasa dengan redenominasi bila berbelanja di pusat perbelanjaan, harga yang dicantumkan Rp.100 untuk penyebutan harga Rp.100 ribu. Atau ketika kita akan nonton pertunjukan musik di Hard Rock Cafe  mereka mencantumkan Ticket 150K, itu artinya 150 Kilo atau bahasa lain untuk mengungkapkan ribuan, atau sama juga dengan Rp.150 ribu.(zoelfauzlubis@yahoo.co.id)

 




Walkot Diminta Mundur Karena PPDB ?

Anak-anak muda menggelar unjuk rasa di depan Balai Kota Tangerang Selatan, Selasa (12/7/2017). Salah satu poin penting yang disampaikan adalah, kalau Walikota tidak sanggup menangani urusan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), lebih baik mundur saja sebagai Walikota. 

Kalau PPDB dijadikan alasan untuk meminta Walikota untuk mundur, konteksnya saya rasa kurang tepat ya, adik-adik malah sudah dituding sebagai pihak yang gagal faham oleh para nitizen, karena program PPDB memang bukan kebijakan pemerintah daerah kabupaten/kota, dalam arti Walikota dan Bupati se Indonesia, hanya mematuhi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017, tanpa boleh menawar atau merubahnya, bahasa lainnya Pasrah Bongkok.

Tapi kalau alasan-alasan lain yang dipilih sebagai dasar permintaan mundur itu, bisa saja saya setuju, asal logis, akurat dan sesuai dengan Tupoksi (Tugas Pokok Fungsi) walikota yang tidak dijalankan atau dijalankan secara amburadul.

Misalnya begini, luas Tangerang Selatan sekitar 14 ribu hektar, kini 70 persennya dibawah ‘kekuasaan’ pengembang, antara lain Sinarmas Land Group 6.000 hektar, Paramount Enterprise International 2.300 hektar, dan PT Jaya Real Property Tbk 2.300 hektar dan masih banyak lagi. 

Jadi diatas kertas Pemkot Tangsel itu sebenarnya hanya tinggal ngurusin area seluas 30 persen saja, harusnya walikota ngurusinnya jadi lebih gampang toh, karena banyak yang bantuin. Nah kalau alasannya karena nggak becus ngurusin yang 30 persen itu, baru namanya alasan logis dan sesuai konteks.

Alasan bisa diambil dari soal penanganan Sarana Prasarana Kota (Sarpraskot). Amati mulai dari prapatan Institut Teknologi Indonesia (ITI), telusuri terus sampai ke Universitas Pamulang, kualitas jalannya memprihatinkan, bopeng-bopeng, tak jelas mana batas jalan mana drainase, ada pula bahagian jalan yang ditengah-tengahnya terdapat tiang telpon, tak jelas juga mana trotoar mana badan jalan dan sebagainya. Kondisi ini konon sudah berlangsung lama, bukan hitungan bulan lagi, udah taonan.

Atau balik ke sisi yang lain lagi, dari kampus ITI telusuri ke arah stasiun kereta api Serpong sampai Cilenggang, kondisinya nyaris sama, jalan gradakan, bila malam tak cukup penerangan dan seterusnya.

Ini baru penilaian dari sisi pemahaman cara berfikir lokal saja soal jalan umum, belum mengacu pada standart International Traffic sSgn Manual, dimana jalan di sebuah perkotaan harus memenuhi standart tertentu, kelengkapan aksesori seperti rambu, garis pita marka dan lain -lain. Kalau tidak memenuhi standart kelengkapan jalan perkotaan berarti namanya jalan pedesaan toh.

Tapi yang itu kok jalannya bagus bang, mulus, ada trotoar, ada pedestrian, lampu penerangannya cukup, sesuai standart jalan perkotaan.Ya benar, kalau diterusin dari Cilenggang menyeberang ke McDonald lurus atau belok kiri memang benar, tapi itu kan masuk kawasan yang 80 persen lho masbro, ada yang  ngurusin. 

