oleh

Manisnya Bisnis Garam

image_pdfimage_print

Di hampir seluruh wilayah Indonesia dalam sebulan terakhir ini dibuat heboh dengan kelangkaan garam, atau heboh dengan mahalnya harga garam. Padahal semua ini tak harus terjadi, karena pada hakikatnya rasa garam itu asin dan binis garam itu manis.

Ya, heboh ini tak akan terjadi, bila pemerintah secara konsekwen dan konsisten tidak memberi izin kepada siapapun dan pihak manapun untuk mengimpor garam, kecuali Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Garam (Persero) yang dulu bernama PN Garam.

Sebagai contoh, tahun 2016 produksi garam dalam negeri 3,1 juta ton, sementara kebutuhan 3,4 juta ton, selisihnya hanya sekitar 300 ribu ton. Pertanyaannya, emang nggak bisa diimpor oleh PT. Garam ( Persero), perusahaan milik negara lho, kenapa harus memberi izin pada sejumlah perusahaan swasta untuk mengimpor garam cuma segitu. Dan hasilnya ternyata impor garam Indonesia mencapai 2,2 juta ton, melebihi kapasitas kebutuhan. Lalu sisa impornya dikemanain dan diapain.

Skema pemberian izin impor pada perusahaan swasta inilah yang merupakan hulu dari semua persoalan garam di negeri ini, karena ini sama juga artinya mengadu domba antara petani garam dengan perusahaan garam milik negara, sekaligus membuka peluang terjadi permainan dalam tata niaga garam, karena stok garam, termasuk sisa impor, berada di tangan importir swasta yang bisa mengendalikan kapan garam akan dilepas ke pasaran dan kapan harus disimpan di gudang, kapan harus ‘menghantam’ garam petani, dan ‘mempermainkan’ garam sesuka hatinya.

Informasi-informasi yang dilansir ke masyarakat untuk ‘mengelabui permainan ‘ para cukong / kartel garam, dilansirlah berita, ini karena persoalan cuaca, atau karena kualitas garam petani kadar Natrium Chlorida (NaCl) nya rendah, kotor (impuritis tinggi) dan macam-macam. Padahal, untuk meningkatkan kualitas garam petani menjadi kadar NaCL minimal 97 persen, menurunkan kadar Ca dan Mg menjadi lebih rendah, membersihkan impuritis, semua bisa diberesin dengan mudah oleh PT.Garam (Persero) milik negara, termasuk proses kristalisasi.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah mengatakan begini: kalau cuma impor saja itu mudah, berikan saja pada PT Garam (Persero) biar untungnya dimakan PT Garam separuh. Beli garam petani Rp.600, dijual sama distributor 1200. PT Garam untung Rp600, toh?, dan Rp600 ini bisa untuk subsidi petani.  Mosok dimakan kartel semua? Pemerintah juga harus untung. Pemerintah untungnya untuk subsidi petani. Kan, garam petani jelek, mesti diproses lagi. Kalau kita beli Rp600, harganya bisa jadi Rp1.000 kalau (garamnya petani) dibersihin dulu. Kartel itu untungnya banyak, dia beli Rp600, jual Rp2000, tiap 2 juta ton saja itu sudah Rp3 triliun.

Jadi penyelesaian soal garam, hanya soal mau atau tidak pemerintah menyerahkan semua urusan garam ke perusahaan negara PT.Garam, mulai dari mengedukasi petani garam, pembelian garam rakyat, memasarkannya dan bila pasokan dalam negeri benar-benar kurang melakukan impor.Tapi apa iya negeri Gemah Ripah Loh Jinawi pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia bisa punya masalah dengan garam ?, rasanya merupakan hil-hil yang mustahil.(zolefauzilubis@yahoo.co.id)

 

Print Friendly, PDF & Email