Persoalan jalan umum dengan segala kelengkapannya mungkin persoalan yang agak rumit.Persoalan spele seperti mengatur nomor rumah misalnya, pun masih banyak juga yang kelupaan diberesin, seperti di RW 03, Kelurahan Pamulang Barat, mereka masih menggunakan nomor rumah berlogo Kabupaten Tangerang meski wilayah ini sudah tujuh tahun jadi Kota Tangerang Selatan dan pisah dari Kabupaten Tangerang.

Ada lagi proyek yang dikerjakan, namanya Rumah Bambu berada dalam area Gelanggang Budaya Tangsel, baru setaon dikerjakan kini bentuknya udah nggak jelas, padahal proyek ini dibangun dengan APBD Kota Tangsel 2015, angkanya lumayan fantastis Rp 7,1 miliar. 

Masih ada lagi Trans Anggrek yang tak tau rutenya dari mana kemana dan malah gimana nasib bus nya sekarang juga tak tau. Ada lagi bla.. bla..dan bla..bla…

Nah, sekali lagi, kalau nyari alasan untuk meminta walikota mundur, harus cari alasan yang tepat dan logis seperti itu, kalau PPDB yang dijadikan alasan, namanya Jaka Sembung Naik Ojek, nggak nyambung Jek.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)




Jadilah Wartawan yang Menyebalkan

Teman baikku, wartawan Kompas, Jodi Yudono beberapa pekan lalu menulis begini: Jika seseorang mau menjadi wartawan hebat dan dikenang sejarah, harus menjadi wartawan yang menyebalkan.

Dan tulisan ini terus berputar-putar mengitari ingatanku dalam beberapa hari terakhir, dan bahkan melebar kemana-mana sampai teringat ucapan seorang wartawan Amerika yang juga permah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Time, Henry Anatole Grunwald yang menulis pada edisi ulang tahun ke 60 majalah Time : ‘’Jurnalisme tidak pernah bisa diam: itulah kebajikan terbesar dan kesalahan terbesarnya. Ia harus berbicara, dan segera berbicara, meski kekuatan dan ancaman serta tanda-tanda horor masih ada di udara.”

Saat ini wartawan berkategori menyebalkan jumlahnya memang semakin sedikit, karena menjadi wartawan yang menyebalkan berarti menjadi orang yang tidak disukai para pemegang jabatan yang curang atau para pemilik kekuasaan yang bergelimang uang haram. Dan menjadi wartawan yang menyebalkan malah terkadang dianggap sebagai ‘kebodohan’, karena hanya akan semakin menjauhkan diri dari ketawa- ketiwi beriring ‘salam tempel’, dan hal-hal lain yang menyenangkan.

Meski menjadi wartawan yang menyebalkan itu bukan berarti menerapkan etika rendah, mengabaikan kesopanan di depan narasumber, apalagi melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, bukan begitu. Tetapi menjadi wartawan yang menyebalkan selalu punya keberanian mengupas data fakta yang membuat narasumber kehabisan kata-kata, tak bisa mengelak untuk bicara terbuka terkait hal yang ditanyakan, dan terkadang bisa merubah rona wajah narasumber menjadi merah padam, serta memancing rasa tidak senang sekaligus amarah yang tak terkendali.

Aku sendiri merasa beberapa kali dianggap narasumber sebagai wartawan yang menyebalkan, salah satunya oleh seorang anggota DPR RI yang kini menjabat Duta Besar RI. Karena pertanyaan dan pernyataanku, beberapa kali dia terpaksa memanggilku, pertama ke Hotel Mulia, kemudian ke Hotel Hilton, kemudian ke sebuah Café, meminta agar menarik pertanyaan dan pernyataanku, serta tidak menuliskannya di koran’ Rakyat Merdeka’ tempatku bekerja waktu itu.Tapi tetap tak tercapai kata’kompromi’.

Ketika aku tanya, apakah tindakanku melanggar etika moral, kesopanan, kode Etik Jurnalistik atau pelanggaran hukum, dijawabnya tidak sama sekali, dia hanya meminta pengertianku saja, sebab hala yang aku sampaikan bisa mengganggu ‘proyek’ yang sedang ditanganinya.Karena aku tidak memenuhi permintaannya, dan tidak menawarkan kata’kompromi’, sejak itu hingga sekarang ‘hubungan’ kami tidak baik, atau istilah orang Medan ‘eskete’, padahal sebelumnya terbilang sangat akrab.

Menjadi wartawan yang “menyebalkan” itu memang pilihan, sebab, banyak pula wartawan yang memilih menjadi wartawan yang ‘ menyenangkan’, atau lebih keliru dari itu. 

Lihatlah di Bengkulu misalnya, ada ‘oknum’ yang berani menobatkan gubernurnya sebagai Gubernur Akhlakul Karimah meskipun bau busuk di provinsi ini sudah lama tercium. Tapi tak lama kemudian fakta berbicara, si gubernur bahkan bersama isterinya dicokok KPK, lalu dia mengundurkan diri sebagai gubernur dan juga ketua partai. Di daerah lain ada juga gubenur yang dijuluki sebagai ibu gubernur religius oleh ‘oknum’, tapi kemudian juga dicokok KPK. 

Sejatinya menjadi wartawan haruslah menjadi wartawan yang menyebalkan, karena bila memilih menjadi wartawan yang menyenangkan, itu artinya cuma 11-12 saja dengan staf kominfo dan mengabaikan tugas koreksi. Bila ada wartawan menganggap semua pejabat baik-baik saja, berarti dia juga mengabaikan apa yang harus dimiliki wartawan, yakni skeptis, doubt (ragu), discern (kritis) serta demand (arus informasi bebas), sekaligus mengabaikan fungsinya sebagai investigator.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




Bila Makanan Dihinggapi Lalat

Pada momen lebaran seperti sekarang ini, di hampir setiap rumah biasanya akan dibanjiri berbagai jenis hidangan, mulai dari yang tradisional sampai modern, atau bahkan menu spesial yang hanya ada bila lebaran tiba. Lalu bagaimana bila kebetulan hidangan dihinggapi lalat, karena mungkin pesta bersama keluarga digelar di taman atau di halaman rumah.

Fakta yang terlihat, sebahagian besar orang akan langsung berusaha mengusirnya, sebahagian lagi membuang makanan atau minuman yang dihinggapi lalat, meskipun makanan atau minuman tersebut lezat nikmat dan harganya mahal. Karena lalat dianggap hewan kotor, dan selalu main di tempat kotor, akan dapat menyebarkan penyakit.

Islam mengajarkan seperti ini :”Apabila seekor lalat masuk ke dalam minuman salah seorang kalian, maka celupkanlah ia, kemudian angkat dan buanglah lalatnya sebab pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap satunya lagi obatnya (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan Ahmad). Dalam riwayat lain: “Sungguh pada salah satu sayap lalat ada racun dan pada sayap lainnya obat, maka apabila ia mengenai ma-kananmu maka perhatikanlah lalat itu ketika hinggap di makananmu, sebab ia mendahulukan racunnya dan mengakhi-kan obatnya” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).

Lalat adalah jenis serangga dari ordo diptera ( bahasa Yunani di berarti dua dan ptera berarti sayap) begitu dijelaskan di wikipedia. Perbedaan yang paling jelas antara lalat dan ordo se-rangga lainnya adalah, lalat punya sepasang sayap terbang dan sepasang  halter, yang berasal dari sayap belakang pada metatoraks, kecuali beberapa spesies lalat yang tidak dapat terbang. 

Penelitian yang dilakukan sejumlah ahli kimia, mikrobiologi dan ahli terkait menjelaskan banyak hal tentang apa mengapa dan bagaimana lalat. Seluruh penelitian tersebut membenarkan dan sesuai dengan sejumlah hadis yang dua diantaranya disertakan diatas. Referensi penelitian ilmiah tentang lalat bisa digali lebih dalam pada : Danny Kingsley, The New Buzz on Antibiotics. ABC Science Online. Dan masih sangat banyak referensi lain yang bisa dijadikan bahan pengetahuan.

Percobaan yang dilakukan dalam sebuah eksperimen, lalat dicelupkan pada larutan yang mengandung sejumlah kuman seperti E.coli, Staphilococcus Emas dan Candida (sejenis ragi). Lalat menunjukkan reaksi antibiotika dari permukaan tubuhnya dan juga bahagian perut untuk menangkis serangan kuman.

Lalu penelitian sayap lalat. Sayap kanan dicelupkan ke air, dan hasilnya terlihat memunculkan kuman atau bakteri. Lalu sayap kiri yang dicelupkan memunculkan antibiotik. Persis seperti dijelaskan hadist tersebut, satu sayapnya mengandung racun, satu lagi mengandung obat. 

Sesuatu yang terdengar aneh tidak selalu aneh, dan hadist shahih tak bisa dibantah, serta fakta ilmiah adalah pembuktian nyata. Seperti misalnya mengobati gigitan ular berbisa justru dengan bahan (serum) yang dibuat dari bisa ular itu sendiri, seperti yang dibuktikan Louis Pasteur bersama muridnya Albert Calmette di tahun 1896, dan hingga kini masih dipakai meskipun terus terjadi penyempurnaan disana-sini. 

Jadi, lalat yang hinggap di makanan minuman dan langsung dibuang tanpa mencelupkan ke dalam makanan atau minuman di tempat hinggapnya lalat, bisa saja mengandung bakteri. Tapi jika lalat ditenggelamkan total dalam makanan atau minuman, makan terjadi tekanan dalam sel dan enzim pembawa kuman penyakit dihancurkan hingga mati, sehingga makanan minuman menjadi netral kembali, terbebas dari bakteri.

Kalau memang tidak ingin lalat mengunjungi meja makan atau ruang makan atau rumah makan milik anda, bisa ditempuh sejumlah langkah tanpa harus menggunakan pestisida dan membunuh lalat bersangkutan.

Gantungkan saja air yang dimasukkan ke dalam plastik kantong berwarna putih, mungkin plastik ukuran satu kilo. Karena itu terlihat beberapa pengelola warung makan menerapkan hal ini dan lumayan mujarab menjauhkan lalat dari etalase makanan. 

Itu bisa terjadi, karena lalat memiliki dua mata majemuk yang menempati sebagian besar kepalanya dan tiga mata tambahan yang disebut Ocelli. Dengan begitu lalat punya sensorik dan kemampuan manuver yang handal. Sedang air dalam kantong plastik, bisa memantulkan, membiaskan dan membelokkan cahaya. Metode illusi optik semacam ini mam-pu mengacaukan sensor mata lalat tidak terkonsentrasi, sehingga lalat cenderung memilih untuk menjauh karena bingung, apakah itu objek sasaran yang benar atau tidak. Dari-pada bingung, biasanya lalat cenderung memilih kaburrr…

Bisa juga dengan mengisi kantong kain atau yang disebut uncang dengan kulit kayu manis, bunga lawang dan cengkih ke dalamnya. Gantungkan dekat wadah hidangan  atau ruang makan yang kerap dikunjungi lalat.

Berikutnya bisa dengan menyalakan lilin di meja makan atau diantara hidangan semacam prasmanan misalnya. Karena cahaya lilin tidak disukai lalat. Atau bisa juga dengan meletak-kan di sisi kiri kanan makanan cabai merah besar yang sudah dibelah dua atau empat. Terserah mana cara yang lebih mudah untuk dilakukan.

Penulis buku ‘’ Bibel, Qur’an dan Sains Modern –  La Bible, le Coran et la Science (1976) Maurice Bucaille menjelaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara Islam dan Ilmu Pengetahuan modern.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)

 




Orang Pelit Pasti Sengsara

Pelit atau bakhil atau cheapskate , sangat berbeda dengan hemat atau frugal. Orang pelit pada dasarnya adalah orang yang sengsara, karena dia tidak mau membagikan apa yang dia punya kepada orang lain, dan bahkan seringkali juga pada dirinya sendiri. Sementara orang hemat adalah orang yang memperhitungkan segala sesuatu yang ingin dikeluarkannya.

Mengapa orang pelit sengsara. Karena mereka selalu diiringi rasa takut akan kekurangan yang berlebihan, ketakutan kehilangan segala sesuatu yang sudah dimilikinya. Karena dia percaya dengan mengua sai uang serta harta benda akan dapat memberinya rasa aman dan nyaman dalam menjalani kehidupan, tapi entah kapan waktunya. 

Sifat pelit adalah salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh (QS Al Hadid 57:23-24), karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat. Penyakit itu tidak saja dari sisi agama, tapi juga dari sisi kehidupan sosial. 

Asal mula munculnya sikap pelit/kikir, karena cara berfikir yang menyimpulkan bahwa, apa-apa yang diperoleh, terutama dalam bentuk harta, seutuhnya adalah hak pribadi tanpa ada siapapun yang bisa mengganggu gugat, termasuk soal penggunaannya, apakah dia akan dibagikan kepada pihak lain akan digunakan sendiri atau disimpan rapat-rapat. 

Mengapa Islam perlu mengatur sebahagian pendistribusian harta orang-orang yang diberi kelebihan, tentu punya maksud dan tujuan, antara lain sebagai ajang interaksi sosial pada sesama manusia yang memang diciptakan tidak dalam kondisi strata yang sama secara kemampuan, perolehan rezeki dan derajat serta kesempatan untuk meraih sesuatu. (QS An Nisa’ 4:34). 

Sikap pelit atau bakhil itu sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38), dan itu pasti, baik dari sisi sosial kemasyarakatan apalagi dari sisi agama, karena sikap pelit adalah sikap anti sosial. Orang -orang yang punya berkelebihan harta justru diberi kesempatan untuk berbuat baik kepada orang lain dengan cara membagikan sebahagian harta yang ada padanya, dan nilai kebaikan itu bukan untuk orang yang menerima, tapi justru untuk diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). 

Dan belum tentu juga dengan memberikan sebahagian harta kepada orang lain akan mengurangi jumlah harta yang kita miliki. Karena para Malaikat selalu berdo’a kepada Allah SWT untuk orang-orang yang pelit dan juga untuk orang-orang yang suka membagikan hartanya lewat Infaq- Sedekah. 

Cuma do’anya berbeda. Untuk orang kikir malaikat mendo’akan agar harta orang kikir dan juga orangnya dihancurkan, sementara orang yang suka ber-infaq, malaikat berdo’a, ya Allah berilah gantinya kepada mereka.( HR.Bukhari- Muslim). Dalam Fat-hul Baari III/305, disebutkan, pengganti bisa saja dalam bentuk harta semula di dunia, tapi bisa juga dalam bentuk pahala yang menjadi penolong di akhirat atau bisa pula menjadi penghalang dari kejelekan. 

Dalam sebuah riwayat dari Aisyah RA, ketika seorang perempuan datang kepada Rasulullah dengan kedaan tangan kanannya sakit (kram) meminta do’a agar tangannya sembuh. Rasulullah bertanya: “Apa sebab tanganmu sakit?” “ Aku mimpi ya Rasulullah, hari kiamat datang, neraka jahannam apinya sudah dihidupkan, surga sudah dihias. Aku lihat ibuku di neraka. Tangannya yang satu memegang sepotong lemak dan yang satu memegang sepotong kain yang dijadikan penahan panasnya api neraka. Lalu aku bertanya pada ibu, kenapa dia di neraka? Padahal dia taat beribadah. Ibuku menjawab: “ Aku adalah orang yang pelit, bakhil ketika di dunia.” “Mengapa lemak dan sepotong kain yang Ibu pegangi? ” tanyaku lagi.‘’selama hidup di dunia hanya dua benda itu yang pernah aku sedekahkan ’’ jawab ibunya.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 

 




Medsos Bisa Picu Gangguan Jiwa

Belakangan ini cukup banyak para pengguna medsos yang secara tidak sadar sebenarnya sedang memupuk gangguan jiwa yang disebut Internet Asperger Syndrome. 

Gangguan jiwa jenis ini menghinggapi orang-orang yang di dunia nyata selama ini dikenal kalem, woles, tapi di media sosial tiba-tiba menjadi tukang sumpah serapah, suka marah-marah pada pihak-pihak tertentu yang tidak disenanginya atau minimal tidak sependapat dengannya.

Pemandangan semacam ini gejalanya sudah terlihat dan meningkat sejak kampanye Pilkada, terutama saat Pilkada DKI Jakarta. Sampai sekarang Pilkada sudah usai dan pemenangnya sudah ditentukan, ‘penyakit’ itu masih tercatat tetap tinggi.

Persoalannya bisa cuma karena berbeda pilihan calon, berbeda cara pandang dalam satu agama maupun dengan yang berbeda agama, cara memahami Pancasila dan lain sebagainya. Pada puncaknya orang atau kelompok yang tidak disenanginya itu langsung di unfreind disertai uring-uringan karena menyimpan segudang emosi.

Orang yang berseberangan pendapat dengannya dijustifikasi sebagai orang bodoh dan bertindak tidak sebagaimana yang seharusnya, padahal sebetulnya dia sendiri sudah menderita gangguna jiwa Obsessive Compulsive Personality Disorder (OCPD) yang membuat pola fikir menjadi irasional.

Gangguan jiwa lainnya yang cukup banyak terdeteksi adalah jenis Low Forum Frustration Tolerance. Jenis ini menghinggapi orang-orang yang merasa haus self esteem atau pengakuan diri dari pengguna sosmed lainnya.

Bagaimana tidak gangguan jiwa coba, berdo’a saja pada medsos. Normalnya kan, bila anda muslim, sampaikan saja do’a itu pada Allah SWT, langsung tanpa perantara. Bila perlu banyak-banyaklah bersujud ke bumi di tengah malam sepi, do’a mu mudah-mudahan akan terdengar di langit. Apalagi di bulan ramadhan, do’a mu akan lebih mudah di ijabah oleh Allah SWT. Bila anda Hindu berdo’alah sesuai tuntunan Bhakti Yoga Marga atau simak tuntunannya dalam kitab Siva Purana. Bila anda Buddha ikuti tatacara berdo’a atau thiam hio, baik untuk berdo’a pada Thi Kong atau kepada para Bodhisattva. Bukan berdo’a pada sosmed.

Bila anak, isteri, suami ulang tahun, mengapa juga ucapan harus di medsos, toh orang-orang-orang yang diberi ucapan ini kan tinggal serumah dengan anda. Bila memang sedang terpisah, karena ada bisnis di tempat lain, atau tugas kantor, sampaikanlah sementara lewat HP atau WA. Kemudian carilah waktu dan tempat yang asyik untuk merayakannya bersama–sama setelah tugas selesai dan tiba kembali di rumah.

Kalo cuma sekedar makan sate Maranggi di Bungursari, Purwakarta, makan Gudeg Yu Djum di Wijilan, Yogyakarta, makan Durian Ucok di Medan, makan Sup Ikan Yong Kee di Batam Centre, makan Sate Mak Syukur di Jalan Syahrir, Padang, makan malam di warung Made di Kuta, Bali, rasanya tak perlu juga diinformasikan ke medsos, karena selain bisa dimasukkan dalam kategori social climber, malah menurut akademisi Rocky Gerung, orang semacam ini secara tidak sadar justru telah ikut menyebar hoax, karena hoax yang sebenarnya menurut Rocky merupakan sesuatu yang isi informasinya nol atau lebih kecil dari nol.

Sebuah study Psikolog di Ohio State University yang dilansir Daily Mail menemukan fakta lain bahwa, orang yang suka menampilkan foto selfie-nya di media sosial menunjukkan bahwa orang tersebut sebenarnya psikopat yang punya sifat impulsif, tidak memiliki empati dan egois. Hal ini akan berdampak buruk pada dirinya sendiri, sebab sifat narsis biasanya dikaitkan dengan kesombongan. Dan orang-orang seperti ini sebenarnya sudah mulai dihinggapi gangguan jiwa yang disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD).

Profesor Jesse Fox, seorang pakar komunikasi malah memperingatkan, hati-hati, kebiasaan seperti itu akan membawa masalah yang lebih besar- self objectification – pada seseorang, seperti depresi, dan bila mereka wanita bisa mendatangkan masalah kesehatan, terutama di wilayah lambung.

Banyak lagi hal-hal yang dilakukan di media sosial tanpa disadari adalah langkah awal menanam bibit gangguan jiwa, dan bila diteruskan akan berdampak buruk bagi kesehatan jiwa anda sendiri.(zoelfauzilubis@yahoo.co.id)